Konflik politik berpotensi membesar menjelang Pilpres 2019, seperti yang terjadi pada 2014.
Solopos.com, JAKARTA — Dalam dua tahun ke depan, Indonesia dihadapkan pada tahun politik yang dinilai akan menyajikan kembali dua kekuatan politik besar seperti Pilpres 2014. Potensi konflik politik pun diperkirakan akan kembali membesar.
Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda
Pengamat politik dari Esposit Strategic Arif Susanto mengatakan peluang konflik akan membesar jika elite politik tidak puas dengan power sharing. Hal itu bahkan menurutnya sudah mewarnai dinamika politik Tanah Air dalam kurun 3 tahun terakhir.
“Yang terjadi tiga tahun terakhir adalah ketidakpuasan elite atas power sharing. Kita juga lihat Prabowo yang disebut sebagai pesaing Joko Widodo terus menerus memainkan politik yang tidak cukup elegan, begitu juga dengan SBY karena mereka tidak puas dengan power sharing,” ujarnya, Selasa (26/12/2017).
Di sisi lain, kata dia, power sharing mengakibatkan kualitas demokrasi menjadi buruk. Oleh karena itu, Pilpres 2019 adalah momentum membuat demokrasi di Indonesia terkonsolidasi atau kembali seperti sebelumnya. “Elite politik yang punya kekuasaan untuk menjawab ini,” ujarnya.
Dia pun konflik politik bisa membesar jika tidak ada kepuasan dalam pembangunan khususnya ekonomi. Ekonomi memang dalam tiga tahun terakhir cenderung stabil, tapi dinilai ada kesenjangan besar.
Pertumbuhan ekonomi tidak diikuti dengan distribusi yang merata. Secara umum, pembangunan infrastruktur baru terlihat dampaknya pada level menengah hingga jangka panjang. Konflik pun bisa membesar jika pemerintah dianggap gagal dalam penegakan hukum, HAM, dan wacana antikorupsi.
Selain itu, kondisi tersebut bisa menjadi lebih buruk jika tidak ada institusi sosial di luar politik yang mampu memodernisasi politik. Untuk itu, lanjut dia, pemerintah harus bisa menumbuhkan ekonomi melampaui tatanan moderat dan mendistribusikannya secara merata. Hal itu harus dibarengi pula dengan pencegahan politisasi birokrasi.