Solopos.com, SOLO–Suara dari ujung telepon terdengar begitu mengagetkannya. Seorang tenaga kesehatan mengabarkan dirinya terkonfirmasi positif Covid-19. Ia terhenyak. Cerita yang disambut dengan tangis saat ia bercerita kepada istrinya apa yang baru saja terjadi.
Petugas dari rumah sakit itu memintanya segera berkemas. Ia harus isolasi di rumah sakit. Sebab, kontrakannya tak memungkinkan untuk menjalani isolasi mandiri: istrinya sedang hamil muda, ada bocah balita, dan hanya ada satu kamar mandi.
“Sesaat setelah divonis positif Covid-19, saya sempat mengalami tekanan hingga membuat kepala pusing dan demam,” kata penyintas Covid-19, Abdul Jalil, kepada Solopos.com, Selasa (19/1/2021).
Jalil juga mengabarkan kondisinya kepada pimpinan di tempatnya bekerja, keluarga, dan teman-temannya melalui whatsapp. Bagi dia, terkena Covid-19 bukanlah aib. Keterbukaan soal penyakit termasuk riwayat kontak dan perjalanan akan membantu petugas tracing mencegah penularan meluas.
Meski demikian, ia mengakui ada rasa bersalah saat mengetahui dirinya terinfeksi virus SARS-CoV-2. Hal serupa juga dirasakan oleh teman-teman barunya di ruang isolasi. Namun, perawat selalu meminta untuk tetap rileks dan fokus pada kesembuhan.
“Psikologis orang sakit itu sedang down sehingga butuh dukungan mental dan moral dari kalangan terdekatnya. Saya sangat senang karena banyak yang mendoakan dan memberi dukungan dalam melawan virus,” ujar dia. Dukungan yang sama juga diberikan para tetangganya yang memenuhi kebutuhan sehari-hari anak dan istrinya selama isolasi mandiri di kontrakan.
Dukungan juga diberikan sesama pasien Covid-19 di ruang isolasi rumah sakit. Mereka saling menguatkan dan saling memotivasi untuk sembuh. Sebab, para pasien sadar di ruang isolasi itu mereka memiliki tujuan yang sama yakni sembuh.
Hapus Stigma
Menghapus stigma terhadap pasien Covid-19 bisa membantu menekan penularan penyakit ini meluas. Sebab, mereka yang terinfeksi dan dinyatakan positif akan secara terbuka melapor, memeriksakan diri dan mendukung dalam pelaksanaan 3T yakni telusur, tes, dan tindak lanjut.
Sebaliknya, stigma yang masih kuat terhadap pasien Covid-19 akan mempersulit penelusuran kontak. Sebab, mereka tidak mau mengakui dan tidak mau dipantau petugas terkait gejala yang dirasakannya.
“Kami tidak mencari tersangka tapi membantu penanganan dan memastikan mendapatkan logistik,” kata anggota Subbidang Tracing Bidang Penanganan Kesehatan Satgas Covid-19, Retno Asti Werdhani, 28 Desember 2020.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan stigma mendorong orang menyembunyikan penyakitnya demi menghindari diskriminasi. Selain itu, hal ini mencegah orang segera mendapatkan perawatan kesehatan. Dampak lainnya yakni mencegah orang mengadopsi perilaku sehat.
Positif Covid-19 Setelah Disuntik Vaksin, Ini Penyebabnya Versi Vaksinolog
Pengajar KSM Psikiatri FKUI/RSCM Psikiatri Komunitas, Hervita Diatri, mengatakan menghapus stigma juga sangat membantu pemulihan pasien lebih cepat. Upaya ini bisa dilakukan dengan melakukan komunikasi risiko yang efektif mengenai bahaya Covid-19, cara penularan, dan bagaimana mencegahnya.
Upaya lain juga dengan tidak menyebutkan pasien Covid-19 dengan sebutan tersangka. Sebutan ini bisa diganti dengan “orang dengan Covid-19.” “Jadi fokus orang tetap pada figur bukan Covid. Prinsipnya tetap jujur, terbuka, dan diikuti solusi,” imbuh Hervita.