SOLOPOS.COM - Ilustrasi jamu. (Freepik)

Solopos.com, JAKARTA — Jamu Indonesia kalah di pasar Global. Menteri Perdagangan Agus Suparmanto meminta industri jamu meningkatkan daya saing produk mereka dan mendukung usaha skala mikro. Langkah ini dinilai strategis untuk memperluas ekspor produk jamu di tengah bergesernya pelaku konsumen akibat pandemi Covid-19. Masa pandemi sejatinya potensial bagi industri biofarmaka Indonesia berjaya di pentas dunia.

“Kita dapat mengubah momentum krisis ini menjadi lompatan kesempatan. Jamu adalah salah satu keunggulan lokal yang memiliki potensi besar di pasar domestik dan luar negeri. Apalagi disrupsi yang terjadi selama pandemi Covid-19 ini telah menggeser perilaku dan pola konsumsi masyarakat dunia ke arah yang semakin sadar kesehatan,” kata Agus dalam Webinar Jamu Modern untuk Pasar Indonesia, Asia, Afrika, Timur Tengah, Eropa, dan Amerika Serikat yang dikutip Jaringan Informasi Bisnis Indonesia (JIBI) dari pernyataan resmi, Selasa (15/9/2020).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Agus juga menyampaikan bahwa industri jamu Indonesia mampu menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluang-peluang yang ada. Sektor ini tercatat telah menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar dengan pertumbuhan mencapai 6% pada 2019.

Pekerja Bangunan Temukan Kuburan Hewan Purba di Bandara Baru Meksiko

“Selain itu, dengan bahan baku yang kurang lebih 90 persen berasal dari dalam negeri, industri jamu akan memberikan multiplier effect yang signifikan dalam pertumbuhan perekonomian mulai dari sektor hulu sampai hilir,” kata Agus.

Di tengah pandemi Covid-19, sejumlah sektor mampu bertahan dari pandemi. Misalnya industri kimia, farmasi, dan obat tradisional tumbuh 8,65 persen pada kuartal II 2020 jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.

Biofarmaka Terdampak Pandemi

Sementara itu, di sektor biofarmaka atau tanaman obat, nilai ekspor secara keseluruhan memang ikut terdampak pandemi. Pada periode Januari–Juli 2020, nilai ekspor produk biofarmaka adalah US$5,69 juta. Nilai ini turun 12,60 persen dari nilai ekspor pada periode yang sama pada 2019 yang senilai US$6,51 juta.

Meski demikian, peningkatan nilai ekspor di sejumlah kawasan tujuan ekspor memberi harapan untuk jenis produk biofarmaka. Pada periode Januari-Juli 2020, nilai ekspor produk biofarmaka ke kawasan Timur Tengah justru meningkat sebesar 511,41%menjadi US$38.820, meroket dari US$6.350 pada periode yang sama pada 2019.

13 Peti Mati Warga Kelas Menengah Mesir Kuno Ditemukan di Sahara

Kenaikan ekspor juga terjadi ke Amerika Serikat yang naik 8,36% dan Eropa 5,26% pada periode yang sama. Negara tujuan ekspor produk biofarmaka Indonesia pada periode Januari–Juli 2020 masih didominasi oleh India (52,83%), Singapura (7,82%), Jepang (6,25%), Vietnam (5,37%), dan Malaysia (4,98%).

Pada 2019, Indonesia menempati urutan ke-18 negara pengekspor biofarmaka ke dunia dengan pangsa pasar sebesar 0,62%. Pemasok biofarmaka dunia masih didominasi oleh India (34,88%), China (8,10%), dan Belanda (7,16%).

“Hal ini menyadarkan kita bahwa potensi produk biofarmaka nasional, seperti jamu, yang bahan bakunya berlimpah di dalam negeri ini perlu kita optimalisasi. Munculnya India sebagai pemain utama biofarmaka dunia di satu sisi, dan kenyataan ekspor bahan biofarmaka nasional yang lebih dari separuhnya ditujukan ke India, secara tidak langsung menunjukkan struktur industri jamu nasional sekaligus potensi pasar yang dapat kita manfaatkan pada tataran global di sektor ini,” kata Agus.

KLIK dan LIKE untuk lebih banyak berita Solopos

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya