SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Di bantaran Kali Gendol tepatnya Dusun Gadingan, Argomulyo, Cangkringan ada makam Patih Jayadiningrat yang berasal dari Kasunanan Surakarta.

Pada bulan ruwah [sebelum puasa] masyarakat sekitar melakukan kirab budaya Tambak Kali yang dimaksudkan agar warga terhindar dari aliran banjir lahar.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Bulan Agustus 2010 lalu warga telah melakukan upacara ritual tersebut, namun tiga bulan kemudian erupsi Merapi yang diikuti banjir besar tetap terjadi. Seorang tokoh masyarakat saat berbincang dengan Harian Jogja belum lama ini, meyakini kirab budaya belum menyatukan pengikut Patih Jayadiningrat dan keturunan pengikut Tomenggolo.

Tomenggolo merupakan prajurit musuh Jayadiningrat yang sama-sama berasal dari Kasunanan Surakarta yang telah berbuat salah terhadap Sunan Pakubuwono II. Karena kesalahannya Tomenggolo yang merupakan prajurit Kasunanan lari ke Cangkringan dan memiliki banyak pengikut.

Karena akan membahayakan Sunan, Jayadiningrat pun diutus Sunan untuk meredam aksi itu. Tempat persembuyian Tomenggolo di umbul bebeng ditemukan Jayadiningrat. Keduanya lalu terlibat peperangan yang diperkirakan pada 1750-an.

Tomenggolo mati dan menjelma menjadi ikan wader merah. Oleh Jayadiningrat wader dibunuh menggunakan tombak. Muncul suara tanpa rupa dari Tomenggolo yang mengatakan Jayadiningrat juga akan mati. Dimakamkan dimana saja, makam Jayadiningrat akan dialiri lahar Merapi.

“Dalam ipat-ipat [suara tanpa wujud] itu Jayadiningrat dimakamkan di mana saja akan diileni [dialiri] lahar Merapi,” kata tokoh masyarakat Cangkringan Syahfarudin yang menimba ilmu dari pengikut Tomenggolo, almarhum Sutomenggolo warga Karanglo, Cangkringan. 

Tidak lama Jayadiningrat juga mati. Saat itu Kraton Surakarta tidak mau jenazah dikuburkan di Surakarta karena takut ipat-ipat Tomenggolo. Jika dimakamkan di Surakarta aliran lahar Merapi dikhawatirkan sampai di sana.

Jayadiningrat pun akhirnya dimakamkan di Kali Gendol. Jenazahnya sebenarnya sudah habis karena sudah hanyut dialiri lahar. Hanya saja, sampai sekarang ada prasasti makam Jayadiningrat di Gadingan. Di tempat itu ditemukan kain putih yang diyakini sebagai makam Jayadiningrat sampai sekarang.

Berbagai kirab budaya telah dilakukan melalui Tambak Kali. Uba rampe disiapkan, termasuk menimbun kepala kambing sebagai simbol angkara murka. Kemudian dilepas pula burung dara sebagai lambang perdamaian antara keturunan pengikut Tomenggolo dan Jayadiningrat sekaligus harapan agar diberi keselamatan.

Namun Syahfarudin meyakini kedua pengikut belum bersatu sehingga bencana tetap datang hingga menimbulkan banyak korban jiwa.

Kepala Desa Argomulyo Cangkringan, Sutrisno menegaskan upacara Tambak Kali tahun ini tidak diadakan. Ia yakin bahwa bencana yang datang karena kehendak alam. Ipat-ipat ‘dimana saja dimakamkan akan dialiri lahar’ membuat takut masyarakat. Sehingga tahun ini saat ruwah hanya akan dilakukan selamatan dengan tahlilan saja.

“Kami percaya bencana ini kekuatan alam, sehingga nanti hanya akan dilakukan selamatan kenduri masyarakat biar terhindar dari bencana,” katanya.(Wartawan Harian Jogja/Akhirul Anwar)

HARJO CETAK

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya