SOLOPOS.COM - Aktivitas terapi di UPT Pusat Layanan Disabilitas dan Pendidikan Inklusi (PLDPI), Mojosongo, Jebres, Solo. (Espos/Ika Yuniati)

Solopos.com, SOLO — Anastasya Helena Putri, 13, tampak asyik bermain dengan anjing piaraan di teras rumahnya kawasan Petoran, Jebres, Solo, Selasa (28/10/2021) sore. Seperti biasa, ia duduk santai sembari menunggui pelanggan gas elpiji. Senyumnya lebar tiap kali ada pembeli datang.

Termasuk saat Espos bertandang untuk bertemu ibunya, Retno Aminingsih. Helena dengan sigap membukakan pintu dan menyambut. Penyandang Down Syndrome (DS) yang sangat dekat dengan hewan piaraannya ini bahkan ikut menyiapkan minuman. Padahal sebelumnya dia sempat merasa capek selepas mendapat vaksinasi dosis pertama pada pagi hari.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Helena memang terbiasa dengan orang baru. Apalagi setelah beberapa kali diajari ibunya untuk berjualan. Ia melayani pembeli, diajak mengambil dagangan, hingga transaksi di anjungan tunai mandiri (ATM). Saat berbincang dengan Espos di ruang tamu, Selasa lalu, dirinya langsung bergegas ke teras begitu mendengar suara pembeli.

Baca Juga : Inspiratif! Tunanetra di Temanggung Dilatih Jadi Barista

Ibu Helena seorang pedagang elpiji sekaligus pengelola kursus Bahasa Inggris dan Arab  bernama Global Course Academi (GCA) Indonesia. Sejak mengetahui anaknya mengidam DS ia memilih fokus mengurusi. Bahkan pindah domisili dari Bogor ke Solo.

Retno selalu fokus mengajari life skill si putri bungsunya. “Memang harus pelan-pelan. Minimal agar dia bisa kemandirian. Saya sangat menjaganya,” kata Retno.

Helena sempat sekolah mulai Taman Kanak-Kanak (TK), lalu melanjutkan Sekolah Dasar (SD) di Sekolah Luar Biasa (SLB). Namun sekitar setengah tahun sebelum pandemi mandeg sekolah.  Sampai akhirnya off lama hampir dua tahun selama ada Covid-19.

Baca Juga : Berkunjung ke Tobelo, Ganjar Dianugerahi Gelar Kesatria

ADS 2
Anastasya Helena Putri, 13, saat memasak di dapur. (Espos/Ika Yuniati)

Keputusan meminta anaknya berhenti sekolah bukan tanpa alasan. Retno melihat sang buah hati beranjak dewasa. Ada beberapa kekhawatiran termasuk ancaman pelecehan dari orang asing. Apalagi saat sekolah harus ditinggal tanpa pengawasan orang tua.

Helena juga punya masalah komunikasi yang kurang lancar, sehingga bakal susah mengadu kalau ada hal yang mengancam keselamatannya. “Saya mengajarinya untuk menghindari pelecehan, tapi rasanya itu tidak cukup. Saya sangat khawatir. Apalagi Helena ini itungannya putih, dan menarik. Saya putuskan jaga Helena di rumah saja,” kata Retno.

Setelah itu ada badai Pandemi Covid-19 yang otomatis membuat Retno semakin merasa anaknya bakal lebih aman ketika dijaga di rumah. Apalagi Helena sudah tidak bergantung dengan jadwal terapi apapun. Banyak pusat terapi yang tutup sementara. Kalaupun ada hanya berbasis online. “Tapi saya sadar butuh usaha ekstra kalau memutuskan mengurusi Helena sendiri di rumah. Wis Mbak, ususe kudu dawa banget,” kata Retno.

Baca Juga : Mustakim Peraih Emas PON Papua Lari 58 Km dari Salatiga ke Klaten

Beberapa bulan saat di rumah saja, sang anak sempat tantrum mudah emosi. Retno lalu berupaya menenangkan dengan berbagai cara. Salah satunya memberi hewan piaraan yakni bayi anjing. Pelan-pelan perasaannya stabil karena memiliki hewan piaraan. Sekarang bermain dengan anjing dan menjaga dagangan ibunya jadi keseharian si gadis berkulit putih ini.

Sejumlah pembatasan saat pandemi memang membuat Retno harus kerja ekstra. Ia berjualan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sembari memperhatikan sang anak selama 24 jam. “Untung anaknya memang nurut. Dia sudah tau kalau ada pandemi Covid-19. Saya bujuk vaksin juga mau,” kata dia.

Retno paham betul bahwa sang anak kesulitan soal akademik atau hal lain yang berkaitan dengan aktivitas fisik. Pasalnya selain DS, ia juga memiliki riwayat masalah pada jantung saat masih bayi. Maka dari itu, treatment yang saat ini bisa dia upayakan yakni melatih life skill.

Baca Juga : Kembali Beroperasi, Begini Kisah Perjalanan Sepur Kluthuk Jaladara Solo

Kemunduran

Kemunduran anak selama pandemi diakui orangtua Anak Down Syndrome (ADS) asal Semanggi Pasar Kliwon, Yolenta Ninik Suryani. Mengingat selama pandemi intensitas terapi mulai berkurang. Biasanya sang putri balita, Hana, terapi gratis di Pusat Layanan Disabilitas dan Pendidikan Inklusi (PLDPI) Mojosongo sepekan sekali. Saat pandemi, hanya bisa dua pekan sekali. Ada pusat terapis lain yang masih buka, tapi berbayar.

Itupun tidak bisa disentuh langsung oleh terapis. Padahal beberapa terapi seperti wicara butuh sentuhan langsung. Saat Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat dua bulan lalu bahkan hanya bisa daring. Terapi hanya berupa tugas rumah yang butuh pendampingan intensif orangtua.

Baca Juga : Kreatif, Ibu-Ibu PKK Karanggede Boyolali Sulap Pepaya Jadi Abon

Hana sebelumnya kalem dan manut. Setelah lama absens karena pandemi, dia agak penakut. Saat didekati terapis, dia terlihat ragu, hingga tantrum. Kemunduran psikologis tersebut terlihat kentara pada diri Hana.

“ADS kan sebenarnya harus mengulang-ulang ya prinsipnya. Kalau enggak terapi ya enggak ada materi baru yang dipelajari. Di akaan mundur lagi. Misal sebelumnya sudah bisa merangkak, ya bakal lupa. Harus memulai semuanya dari awal,” kata dia.

Yolenta pun melakukan beberapa upaya untuk menekan kemunduran psikologis yang dialami anaknya. Dia rajin konsultasi daring dengan terapis, atau belajar dari kanal YouTube soal tutorial terapi yang dibutuhkan. Sementara untuk okupasi wicara berupa memijat-mijat wajah dilakukan tiap selesai mandi.

Baca Juga : Promosikan Budaya, Bandara YIA Pamerkan Karya Seni Rupa

“Untungnya saya di rumah, jadi bisa fokus mengawasi Hana. Kasian yang misal orang tuanya bekerja lalu enggak ada yang jaga. Pandemi benar-benar membuat ADS makin mundur perkembangannya,” ceritanya saat ditemui akhir September lalu.

Koordinator Persatuan Orang Tua dengan Down Syndrome (Potads) Korwil Solo ini mengatakan masalah terapi memang jadi salah satu kendala anak-anak DS di masa pandemi. Ada pula orang tua ADS yang terpaksa tidak membawa anaknya terapi karena terkendala biaya.

Mereka kehilangan pekerjaan, sehingga mengutamakan kebutuhan sehari-hari ketimbang biaya terapi. “Sebenarnya biaya terapi gratis, tapi uang transportasinya yang enggak ada. Ayahnya tidak bekerja, hanya ibunya yang kerja. Makanya ya sudah, ditunda dulu terapinya. Uangnya untuk kebutuhan yang lebih mendesak yakni kebutuhan sehari-hari. Simalakama juga sebenarnya,” ceritanya.

Baca Juga : Pemkot Jogja Ingin Seluruh Wisata di DIY Bolehkan Anak 12 Tahun Masuk

Psikolog yang biasa menangani ABK di PLDPI Solo, Sri Widadiningsih, membenarkan soal kemunduran ADS selama pandemi karena program terapi yang tidak maksimal. Kemunduran perkembangannya bahkan bisa mencapai 50%. Sebenarnya mereka sudah bekerja optimal dengan tetap melakukan pendampingan via daring, tapi ternyata itu tak cukup.

Maka hal yang bisa dilakukan adalah mengevaluasi kembali kondisi anak saat mulai ada kelas tatap muka. Setelah itu biasanya dibuat program baru sesuai kebutuhan saat ini. Rata-rata adalah mengulang terapi lama dari langkah pertama lagi.

“Ya memang begitu, prinsip anak-anak in ikan mengulang sesuatu. Kalau sudah off lama ya lupa lagi. Parahnya kalau sampai tantrum. Agak kerja keras untuk menekan lagi emosinya,” kata dia saat diwawancara pekan lalu.

Baca Juga : Geliat 600 Perajin Tempe di Malang Lewat Festival Kuliner Tempe Sanan

Mendorong

Sementara itu, selama ini Potads Solo selalu mendorong dan membantu orang tua yang kesulitan akses soal terapi dan lainnya. Namun memang tak semua mau menjalankan rekomendasi. Mengingat latarbelakang keluarga yang berbeda-beda.

Beberapa program dilakukan door to door. Misalnya anjuran vaksinasi untuk DS berusia dewasa, menjembatani sunat masal, pijat bayi DS gratis, hingga bakti sosial. Potads juga menjembatani orang tua DS dengan dokter spesialis anak via grup Whatsapp komunitas. Ini sangat penting mengingat konsultasi bisa dokter bisa dilakukan kapan saja.



Anggota mereka saat ini berjumlah 48 orang se-Solo. Sementara usia anak DS beragam mulai dari baru lahir hingga 19 tahun. Saat ini Potads sedang merancang program rumah singgah yang nantinya memfasilitasi anak-anak DS dalam hal potensi seni. Mulai dari seni tari, lukis, maupun musik.

Baca Juga : Keren! Toko Roti di Surabaya Ini Sediakan Dalgona Candy ala Squid Game

“Komunitas seperti ini sangat penting ya, karena kita jadi saling mendukung dan bantu membantu jika ada kesulitan. Tapi itu tidak cukup. Pada masa pandemi seperti ini dukungan keluarga, lingkungan dan pemerintah sangat penting agar bisa maksimal,” kata Yolenta.

SOina

ADS merupakan salah satu jenis dari ragam disabilitas intelektual (DI). DI adalah istilah yang digunakan ketika seseorang memiliki keterbatasan tertentu dalam fungsi dan ketrampilan kognitif, termasuk ketrampilan komunikasi, sosial, dan perawatan diri.

Direktur Keluarga dan Atlit Muda PPS Special Olympics Indonesia (SOina) Pusat, Ir Desyana Fatimah, peran orangtua untuk tumbuh kembang ADS maupun DI pada umumnya sangatlah penting. Saat diwawancara, Jumat (8/10/2021), ia menegaskan bahwa peran keluarga adalah fondasi utama kemandirian dan  edukasi.

Baca Juga : Situs Watu Kucur di Jombang, Dulu Punden yang Dikeramatkan Warga

Termasuk saat pandemi seperti sekarang ini. Jika keluarganya sudah teredukasi, semuanya akan lebih mudah ditangani. “Keluarga itu adalah akarnya. Bangun dulu fondasi yang kuat di keluarga. Keluarga yang paling tau kondisi anak, waktu anak juga banyak di keluarga,” terang Desyana.

Desyana kemudian menyebutkan beberapa hal yang bisa dilakukan untuk penguatan keluarga. Dimulai dengan mengenali kondisi anak, menyesuaikan ekspektasi dengan kondisi, menerapkan pola hidup sehat, menerapkan disiplin, serta membangun kepercayaan diri. Kepercayaan diri ini sangat penting untuk meningkatkan kualitas hidup si anak.

Cara meningkatkan kepercayaan diri caranya dengan ikut komunitas yang sesuai dengan potensi anak. Salah satunya mengembangkan potensi bidang olahraga  di SOina. SOina bahkan mulai mengembangkan bidang lain seperti program seni dan budaya, juga keterampilan memasuki dunia kerja. Semua skill tersebut sangat diperlukan sebagai bekal anak-anak DI, termasuk ADS.



Baca Juga : Pemkot Madiun Beli Lagi 4.880 Laptop, Siap-siap Dibagikan Akhir Tahun

SOina adalah organisasi yang sudah 50 tahun lebih mendukung anak-anak bertalenta khusus. Mereka berhasil melibatkan lima juta dari 193 negara. Tujuan utamanya bukan untuk meraih medali, namun mendapatkan apresiasi sehingga menumbuhkan semangat dan kepercayaan diri bagi ABK maupun keluarga. Sesuai dengan tagline mereka yakni Let me win but if i cannot win let me brave in the attempt.

Khususnya untuk DS, menurut Desyana, memiliki masalah dalam hal metabolisme tubuh sehingga badannya cenderung gemuk. Maka jika diikutkan komunitas khususnya olahraga, memberikan dampak kesehatan pula pada diri mereka. “Kunci utama di keluarga. Masalah utama juga di keluarga. Jadi, ini yang memang harus kita kuatkan lebih dulu,” terangnya.

Inklusi dengan Nurani

Solo sendiri belum memiliki program khusus untuk DI atau ADS. Namun, Pemerintah Kota (Pemkot)  terus mendorong kota inklusif dengan adanya Pusat Layanan Disabilitas dan Pendidikan Inklusi (PLDPI) di bawah Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pusat PLDPI yang berada di bawah Dinas Pendidikan Kota Solo. Lembaga ini disiapkan untuk memberikan assessment atau penilaian ABK dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).

ADS 1
Kegiatan olahraga pasca PPKM Darurat oleh Special Olympics Indonesia (SOina) Jawa Timur. (Espos/Ika Yuniati)

Baca Juga : Istimewa, Kerajinan Kulit Warga Madiun Ini Tembus Jepang Hingga Kanada

Program ini bermuara pada trans education untuk membentuk pendidikan inklusi. Assemessment di PLDPI disiapkan secara sosial dan emosional untuk meminimalisir hambatan ABK ketika masuk di sekolah umum. Mereka juga terkoneksi dengan sekolah di Kota Solo sehingga konsep pendidikan inklusi nantinya bisa digarap secara utuh. Yakni mempersiapkan ABK, juga sekolah dan lingkungan yang bakal menempanya.

Saat ini Solo memiliki 62 sekolah yang sudah menerapkan konsep inklusi. Jumlah tersebut terbagi di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sebanyak 32, Sekolah Dasar sebanyak 19, dan sepuluh Sekolah Menengah Pertama (SMP). Mereka menerapkan modifikasi kurikulum sesuai dengan hasil assessment PLDPI. Konsepnya tidak hanya menekankan kemampuan akademik siswa, tapi empati dan welas asih pada disabilitas.

Kepala PLDPI Hasto Daryanto, Rabu (29/9/2021) mengatakan jangka waktu tiap program hingga delapan bulan. ABK bakal memberikan asesmen psikologis dan terapi. Kalau belum berhasil harus diulangi lagi. Sementara Disabilitas Intelektual (DI) butuh proses yang lebih panjang karena identifikasinya tak harus lama. Berbeda dengan ABK lain yang bisa langsung dilihat secara kasat mata.

Baca Juga : Kece Abis, Jip Mini Buatan Santri Jember Ini Bikin Kesengsem



Selain menyiapkan terapi dan psikolog, PLDPI harus meyakinkan orangtua terlebih dahulu. Komponen paling utama pada program ini adalah komitmen keluarga. Mengingat, tujuan akhirnya adalah orangtua siap menjadi terapos dan pengasuh jangka panjang bagi si anak.

PLDPI juga menerapkan pendekatan dengan konsep Nurani Bercahaya. Nurani Bercahaya adalah pedoman menumbuhkan jiwa inklusi lewat perasaan welas asih. Pengajar di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) ini bahkan telah membukukan karya Nurani Bercahaya sebagai panduan para terapis di maupun orang tua.

PLDPI bahkan memiliki ruang khusus Nurani Bercahaya yang digunakan untuk assesment orang tua dan terapis sebelum mendampingi ABK. Nurani Bercahaya dibangun dari rasa empati, peduli, kemudian berlanjut pada semangat membersamai, dan membahagiaakan. “Kalau melihat ABK, dekati, utamakan dulu empati dan nurani. Itu konsep inklusi yang sedang kami upayakan,” kata  Hasto.



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya