SOLOPOS.COM - Aktris senior Christine Hakim saat memerankan penjual makanan dalam cerita film Surga yang Terluka di kawasan objek wisata Gunung Gambar, Desa Kampung, Ngawen. Rabu (30/1/2016). (David Kurniawan/JIBI/Harian Jogja)

Pembangunan di Jogja mengancam keberadaan maskot sinema

 
Harianjogja.com, JOGJA- Jogja boleh berbangga sebagai kota sinema. Lima tahun terakhir, kota ini kerap diburu sebagai lokasi syuting berabagai fim nasional hingga internasional. Namun maskot kota sinema itu kini terancam lenyap, karena wajah Jogja yang kian metropolis menyerupai Jakarta.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Siapa yang tak kenal dengan situs Ratu Boko, Pantai Parangkusumo atau Kotagede. Mei tahun lalu, 3,5 juta pasang mata menyaksikan pertemuan Cinta dan Rangga di Jogja dalam adegan film Ada Apa Dengan Cinta 2 besutan sutradara Riri Riza. Sejumlah objek wisata yang tersebar di Jogja itu menjadi latar film bergenre drama yang dibintangi aktris kondang Dian Sastro Wardoyo.

Hampir 90% film ini memilih Jogja sebagai lokasi syuting. Mulai dari objek wisata, cafe hingga galeri seni. Awal 2016, aktris kawakan Christine Hakim juga rela tidur dua minggu di pelosok sebuah desa di Gunungkidul dalam syuting film Surga Yang Terluka, karya sutradara  Amin Ishaq.

Ekspedisi Mudik 2024

Beberapa tahun terakhir, Jogja kerap diburu sebagai lokasi syuting film berskala nasional hingga internasional. Sejak 2010 sudah belasan hingga puluhan film termasuk film televisi yang memilih Jogja sebagai latar cerita. Sebutlah misalnya, Film Java Heat yang rilis 2013, Sang Pencerah, Guru Bangsa Tjokroaminoto atau The Philosopher.

Sineas yang juga pendiri Jogja NETPAC Film Festival (JAFF) Garin Nugroho mengatakan, sejumlah faktor menyebabkan Jogja menjadi salah satu tempat favorit pembuatan film. Pertama, berbagai komunitas film tumbuh subur di kota ini. Saat ini tercatat sekitar 60 komunitas film ada di Jogja.

Kota ini juga didukung dengan sumber daya manusia yang memadai, baik untuk kru film maupun pemeran. Keberadaan kelompok-kelompok teater di Kota Gudeg turut mendukung tersedianya sumber daya manusia yang dapat digandeng sebagai pemeran film.

Faktor terpenting lainnya adalah ketersediaan sumber daya alam atau studio alam yang dijadikan lokasi syuting. Jogja kata Garin tak hanya kaya dengan wisata alam seperti gunung dan laut,namun juga kota sejarah, budaya dan pendidikan. Ada banyak ikon seperti Malioboro, Kraton Jogja, candi dan situs-situs sejarah lainnya.

“Selain itu lokasinya berdekatan tiap objek wisata. Mau ke Borobudur paling hanya dua jam, jadi lebih efisien,” kata Garin Nugroho kepada Harianjogja.com, Rabu (25/1/2017).

Romantisme Jogja sebagai kota kenangan yang sering disinggahi wisatawan maupaun mantan mahasiswa, sebagai kota pelajar dan sejarah juga mendorong sutradara memilih Jogja sebagai latar pembuatan film. Tak heran bila produksi film terus berderap di kota ini. Jogja kata Garin bahkan telah dinobatkan sebagai kota sinema sejak ia memulai ajang Jogja NETPAC Film Festival (JAFF) 12 tahun lalu.

Sayangnya kata Garin, maskot sebagai kota sinema itu kini terancam dengan perubahan wajah Jogja yang makin metropolis menyerupai Jakarta. Hari ke hari, makin banyak wisatawan yang mengeluhkan ketidaknyamanan berwisata ke kota ini karena alasan kemacetan, panas serta kota kecil yang dikeliling beton hotel.

Media ini mencatat, saat ini ada sekitar 1.200 lebih hotel yang berdiri di Jogja. Sedangkan jumlah kendaraan bermotor mencapai 2,2 juta unit. Tahun lalu jumlah kendaraan baru bertambah sebanyak 84.000 lebih dalam setahun.

“Jogja ada tamannya tidak? Itu sederhana saja. Sebuah kota tanpa taman adalah sebuah pertanyaan besar. Kalau kita lihat banyak orang sumpek di Jogja karena di Jogja hanya melihat hotel bukan wisata. Harusnya kita di hotel untuk lihat objek wisata. Ini sudah terbalik. Kita datang melihat hotel. Maka kadang orang lebih suka ke Magelang, ke Solo dan sekitarnya,” kritik Garin.

Aktivis Warga Berdaya Elanto Wijoyono mengatakan, Jogja tak semuanya identik dengan gambaran yang ada di film-film. Di belahan bumi Jogja yang lain, berderat masalah kepadatan dan kemacetan Kota.

“Memang tidak salah ketika sineas memilih film yang menyenangkan budaya pop, atau mengambil spot yang indah-indah saja. Tapi akan lebih adil jika ada film yang menunjukkan realitas sosial sebenarnya,” kata Elanto Wijoyono.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya