SOLOPOS.COM - Penari dari Sanggar Kinanti Sekar saat mementaskan 'Kenes Gandes' dalam JISP 2017 yang digelar di Jl.Mangkubumi, Senin (26/9/2017). (Arief Junianto/JIBI/Harian Jogja)

Jogja International Street Performance (JISP) kembali digelar

Harianjogja.com, JOGJA– Untuk yang kelima kalinya, Jogja International Street Performance (JISP) kembali digelar. Meski dengan penari mancanegara yang lebih sedikit, gelaran itu masih menjadi alasan pemerintah untuk tetap bermimpi agar Jogja menjadi The Dancing City.

Promosi Ijazah Tak Laku, Sarjana Setengah Mati Mencari Kerja

Hujan yang mendadak turun, Senin (25/9/2017) menyisakan aroma tanah basah. Di sore yang redup, delapan orang penari dari Ranranga Dance Academy mulai beraksi di atas panggung sederhana diiringi musik Hindi yang berpadu suara mesin kendaraan yang berlalu lalang dan saling menderu.

Lentik gerakan Bhangra yang beberapa kali digerakkan oleh mereka membuat panggung berkarpet hitam itu seolah tersentak. Gemerincing gelang kaki saat mereka melakukan Thumka pun membuat sore yang sejuk menjadi hangat. Pengunjung yang semula sibuk sendiri perlahan menyemuti sekitar panggung.

Kelompok tari asal Srilanka itu sukses menyita perhatian pengunjung di hari terakhir digelarnya perhelatan Jogja International Street Performance (JISP) 2017. Mengambil dua titik lokasi di sepanjang Jl.Mangkubumi, JISP ternyata masih saja menyedot animo ratusan orang, baik pegiat tari, maupun yang sekadar mencari hiburan di penghujung senja.

Mengambil tema Jogja Jejogetan, lebih dari 30 penari yang ikut ambil bagian dalam JISP 2017. Tak hanya dari Jogja saja, beberapa penari dari daerah lain macam Jakarta, Kalimantan Tengah, Semarang, hingga NTT juga ikut tampil.

JISP jelas tak lengkap tanpa kehadiran penari mancanegara. Seolah jadi ajang pertukaran budaya, para penari dari luar negeri, seperti Poleen Carla (Filipina), Kalpana Sivan & Rupbini (Singapura), Ranranga Dance Academy Suhaimi Magi (Malaysia), Wang Yue Kwan (Taipei), serta dua penari Jepang Rina Takahashi dan Jun Amanto.

Sayangnya, jika dibandingkan dengan gelaran tahun sebelumnya, jumlah penari mancanegara yang hadir kali ini jauh lebih sedikit. Tapi, terlepas dari itu semua, JISP setidaknya bisa menjadi pintu masuk utama DIY untuk sebuah predikat seni yang bergengsi di mata dunia: The Dancing City, Kota yang Menari.

Bagi sebagian pecinta seni, seni tak lagi menjadi segelintir milik orang. Betapa kayanya potensi penari dan penikmat serta kritikus seni di DIY, obsesi itu jelas masuk akal.

Tapi jadi utopis jika teringat tata kota Yogyakarta. Nyaris tak ada tempat untuk Street Performance.

Padahal, saat ditampilkan di ruang terbuka, kesenian menjadi sebuah karya kreatif yang tak lagi berjarak dengan masyarakat penikmatnya. Jelas berbeda ketika kesenian itu ditampilkan di atas panggung dengan penonton yang duduk di atas kursi beludru yang empuk.

Alasan itulah, kiranya membuat mata dunia kini secara tak langsung mulai melirik keberadaan Street Performance itu sebagai sebuah pertunjukan seni yang tak bisa dipandang remeh.

Sayang, kondisi tata kota Yogyakarta kurang ramah terhadap kondisi itu. Lima kali JISP digelar sejak 2010 silam, tak jarang membuat Jaran Art Space, selaku penggagas JISP harus pontang-panting. “Tidak mudah mencari ruang terbuka di Yogyakarta untuk menampung para penampil,” kata penggagas JISP, Bambang Paningron.

Alhasil, predikat Yogyakarta sebagai kota pariwisata dan pusat kesenian di Indonesia memang masih belum lengkap. Seni tari, sebagai salah satu cabang dari kesenian itu sendiri, belum melekat sebagai ikon seni kreatif Yogyakarta. Tari masih dimaknai sebagai produk tradisi yang sakral.

Atas dasar itulah, Bambang lantas terus berjuang. Seolah berebut tempat dengan event lain ia terus berupaya menawarkan konsep acara berbasis Street Performance kepada masyarakat dan pemerintah. “Syukurlah, saat ini Street Performance sudah mulai bisa difasilitasi oleh pemerintah,” leganya.

Jalan Mangkubumi, beberapa tahun terakhir memang menjadi surga bagi Street Performance. Apa daya, Malioboro, dengan pengunjung berlatar belakang budaya yang begitu beragam, seharusnya menjadi tempat sangat representatif bagi digelarnya Street Performance.

“Terutama tarian. Saya yakin, akan sangat menarik minat pengunjung. Tapi hingga kini, menurut saya Malioboro masih belum kondusif,” gerutu Bambang.

Langit di seputar Jl.mangkubumi makin mendung saja. Tapi pengunjung justru makin menyemut.

Di atas panggung, sembilan penari berkebaya dan bermahkota sanggul mulai berkacak pinggul. Lantunan musik gamelan berirama cepat membuat gerak mereka kian semangat. Kenes Gandes. Begitu Sekar Kinanti Rahina, sang koreografer menamai karya tari itu.

Didominasi gerakan tari tradisi, karya berdurasi 15 menit itu seolah membuktikan tari tradisi tak lagi menjadi milik para segelintir orang pegiat seni tradisi yang adi luhung. Tepuk tangan dan anggukan kagum nyaris semua pengunjung sore itu adalah buktinya. “Itulah bedanya ketika tari dipentaskan di ruang terbuka dan di atas panggung,” kata Sekar.

Meski kerap dianggap sakral, bukan berarti lantas tari tradisi menjadi terkungkung di sebuah ruang yang privat. Tentu saja, untuk membawa seni tradisi ke ruang terbuka, diperlukan sedikit modifikasi agar tarian itu bisa lebih dimengerti, hingga kemudian bisa dinikmati. “Kalau saya, biasa mengemasnya menjadi lebih enerjik.”

Berbekal itu, obsesi The Dancing City, seharusnya tak lagi jadi mimpi di siang bolong. Obsesi itu sangat bisa diwujudkan jika semua pihak, pemerintah, seniman, dan masyarakat saling bergandeng tangan.

Jika dikelola dengan benar, bukan tidak mungkin Street Performance bisa menjadi sebuah lumbung wisatawan, baik nusantara maupun mancanegara. Hiburan murah di ruang publik bisa menjadi wisata alternatif.

“Untuk ini, kami perlu membiayai dengan membeli pergelaran itu. Karena tidak mungkin jika pergelaran itu [Street Performance] ditiketkan,” kata Imam Pratanadi, Kepala Bidang Pemasaran Dinas Pariwisata (Dispar) DIY saat pembukaan JISP, Senin (24/9) di Monumen Serangan Oemoem 1 Maret.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya