SOLOPOS.COM - Bono Setyo/Istimewa

Solopos.com, SOLO -- Maraknya pemberitaan tentang ucapan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Yudian Wahyudi, bahwa ”agama jadi musuh terbesar Pancasila” oleh beberapa media telah menjadi viral bak anak panah yang lepas dari busurnya.

Muncul banyak reaksi keras dari para tokoh, berbagai wakil elemen masyarakat, maupun warganet yang kontra bahkan merundung kepala BPIP yang juga mantan rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta itu.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Yang menjadi pertanyaan adalah benarkah pernyataan kepala BPIP itu memang seperti itu, bahwa ”agama jadi musuh terbesar Pancasila”? Ataukah itu hanya framing oleh media? Mengapa bisa menjadi viral? Esai ini menjelaskan fenomena tersebut.

Saat ini kita berada pada era media baru (new media). Pada era ini media online maupun media sosial menjadi rujukan baru bagi masyarakat (warganet). Apa pun pemberitaan atau informasi dari media dianggap sebagai kebenaran.

Masyarakat menjadi seperti terhipnotis oleh pesan-pesan atau informasi dari media yang menjadikan mereka tidak bisa—atau enggan--berpikir logis serta cenderung reaktif dan sensitif.

Media menjadi referensi utama masyarakat dan pada gilirannya menjadi acuan pola pikir, bahkan sikap dan perilaku masyarakat terbentuk oleh media. Meminjam istilah Iswandi Syahputra (2020), guru besar ilmu komunikasi di UIN Sunan Kalijaga, kasus pemberitaan tentang pernyataan kepala BPIP itu menunjukkan kita adalah ”manusia media” yang berpikir dengan logika media.

Dengan kata lain, manusia media itu cenderung irasional karena tidak pernah menggunakan logika yang menjadi fitrah manusia sebagai makhluk yang mulia. Kasus pemberitaan tentang ”agama sebagai musuh Pancasila” bermula dari wawancara wartawan detik.com dengan Yudian yang selanjutnya ditulis menjadi berita di media online tersebut.

Berita yang diunggah berjudul Kepala BPIP Sebut Agama sebagai Musuh Terbesar Pancasila. Di sinilah masalah berawal karena ada communication gap antara wawancara yang dilakukan wartawan detik.com dengan pemberitaan yang diunggah.

Distorsi

Perlu diketahui bahwa pemberitaan itu merupakan produk atau karya jurnalistik yang ditulis oleh seorang wartawan yang terkadang (secara manusiawi) mengalami distorsi akibat penafsiran atau interpretasi subjektif wartawan yang "punya kepentingan", yang salah satunya adalah bad news is a good news.

Terkadang wartawan melakukan teknik atau strategi melalui judul berita yang diyakini menarik, bombastis, dan terkadang kontroversial sehingga  mendapatkan perhatian dari masyarakat (warganet).

Judul berita di detik.com hasil wawancara dengan kepala BPIP adalah contoh keberhasilan menerapkan teknik atau strategi dengan “baik”, ini  terbukti pemberitaan tentang persoalan itu telah mendapatkan respons yang sangat signifikan dari berbagai kalangan masyarakat dan warganet.

Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Center of Communication Studies and Training bekerja sama dengan Median-Analytic diketahui sejak berita itu diunggah sampai Kamis tanggal 13 Februari 2020 jumlah tweet yang masuk lebih kurang 15.00 dan hastag yang paling banyak muncul atas isu tersebut adalah #bubarkanbpip.

Fenomena tersebut menunjukkan betapa kejamnya media ketika dimainkan oleh jurnalis yang hanya mengejar sensasi atau kepentingan sesaat sehingga banyak warganet yang seharusnya dapat menggunakan logika untuk berpikir jernih dan rasional jadi terseret dalam logika media yang notabene irasional dan terkadang hanya framing.

Di sinilah pentingnya literasi media, baik untuk masyarakat, warganet, dan juga untuk para jurnalis. Pertama,  pemberitaan atau informasi dari media penting namun jangan ditelan mentah-mentah apalagi hanya berdasarkan interpretasi judul berita atau lead berita.

Kedua, masyarakat atau warganet harus membiasakan untuk selalu membaca berita  secara utuh serta melakukan check and recheck dengan sumber berita langsung atau melalui pemberitaan lain. Ini sebaiknya menjadi habit yang harus terus dilakukan agar kita tidak terseret pada logika media.

Ketiga, media khususnya para jurnalis harus lebih memperbanyak berita positif atau yang menyejukkan dan mencerahkan masyarakat atau warganet. Dengan demikian masyarakat tetap kritis namun tidak gaduh apalagi sampai terjadi konflik sosial hanya gara-gara mis-interpretasi atau framing berita. Naudzubillahi mindzalik

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya