SOLOPOS.COM - Tini, pemilik usaha produksi tempe di Kelurahan Kelun, Kartoharjo, Kota Madiun, mengolah kedelai dicampuri ragi, Selasa (2/2/2021). (Madiunpos.com-Abdul Jalil)

Solopos.com, MADIUN -- Selama masa pandemi Covid-19, perajin tempe di Kota Madiun, Jawa Timur, merasakan dampak yang luar biasa karena terjadi penurunan omzet secara signifikan.

Pandemi belum rampung, kini perajin tempe harus menelan pil pahit karena harga kedelai impor yang merupakan bahan baku utama pembuatan tempe naik tinggi.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Berbagai cara dilakukan oleh perajin tempe di Kota Madiun untuk bertahan di tengah tekanan yang bertubi-tubi ini. Ada yang mampu bertahan, tetapi ada pula yang harus tumbang.

Baca juga: Sopir Diduga Ngantuk, Ini Kronologi Truk Pengangkut Telur Terguling di Sukoharjo

Pada Selasa (2/2/2021) siang, lima perempuan terlihat sibuk membungkus kedelai yang telah dicampuri dengan ragi ke dalam selembar daun serta selembar kertas di salah satu rumah warga di Kelurahan Kelun, Kecamatan Kartoharjo, Kota Madiun.

Dengan cekatan, tangan-tangan mereka mengemas kedelai di bungkusan daun dan kertas itu. Ratusan tempe bungkus daun yang masih belum jadi itu berhasil dibikin hanya dalam waktu beberapa jam saja.

Pemilik usaha pembuatan tempe di Kelurahan Kelun, Tini, 57, mengaku bersyukur sampai saat ini tempat usahanya ini masih bertahan dari goncangan badai pandemi dan kenaikan harga kedelai.

Baca juga: 4 Gunung Berapi Berstatus Siaga Termasuk Merapi, Begini Kondisinya Saat Ini

Karena, beberapa tempat usaha tempe yang juga ada di kampungnya terpaksa tutup.

“Saya masih bertahan, karena sudah punya pelanggan. Ini dijual di Pasar Besar,” kata dia saat ditemui Madiunpos.com/JIBI di rumahnya, Selasa.

Tini mengatakan harga kedelai impor yang menjadi bahan baku tempe sangat mencekik sebulan terakhir. Harga per kilogramnya mencapai Rp9.700, padahal harga normalnya paling tinggi Rp7.000 per kg. Meski begitu, ia tetap membeli kedelai impor itu supaya usahanya tetap berjalan.

Risiko Lebih Rendah

Untuk menyiasati harga kedelai yang melambung tinggi, Tini mengaku memperkecil ukuran tempe produksinya. Menurutnya, memperkecil ukuran tempe memiliki risiko yang lebih rendah dibandingkan harus menaikkan harga.

Saat ini, dia hanya berharap pemerintah bisa mengendalikan harga kedelai yang kini naik tinggi. Dengan stabilitas harga kedelai, tentu akan berdampak pada tingkat kesejahteraan masyarakat, terutama perajian tempe.

Baca juga: Polres, Kodim, dan Satpol PP Klaten Bagi-Bagi 23.000 Masker di Tempat Keramaian

Begitu juga dengan Pono, perajin tempe lain di Kelurahan Kelun. Dia juga mengeluhkan kenaikan harga kedelai yang kian mencekik. Sejak harga kedelai naik, ia mengurangi produksi hariannya hingga 50%.

“Biasanya sehari bisa memproduksi 50 kg, kini hanya 25 kg. Saya tidak berani beli kedelai banyak-banyak, karena takut tidak ada yang beli dan juga memang tidak ada modal,” ujarnya.

Pono juga berharap pemerintah bisa mengendalikan harga kedelai impor. Sehingga harga kedelai bisa stabil dan terjangkau bagi para perajin.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya