SOLOPOS.COM - Makam merah adalah makam Amir Sjarifuddin, mantan Perdana Meneteri yang juga jadi tokoh PKI. (detik.com)

Solopos.com, KARANGANYAR — Di Kampung Ngaliyan, Kelurahan Lalung, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Karanganyar, terdapat makam seorang tokoh nasional yang kontroversial. Tokoh tersebut adalah Amir Sjarifuddin. Ia merupakan mantan Perdana Menteri Indonesia di era Sukarno yang dieksekusi mati setelah terlibat dalam partai terlarang, PKI.

Kampung Ngaliyan menjadi saksi dibunuhnya Amir Sjarifuddin dan 10 tokoh PKI lain. Hingga kini, makan kesebelas orang itu masih ada di TPU Ngaliyan. TPU ini berada sekitar tiga kilometer dari kantor Bupati Karanganyar. Letaknya pun tidak begitu terpencil, hanya sekitar 200 meter dari jalan besar penghubung Kabupaten Karanganyar-Wonogiri.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Masuk gerbang kompleks permakaman, makam Amir Sjarifuddin dkk berada di bagian utara. Tak sulit mencarinya, terdapat 11 nisan berjajar rapi, satu nisan di antaranya berwarna merah.

Baca Juga: Ini Jejak Persembunyian DN Aidit di Kota Semarang

Ekspedisi Mudik 2024

Nisan terbuat dari keramik merah itulah makam Amir Sjarifuddin. Di atas nisan tertulis nama Amir serta tanggal lahir dan tanggal kematiannya, yakni 19 Desember 1948. Sementara 10 makam lainnya, berjajar di kanan makam Amir Sjarifuddin. Seluruhnya terbuat dari bangunan semen.

Sebelas orang itu adalah para tokoh PKI pasca pemberontakan Madiun tahun 1948. Mereka adalah para intelektual Indonesia saat itu. Bahkan Amir Sjarifuddin pernah menjadi PM dan pimpinan delegasi perundingan Indonesia-Belanda.

Mengutip detik.com, Setelah gagal mendirikan negara baru berhaluan komunis yang ditandai dengan aksi sepihak di Madiun dan sekitarnya, Muso dan kawan-kawannya lalu bersembunyi di hutan Dungus. Termasuk dalam rombongan itu adalah Amir Sjarifuddin.

Akhir Oktober 1948, Muso tertembak mati dalam sebuah penyergapan oleh tentara republik. Para tokoh PKI lainnya lalu menyebar mencari persembunyian. Kawasan Purwodadi, Jawa Tengah, menjadi pilihan mereka.

Baca Juga: Penuh Misteri, Pembantaian Libatkan PKI di Solo Terhenti Banjir 1966?

Tapi persembunyian itu pun akhirnya sia-sia. Antara November dan Desember 1948, mereka dicokok. Amir ditangkap di daerah Klambu, 20 km dari pusat Kota Purwodadi. Mereka lalu dibawa ke Yogyakarta dan selanjutnya ditahan di penjara Solo. Dari Purwodadi Amir diangkut dengan kereta api.

Pegang Beragam Jabatan

Adegan menarik tercatat dalam peristiwa ini. Sepanjang perjalanan dari Purwodadi, di kanan-kiri jalan kereta banyak warga berdesak ingin menyaksikan wajah Amir. Hanya sesekali Amir melihat mereka. Selebihnya asyik membaca cerita roman Romeo and Juliet yang dipinjamkan seorang tentara untuk menghilangkan kesuntukan dalam perjalanan kereta.

Amir memang tokoh kontroversial. Di masa awal negara terbentuk, dia termasuk salah satu tokoh intelektual Indonesia. Karenanya beberapa kali Soekarno mempercayainya memegang berbagai jabatan kementerian.

Jika Anda melihat sebuah foto pembentukan kabinet pertama setelah kemerdekaan, Anda akan melihat seorang muda mengenakan celana pendek ala pelajar Eropa saat itu. Orang dalam foto itulah Amir Sjarifuddin yang memang baru saja pulang belajar dari Eropa.

Baca Juga: Emperan Rumah Warga Sragen Ini Ternyata Kuburan Massal 11 Terduga PKI, Ada yang Dikubur Hidup-Hidup!

Kepercayaan Soekarno kepadanya terus berlanjut. Bahkan dia pernah menjabat sebagai Perdana Menteri. Sejarah juga mencatat bahwa Amir adalah pimpinan delegasi perundingan di atas kapal USS Renville antara Indonesia dengan Belanda pada 17 Februari 1947. Perundingan ini selanjutnya juga terkenal dengan nama Perundingan Renville.

Perundingan ini oleh sebagian pihak dianggap merugikan posisi Indonesia. Karena banyaknya kecaman, Amir lalu memilih menyingkir. Selanjutnya dia bergabung bersama kawan-kawan yang sehaluan ideologi dengannya untuk merencanakan pendirian negara berhaluan komunis di Indonesia.

Setelah ditangkap dan dipenjarakan di Solo, nasib Amir dan kesepuluh kawannya menjadi terkatung-katung karena kabinet saat itu tidak ada kata bulat apakah dia harus dihukum mati atau kembali dilepas. Namun sebuah kepastian datang pada sebuah malam tanggal 19 Desember 1948.

Sebelas orang itu dibawa menggunakan truk ke sebuah tempat terpencil di Karanganyar. Mereka dihabisi di tempat tersebut. Beberapa tahun kemudian PKI menggugat eksekusi mati para seniornya tersebut karena eksekusi itu tanpa melewati proses pengadilan.

Baca Juga: Mengenang Malam Tragedi Pembantaian PKI di Jembatan Bacem, Puluhan Mayat Terduga PKI Mengapung di Bengawan Solo

Penuh Belukar

Pada Minggu (26/9/2021), kondisi 11 makam ini tampak dipenuhi dengan semak belukar. Pertanda makam-makam tersebut tidak dibersihkan dalam waktu yang lama.

Selain makam Amir Sjarifuddin, hanya satu makam yang masih terpasang nama, yakni makan Rono Marsono. Sementara makam yang lain sudah tidak ada namanya. “Jarang ada yang mengunjungi makam ini. Jadi memang tidak pernah dibersihkan,” ujar warga setempat, Sugiyarto, 69, di lokasi permakaman, Minggu, seperti dilaporkan detik.com.

Lahir pada tahun 1952, Sugiyarto mengaku dirinya tidak mengetahui dengan mata kepala sendiri proses eksekusi mati Amir Sjarifuddin dkk. Namun, Sugiyarto mengaku mendapat banyak cerita dari ayahnya yang turut menjadi penggali kubur sebelum 11 tokoh PKI tersebut dieksekusi.

“Bapak saya mengalami sendiri. Dia cerita ikut ndhudhuk (menggali) kuburannya,” kata dia.

Baca Juga: Aksi Kades Jenar Sragen Sebut Lebih Enak Zaman PKI Disorot Anggota DPR RI



Sugiyarto tinggal tak jauh dari TPU Ngaliyan, hanya berjarak sekitar 800 meter. Menurut Sugiyarto, ayahnya dan beberapa warga lain sempat diminta untuk membantu penggalian kubur.

“Setelah selesai menggali, hanya dipesan jam 12 malam untuk tidak keluar rumah. Sama nanti kalau ada suara tembakan, dipesan supaya jangan kaget,” jelasnya.

Menurutnya, saat itu daerah tersebut sudah merupakan permakaman. Sehingga kesebelas orang tersebut memang dieksekusi di daerah permakaman tersebut.

“Waktu kecil tiap hari angon [menggembala kambing] di sini. Dulu makamnya agak tinggi, tidak seperti ini,” kenang Sugiyarto.

Saat itu, lanjutnya, bahkan terdapat bangunan rumah kecil di samping 11 makam tersebut. Bangunan tersebut digunakan untuk keluarga dan peziarah yang datang.

Baca Juga: Heboh Sepatu Berlogo PKI Dijual di Jalan Kramat Jaya, Cek Faktanya

Namun pasca peristiwa G30S/PKI, nisan dan bangunan rumah tersebut dirusak orang. Seluruhnya dirusak hingga rata dengan tanah.

“Waktu Gestok (Gerakan 1 Oktober) dirusak sampai rata. Sejak itu terbengkalai,” ujarnya.

Baru sekitar 2008 lalu, keluarga Amir Sjarifuddin membangun lagi 11 makam tersebut. Hingga kini, meski tak terurus, kesebelas makam tersebut masih ada di TPU Ngaliyan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya