SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Bu Uni, untuk sekadar memudahkan menyebutnya sebagai nama samaran, harus punya KTP baru. Masa berlaku KTP-nya sudah habis, sedangkan dia harus memperpanjang surat tanda nomor kendaraan bermotor alias STNK untuk mobilnya yang dibeli 5 tahun lalu.

Singkat kata, bertemulah dirinya dengan Suto, si pegawai kelurahan yang bertugas di garda depan. Suto paham betul maksud kedatangan Bu Uni. “Mau urus KTP ya?” tanya dia sambil menyebutkan persyaratan-persyaratannya, termasuk surat keterangan RT/RW, kartu keluarga, dan lainnya, dan seterusnya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Ya, kalau nggak mau nggak papa. Asal syaratnya lengkap, 3 minggu bisa selesai,” kata Suto, santai. “Kalau mau cepat, nanti hubungi saya saja, ini HP saya, tapi setelah jam empat ya,” ujar Suto. Bu Uni akhirnya nyerah. Dia tak mau repot.

***

Ekspedisi Mudik 2024

Kemudian Anda mungkin pernah, atau malah sering, punya pengalaman serupa dengan Bu Uni. Tidak cuma dalam urusan KTP, tetapi urusan surat izin mengemudi, STNK, kantor Imigrasi, atau di tempat layanan publik lainnya.

Dalam administrasi kepegawaian, misalnya, urusan makelarisme juga jamak di mana-mana. Sebut saja ketika pegawai baru mengurus SK pengangkatan, selalu saja ada cara halus maupun kentara, untuk meminta ‘bagian’ sekadar tanda terima kasih.

Tarifnya bisa mencapai puluhan sampai ratusan juta rupiah, termasuk dalam penerimaan bintara polisi. Silakan para pejabat membantah soal ini, tetapi praktik ini terjadi di banyak daerah.

Beberapa tahun lalu, calon PNS masih dijanjikan Rp60 juta hingga Rp75 juta agar lolos menjadi pegawai negeri. Kini, angkanya di beberapa daerah di Indonesia sudah tembus Rp100 juta. “Ada jatah buat bupati atau wali kota,” kata informan tersebut.

Saat ini bicara soal dunia permakelaran, sepertinya makin terasa. Anda tentu turut merasakan, tali-temali dampak praktik permakelaran itu. Coba saja sesekali melanggar lalu lintas di depan petugas polisi.

Bukan tilang ke pengadilan yang Anda terima, tetapi “sidang di tempat”. Bahasanya, “uang titip sidang”. Kebanyakan yang pernah mengalaminya, biasanya akan maklum. Sudah tahu uang itu masuk kantong si oknum, tetapi malas ke pengadilan untuk sidang tilang pelanggaran lalu lintas, lebih baik ngasih goceng.

Selesai. Itulah cara berpikir kebanyakan kita. Cara jalan pintas yang telah menjadi budaya. Itu pula yang menyebabkan makelarisme menjadi merebak di mana-mana. Karena itulah, budaya jalan pintas itu akhirnya membuat celaka, karena menjadi sumber “mata pencaharian” yang agregasinya merugikan kita semua.

Bandingkan dengan jutaan orang miskin yang seharusnya mendapatkan perlakuan subsidi yang semestinya dari negara, tetapi sejumlah oknum pejabat yang menjadi makelar penilap uang negara, justru hidup sebaliknya.

***

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, makelar berarti perantara perdagangan atau orang yang menjualkan barang atau mencarikan pembeli. Dalam bahasa Belanda, makelar berarti agen atau broker penjualan rumah, tanah, atau real estat.

Wikipedia merangkum pengertian makelar adalah orang yang bertindak sebagai penghubung antara dua belah pihak yang berkepentingan. Lalu sejumlah kamus menyepadankan kata makelar dengan kata “belantik”, “broker”, “calo”, “pialang”, atau “perantara”.

Saya jadi ingat paman saya, seorang pegawai negeri yang nyambi jadi peternak sapi, dan tentu saja kerap bergaul dengan pedagang, yang dikenal sebagai belantik sapi. Umumnya, kesejahteraan para belantik sapi memang di atas rata-rata kehidupan ekonomi di lingkungannya.

Tapi, tentu saja, tidak sampailah kekayaan mereka ini seperti ‘belantik kasus’ atau ‘belantik pajak’. Saya jadi ingat pengakuan Mr B, mantan pegawai pajak yang kini menjadi salah satu sorotan dalam kasus makelar pajak.

Dalam sebuah wawancara dengan media online baru-baru ini, Mr B mengaku mengaku sebagai seorang anak belantik sapi, di mana kekayaannya memang sudah berasal “dari sono”-nya. Namun, setelah diperiksa polisi, Mr B baru mengaku menjalankan ‘bisnis konsultan’ pajak dengan mendapatkan fee.

Setidaknya terdapat ratusan miliar rupiah dalam rekening-rekening keluarganya. Bayangkan, jika bisa ditemukan 10 orang saja sekaliber Mr B ini, lebih dari Rp2 triliun mestinya uang yang menjadi hak negara. Kebetulan, Mr B lagi apes saja, seperti juga Om GT.

Bagaimana dengan harta yang diakui sebagai hibah oleh sejumlah mantan pejabat tinggi pajak pada masa lalu? Juga bagaimana kekayaan para jenderal, termasuk mantan jenderal polisi, yang secara logika, tidak masuk akal?

Apakah mereka ini juga menjadi “belantik kasus” pada eranya? Rupanya, makin disadari, masih butuh banyak “tiupan peluit” lagi, agar urusan uang korupsi ini benarbenar terbuka, lalu benar-benar selesai. Bukan cuma berhenti sampai di sini saja, lalu benar-benar lupa.

Ini seperti panggung politik kita, yang kerap mempraktikkan tukar guling kepentingan bisnis dengan kekuasaan, alias politik dagang sapi, istilah lain untuk cara kerja para belantik itu. Kalau begitu, benar adanya bahwa kita ini memang hidup di negeri para belantik.

“KTP selesai 2 sampai 3 minggu,” kata Suto tanpa menyebut secara jelas apakah ada biaya atau tidak dalam pengurusan selama 2 minggu itu. “Itu kalau persyaratan lengkap,” tambahnya. Bu Uni hanya pernah dengar, untuk mengurus KTP tidak ada biaya administrasi.

Tapi dalam kebiasaan masyarakat kita, setelah selesai urusan barulah menyisipkan ucapan terima kasih atau ‘uang rokok’, berkisar Rp10.000 hingga Rp20.000. “Begini,” kata Suto setelah memeriksa isi map itu, sambil membuat coret-coretan di secarik kertas putih yang ada di mejanya.



Ringkas kata, dia berjanji membantu mengurus KTP dan KK itu tanpa pengantar Pak RT. Biayanya Rp200.000. “Tiga hari selesai.”

Oleh Arief Budisusilo
ANGGOTA DEWAN REDAKSI HARIAN JOGJA

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya