SOLOPOS.COM - Ilustrasi kartu BPJS Kesehatan. (JIBI/Solopos/Dok.)

Jaminan kesehatan dari BPJS mendapat kritikan dari para dokter di Sragen.

Solopos.com, SRAGEN—Para dokter keluarga, dokter pengelola klinik kesehatan, dan dokter puskesmas yang bermitra dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sambat ketika berhadapan dengan pasien peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Para pasien JKN tidak memahami aturan yang berlaku di BPJS.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Akibatnya, dokter-dokter mitra BPJS yang jadi tumpuan masalah dan jadi umpan ketika dihadapkan dengan pasien JKN. Persoalan tersebut diungkapkan dr. Aris Surawan yang juga legislator dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang memiliki klinik mitra BPJS di Gondang, Sragen, saat dihubungi solopos.com, Selasa (1/3/2016).

Aris menjelaskan selama ini BPJS berharap pasien JKN tidak tertumpuk di fasilitas kesehatan lanjutan atau rumah sakit (RS). Dampaknya fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) yang terdiri atas dokter keluarga, klinik kesehatan, dan puskesmas harus bisa menyelesaikan kasus-kasus penyakit yang ada dan ketika berat baru dirujuk ke RS.

“Rujukan itu otoritas dokter, klinik atau puskesmas yang jadi fasikes [fasilitas kesehatan] tingkat pertama. Indikasi medis yang tidak selesai bisa dirujuk ke faskes lanjutan. Praktiknya tidak begitu. Banyak faskes tingkat pertama yang mengeluh karena pasien memaksakan diri untuk dirujuk. Mestinya BPJS menyosialisasikan hak dan kewajiban pasien terkait dengan faskes pertama dan lanjutan,” ujar Aris.

Aris menyontohkan pasien JKN yang merasa membayar ke BPJS kemudian berhak menentukan faskes lanjutan. Ekstremnya, lanjut dia, pasien dari pegawai negeri sipil (PNS) menganggap fakses tingkat pertama seperti puskesmas hanya untuk lewat saja. Aris melihat persoalan itu dari sudut pandang pasien ketika ayahnya menderita sakit gula komplikasi yang sudah cocok di RS Dr. Sarjito tahu-tahu harus mengikuti aturan dan berhadapan dengan dokter di faskes tingkat pertama.

Di sisi lain, Aris dan dokter-dokter mitra BPJS lainnya dihadapkan pula pada aturan rujukan berjenjang dari fakses tingkat pertama ke RS tipe D, C, B, dan A.

“Kasus yang terjadi di klinik istri saya itu, ada pasien sakit mata biasanya bisa langsung ke RSUD Sragen. Sekarang tidak bisa harus ke RSI Assalam Gemolong karena yang memiliki fasilitas mata di sana untuk RS tipe D. Padahal jarak Gondang di ujung timur Sragen sampai Gemolong di ujung barat Sragen,” ujar dia.

Aris menyampaikan fasilitas RS tipe D itu tidak selengkap tipe C, B, dan A. Ketika dokter faskes tingkat pertama langsung merujuk ke RS tipe B, kata Aris, BPJS memberi peringatan kepada dokter itu karena melewati RS tipe D dan C.

“Kenyataannya pasien protes. Yang diprotes ya dokter di faskes tingkat pertama. Kami harus berdebat dengan pasien dulu ketika akan menentukan RS rujukan. Apalagi ketika pasien menentukan sendiri RS rujukan itu. Di sisi lain belum masalah bangsal penuh,” tambahnya.

Aris menyatakan selama ini dokter di faskes tingkat pertama yang sering jadi umpan BPJS ke masyarakat. “Belum lagi si pasien itu membawa-bawa legislator untuk menekan si dokter. Itu yang menjadi keluhan teman-teman dokter.
Persoalan itu yang dituntut Dokter Indonesia Bersatu (DIB). Di sisi lain, biaya yang ditetapkan BPJS untuk rawat inap per pasien hanya Rp125.000/hari. Dengan nilai itu apa cukup untuk biaya makan minum tiga kali dan kebutuhan obat. Akhirnya, ya piye carane dokter-dokter di klinik rawat inap itu,” terang dia.

Dokter Puskesmas Ngrampal, Sragen, dr. Ani Afifah, berpendapat persoalan utama yang dihadapi puskesmas itu belum tersosialisasinya aturan BPJS. Dia mengatakan mayoritas masyarakat belum tahu tentang aturan JKN. Ani juga menjumpai pasien yang seharusnya dirawat di puskesmas tetapi mendesak untuk dirujuk ke RS.

“Ada lagi, kasus darurat yang mestinya bisa langsung ke IGD [Instalasi gawat darurat] RS ternyata masih minta rujukan ke puskesmas. Semua itu karena aturan BPJS belum tersosialisasi. Ya, mungkin karena program baru, banyak masyarakat yang belum tahu. Kalau biaya perawatan Rp125.000/hari per pasien itu relatif. Kadang juga tombok, kadang juga cukup,” jelas dia.

Sementara itu, Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, menuturkan masih menerima keluhan dari pasien rumah sakit besar di Jakarta dan sekitarnya. Rata-rata keluhan tentang pelayanan kesehatan. Pasien melapor kesulitan mendapatkan kamar karena kamar di sejumlah rumah sakit penuh, membayar obat karena stok obat di rumah sakit tempat rawat inap habis, kesulitan masuk ICU/PICU/NICU karena penuh, dan lain-lain. Bahkan dia mengaku menerima laporan pasien BPJS dalam kondisi parah tetapi harus menunggu operasi belum lama ini.

Sayangnya, menurut Timboel BPJS tidak dapat bertindak banyak meringankan beban pasien terkait hal tersebut di atas. Dia menyebut BPJS pasif.

“Perlakuan dan pelayanan terhadap pasien BPJS dan non-BPJS masih berbeda. Itu-itu saja pekerjaan rumah. Padahal informasi tentang kamar, ICU/PICU/NICU itu hak publik. Itu bukan rahasia rumah sakit. Hla parkir di pusat perbelanjaan saja ada informasi sisa parkir. Di rumah sakit malah enggak ada [informasi kamar],” kata dia saat dihubungi Espos, Selasa.

Menurut dia, BPJS harus mengambil tanggung jawab pelayanan. Timboel menyampaikan salah satu satu solusi yakni keterbukaan informasi secara online. Informasi tersebut dapat diakses seluruh rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS atau minimal rumah sakit terdekat. Dia menjelaskan bahwa ide itu pernah disampaikan kepada publik tetapi belum dijalankan.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya