SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Orang tua mana yang tidak terusik dengan kata-kata tidak sopan yang dilontarkan anak-anaknya? Apalagi kalau anak itu muda atau bahkan masih sangat muda, pasti ‘gemes’ rasanya. 
Sepertinya boleh juga kita menjadi ‘tambah gemes’, atau bahkan jengkel, dengan bahasa yang digunakan anggota dewan tertentu di Senayan, yang dengan dalih berbahasa politik dalam panggung politik, berbahasa kasar, berbahasa tidak santun, berbahasa dengan semaunya dianggap sebagai hal biasa. Berkaitan dengan sinyalemen yang terakhir ini, coba simak lagi saja rekaman perbincangan yang dirilis Kompas (1/3).
Dua fakta bahasa di atas bolehlah kita sebut dua peristiwa bahasa berbeda, tetapi kedua-duanya sama-sama  menegaskan bahwa kini semakin muncul urgensi untuk memahami ungkapan dan menggunakannya  pada pelbagai kesempatan. Rasa-rasanya, kita boleh juga menjadi semakin tidak percaya dengan proses pengajaran  bahasa dan pemelajaran bahasa kita.
Penguasaan bahasa seseorang, memang tidak dapat dipisahkan dari sikap dan perilakunya. Semakin orang menguasai bahasa, sikap dan perilakunya akan semakin dapat dipertanggungjawabkan. Inilah sesungguhnya manifestasi kedekatan hubungan antara bahasa dan budaya. Bahasa juga adalah prevoir budaya.  
Pemakaian bentuk-bentuk ungkapan, juga yang sifatnya idiomatis, adalah bagian integral dari aktivitas berbahasa. Bentuk ungkapan dalam pemahaman J.S. Badudu, yang oleh Anton Moeliono, salah seorang begawan linguistik Indonesia, disebut sebagai ‘gurunya guru bahasa’, adalah bentuk kebahasaan dengan makna khusus, yakni kiasan.
Masih dalam penuturannya pula, bahasa Indonesia ternyata memiliki banyak makna kiasan untuk kata-kata dan frasa-frasanya. Maka dapat pula dikatakan, dalam bahasa Indonesia terdapat banyak bentuk ungkapan.
Andaikan saja setiap pemakaian bahasa Indonesia paham benar dengan bentuk ungkapan itu, niscaya bahasa ini akan dapat digunakan dengan penuh pertimbangan dan perhitungan keapikan, keindahan, dan ketakrifan atau kesantunan. Dengan begitu pula, peristiwa-peristiwa bahasa yang sangat tidak mengenakkan seperti disebutkan di awal tulisan, bakal dapat diminimalisasikan frekuensi kejadiannya.
Berkaitan dengan masalah ini, saya rasa boleh pula kita berkaca pada kelaziman yang terjadi di kebanyakan daerah Melayu, juga di negara-negara jiran Brunnei dan Malaysia. Dalam banyak perbincangan, bahkan yang seformal dan seserius apa pun, banyak digunakan bentuk-bentuk kebahasaan yang mengandung kiasan. 
Lazimnya, di wilayah-wilayah itu sebuah pertemuan selalu diawali dan diakhiri sepenggal pantun. Kita semua tahu, pantun hampir selalu pasti memiliki makna kiasan. Dengan pemakaian pantun, juga dengan pemakaian ungkapan-ungkapan, apalagi ungkapan idiomatis,  dimensi estetika dan dimensi kesantunan bahasa itu dapat benar-benar ditunjukkan.
Nah, bentuk-bentuk ungkapan itu lazimnya merupakan senyawa,  cenderung berciri baku dan beku karena memang relatif tidak digunakan secara berubah-ubah. Dengan perkataan lain, ungkapan itu tidak dapat semaunya diubah, dimodifikasi, dipendekkan, atau dipanjangkan. Jadi, ungkapan itu cenderung digunakan sesuai dengan standar bakunya, tidak digunakan secara variatif.
Ungkapan idiomatik
Ketetapan ungkapan idiomatis sesungguhnya mencakup dua dimensi, yakni dimensi bentuk dan  dimensi maksud atau makna. Sebagai contoh untuk dimensi ketetapan bentuk, kita ambil saja ungkapan ‘disebabkan oleh’ dan ‘sehubungan dengan’. Kedua bentuk ini mustahil dipendekkan menjadi ‘disebabkan’  dan ‘sehubungan’. Alasannya, bentuk kebahasaan itu merupakan bentuk tetap.
Pun ketika harus hadir dalam media massa atas dalih ekonomi kata, bentuk idiomatis itu harus muncul apa adanya.  Bentuk ‘disebabkan oleh’ tidak dapat pula diubah menjadi bentuk ‘disebabkan karena’, sekalipun bentuk salah itu telah banyak digunakan.
Mari kita ambil juga bentuk ‘terdiri atas’ dan ‘terdiri dari  serta ‘dibandingkan dengan’. Tentu saja, bentuk-bentuk kebahasaan itu semuanya tidak dapat diubah wujudnya menjadi ‘terdiri’, atau ‘dibandingkan’ saja.
Dari dimensi maksud, ungkapan yang hampir selalu bermakna kias itu dapat kita lihat dalam banyak contoh berikut ini.
Bentuk kias ‘beradu lidah’ atau ‘mengadu lidah’ saya rasa jauh lebih indah, jauh lebih santun, daripada bentuk biasa ‘bertengkar’ atau ‘berbantah-bantah’. Ungkapan ‘beradu mulut’ dapat juga digunakan untuk menyampaikan maksud di atas, tetapi sepertinya, ‘beradu mulut’ sudah lebih sering digunakan daripada  ‘beradu lidah’. Karena tingkat keseringan pemakaian itu pula, ‘beradu mulut’ dapat dikatakan memiliki kadar keterusterangan yang lebih tinggi.
 Saya rasa cukup cerdas pula pilihan kata yang digunakan oleh salah satu stasiun televisi swasta nasional di Jakarta, yang pernah menamai salah satu acaranya ‘silap lidah’ untuk program yang isinya berhakikat ‘perdebatan’ dan/atau ‘pertengkaran’ .
Tidak sadarkah kita bahwa ‘air muka’ sesungguhnya jauh lebih santun daripada ‘rupa muka’ atau ‘warna muka’? Juga bentuk ‘makan angin’ atau ‘mengambil angin’ saya rasa juga lebih indah daripada sekadar bentuk ‘jalan-jalan’ atau ‘menghirup angin’.
Kiranya kita harus mengerti juga, ‘buah hati’ dan ‘buah dada’ serta ‘buah bibir’ adalah bentuk-bentuk kias yang mengandung makna lebih estetis daripada sekadar ‘kekasih’ dan ‘susu’ serta ‘gosip’.
Dengan bentuk ‘anak jalang’ atau ‘binatang jalang’ saya rasa maksud ‘gelandangan’ juga akan dapat diungkapkan dengan lebih bernilai rasa. Demikian pula ‘perempuan jalang’, akan lebih pantas dikatakan daripada bentuk kasar ‘lonte’ atau ‘perempuan sundal’, pun jika dibandingkan dengan bentuk ‘pekerja seksual’ atau ‘wanita tuna susila’. 
Bentuk idiomatis ‘meregang nyawa’ tentu lebih estetis digunakan dibandingkan dengan ‘mati’ atau ‘sekarat’. Demikian pun ‘menyabung nyawa’, tentu saja akan lebih bernilai rasa daripada bentuk biasa ‘berbahaya’ atau ‘sangat berbahaya’. 
Bentuk ‘berumah tangga’ tentu lebih diterima banyak kalangan daripada ‘kawin’ atau ‘beristri’ atau ‘bersuami’.
Tahukah Anda bahwa ungkapan ‘tipis telinga’ memiliki makna ‘mudah tersinggung’ atau ‘mudah marah’, sedangkan makna bentuk idiomatis ‘tebal telinga’ adalah ‘tidak perasa’?
Dalam bahasa Jawa kita mengenal  ‘rai gedhek’ untuk ‘tidak tahu malu’ atau ‘tidak memiliki rasa malu’, sedangkan dalam bahasa Indonesia kita memiliki bentuk idiomatis ‘muka papan’.
Dalam bahasa Jawa pula kita memiliki ‘mangan ati’ yang berarti ‘membuat sedih’ atau ‘membuat gundah’. Maksud yang sama  diungkapkan dalam bahasa Indonesia dalam bentuk ‘makan hati’. 
Dalam bahasa Indonesia kita mengenal ungkapan ‘ringan tangan’ untuk maksud ‘mudah menolong’ dan ‘mudah memukul’, sedangkan dalam bahasa Jawa kita mengenal ‘enthengan’ dan ‘cengkiling’. 
Pada masa lampau orang mengatakan ‘mendapat kain kotor’ untuk menyampaikan maksud menstruasi pada perempuan, sedangkan sekarang digunakan ‘lagi M’ atau ‘lagi dapet’. Bentuk terakhir ini pun merupakan ungkapan, dan di dalamnya terkandung dimensi ketidaklangsungan.
Pemahaman dan penguasaan kita ihwal bentuk-bentuk ungkapan seperti disebutkan di depan bakal menjadikan bahasa yang kita gunakan bernilai rasa. Dengan kata lain, dalam ungkapan juga terkandung makna afektif atau makna intuitif seperti yang pernah kita perbincangkan. Demikian pentingnya ungkapan dalam aktivitas berbahasa, mengharuskan kita untuk tidak pernah melupakannya.
Dalam konteks kesantunan, bentuk ungkapan cenderung memiliki tingkat kesopanan lebih tinggi karena kadar keterusterangannya yang  memang tidak tinggi. Jadi, ungkapan idiomatis itu menyelamatkan muka, baik muka pembicara maupun muka mitra wicaranya. Kesantunan hakikatnya adalah tindakan  penyelamatan muka (face-saving), baik muka positif (positive face) maupun muka negatif (negative face) pemiliknya.

R.  Kunjana Rahardi
Dosen ASMI Santa Maria Yogyakarta

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya