SOLOPOS.COM - Salah satu sudut tanjakan di Jalan Cinomati yang menghubungkan Desa Wonolelo (Pleret) dan Desa Terong (Dlingo). Foto diambil Jumat (16/6/2017). (Arief Junianto/JIBI/Harian Jogja)

Jalur mudik Lebaran 2017 di Bantul ini perlu diketahui

 
Harianjogja.com, BANTUL– Libur Lebaran, selalu jadi momentum masyarakat untuk pulang ke kampung halaman. Ada pula yang menghabiskannya untuk sekadar berwisata. Banyak jalur di Bantul yang bisa dilalui, tapi tidak dengan Cinomati.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

‘Selamat Datang di Desa Wonolelo’. Tulisan besar itu terpampang di hadapan saya. Saat itulah, saya sadar, bahwa tujuan saya sudah dekat.

Cinomati. Begitu orang menyebut jalur yang akan saya tuju ini. Beberapa tahun terakhir, jalur ini mendadak begitu viral. Bukan atas keindahan pemandangan yang disajikan di atas sana saja, jalur ini mendadak terkenal justru lebih karena catatan kecelakaan lalu lintasnya yang mengerikan.

“Memang, sebagian besar kecelakaan yang terjadi di jalur ini, pengendara terjun bebas ke jurang,” kata Sugito, Kepala Dusun Cegokan yang saya temui di rumahnya.

Siang itu (16/6/2017), laju sepeda motor saya hentikan di depan rumahnya. Tepat berada di tikungan awal jalur Cinomati, rumah Sugito seolah jadi saksi sejarah jalur itu, sejak mula dibangun hingga sekarang.

Bersarung, pria berumur separuh abad itu menyambut saya begitu ramahnya.

Dilahirkan dan dibesarkan di rumah itu, ia memang tahu banyak tentang jalur yang biasa dipakai oleh warga Bantul untuk menuju ke Dlingo dan Gunungkidul tersebut. “Cinomati, tak seseram namanya,” Sugito membuka pembicaraan.

Bahkan, angka kecelakaan lalu lintas yang terjadi di sepanjang jalur itu, sebenarnya tak setinggi di jalur-jalur utama macam Jalan Parangtritis maupun Jalan Bantul. Hanya saja, tingkat berat tidaknya kecelakaan saja yang selama ini membuat masyarakat bergidik. Terlebih ditambah dengan kondisi medan yang curam, berkelok, dan jarang pemukiman.

Seramnya nama Cinomati sendiri, bagi Sugito tak ubahnya sekadar cerita dari mulut ke mulut belaka. Semasa hidup, neneknya pernah berkisah, nama Cinomati itu muncul dari sebutan warga sekitar setelah menolong seorang beretnis cina yang meninggal saat berjalan kaki di jalur tersebut.

Ketika itu, akses jalan masih berupa setapak. Belum ada jalur berkelok seperti sekarang. Jalur yang ada saat itu, berupa tanjakan setapak sepanjang lebih dari 1 kilometer yang berhulu dari pos ronda di RT 4 dan bermuara di Desa Terong. “Tapi itu hanya cerita. Tidak ada yang tahu orang yang meninggal itu siapa, dari mana, dan dimakamkan dimana,” singkatnya.

Saat berkisah, rona wajah Sugito tak nampak berubah. Kengerian yang ada di kepala masyarakat selama ini, baginya justru adalah hal yang biasa. Medan curam yang membuat pengendara kelimpungan, menurutnya bukan hal yang patut dikhawatirkan. “Sepeda motor butut saya saja masih kuat kok melewati tanjakan di Cinomati,” kelakarnya.

Itulah, jika nyatanya masih ada kecelakaan lalu lintas di sepanjang jalur itu, baginya itu mutlak kesalahan dari pengendara kendaraan itu sendiri. Sejak dibangun dan diaspal 2008 lalu, tiap tahunnya pemerintah memang nyaris tidak pernah absen dalam melakukan peningkatan kualitas jalan sepanjang 2,5 kilometer penghubung Desa Wonolelo (Kecamatan Pleret) dan Desa Terong (Kecamatan Dlingo) itu.

Tak heran, permukaan aspal di sepanjang jalur itu pun mulus dan tak ada sedikitpun lubang. Lebarnya pun sengaja dibuat ideal, minimal lima meter.

Satu-satunya yang diakuinya membuat banyak pengendara kendaraan keder adalah banyaknya tikungan-tikungan tajam di sela tanjakan. Saat saya menjajal naik, tikungan itu memang memaksa saya untuk ekstra hati-hati. Permukaan jalan yang halus, ditambah derajat kemiringan curam serta tikungan tajam, menuntut saya untuk tetap berada pada konsentrasi penuh memainkan persneling kendaraan.

Inilah yang menurutnya banyak menjadi penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas. Bahkan, dari tiga titik rawan yang ada di sepanjang jalur itu, titik paling rawan justru ada di tanjakan awal, tepatnya yang ada di sekitar RT 3 Dusun Cegokan. “Tanjakannya cukup panjang. Ada dua tikungan tajam di sana,” cetusnya.

Terakhir, sekitar tahun 2016 silam, ingatnya, di lokasi itu terjadi kecelakaan cukup mengerikan. Dua orang yang berboncengan sepeda motor terjun bebas ke jurang lantaran tak mengetahui ada tikungan tajam.

“Salah satunya meninggal dunia di rumah sakit,” katanya.

Belum lagi jika turun hujan. Tingkat kerawanan jalur Jalan Cinomati pun bertambah. Tak hanya licinnya jalan, bahaya longsor dan pohon tumbang menjadi ancaman yang tak kalah mematikan. Kalau sudah begitu, ia dan sejumlah relawan dari Desa Wonolelo dipastikan tak tidur semalaman.

Muhammad Adib, salah satu anggota Forum Pengurangan Resiko Bencana (FPRB) Desa Wonolelo mengakuinya sendiri. Tak terikat waktu, relawan memang dituntut siap kapanpun dibutuhkan. “Pernah suatu ketika, sekitar pukul 02.30 WIB, ada suara minta tolong di jalur Cinomati. Saat kami susuri jalanan, tidak ada. Ternyata korban sudah ada di dasar jurang,” katanya.

Begitu pula saat deras hujan. Guguran tanah longsor dan pohon tumbang harus segera dibersihkan agar jalan bisa kembali digunakan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya