SOLOPOS.COM - Warga Lombok memeragakan Buku Beleq/ (JIBI/Harian Jogja/Purnama Ayu Rizky)

Harianjogja.com-Berkendara sejauh 614 kilometer mulai dari Stasiun Tugu Jogja, lalu menyeberang ke Bali, selanjutnya mengarungi Selat Lombok, sungguh melelahkan sekaligus menyenangkan. Jalan berkelok-kelok hingga ombak yang membuat perut mual menjadi tantangan selama perjalanan ke Lombok.

Di samping itu, jalan rusak dengan lubang menganga sering tak terelakkan. Namun, semua terbayar. Wilayah Lombok menyajikan keindahan dan keunikan tiada tara.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Tak hanya panorama cantik, para leluhur juga mewariskan budaya dan nilai-nilai yang mengundang decak kagum. Hal ini bisa dilihat di beberapa desa adat di Lombok. Desa adat pertama yang dikunjungi adalah Dusun Sade yang terletak di Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah.

Jaraknya kurang lebih 20 kilometer dari kota Mataram. Untuk menemukan dusun ini cukup mudah karena berada tepat di tepi jalan raya Mataram – Praya (ibu kota Kabupaten Lombok Tengah). Pada bagian luar dusun juga terdapat papan nama besar bertulisan dusun Sade.

Perkampungan Suku Sasak
Dusun Sade adalah salah satu perkampungan Suku Sasak – suku asli Lombok yang masih tersisa. Mereka tinggal di rumah-rumah tradisional yang terbuat dari kayu dan bilik bambu serta beratap ijuk jerami. Lantai dari tanah liat yang dicampur kotoran kerbau dan abu jerami.

Campuran tanah liat dan kotoran kerbau membuat lantai tanah mengeras, sekeras semen. Cara membuat lantai seperti itu sudah diwarisi sejak nenek moyang mereka. Saat saya masuk rumah, bau menyengat dari kotoran kerbau hampir tak tercium lagi.

Bahan bangunan seperti kayu dan bambu didapatkan dari lingkungan sekitar. Untuk menyambung bagian-bagian kayu, mereka menggunakan paku dari bambu. Rumah suku Sasak hanya memiliki satu pintu berukuran sempit dan rendah, tidak memiliki jendela.

Menurut penuturan Ari,40, warga setempat, rumah memiliki dimensi kesakralan dan keduniawian.

“Selain sebagai tempat berlindung dan berkumpulnya anggota keluarga, rumah adat kami juga menjadi tempat ritual sakral sebagai manifestasi keyakinan kepada Tuhan, arwah nenek moyang, dan penunggu rumah,” ujarnya.

Seiring dengan perkembangan zaman, telah banyak penyesuaian yang ditempuh warga Sade untuk memperbaiki rumah mereka. Namun model dan bahan bangunan yang digunakan masih tetap sama hingga sekarang.

“Saya biasanya berpesan kepada anak-anak jika ingin membangun rumah. Jika tetap mau tinggal di sini, maka harus membuat rumah seperti model dan bahan bangunan yang sudah ada. Tapi, jika ingin membangun rumah permanen seperti di kampung-kampung lain pada umumnya, anak-anak dipersilahkan keluar dari kampung,” cerita Shinta Permana, 30, salah seorang warga Sade belum lama ini, kepada Harianjogja.com yang berkunjung ke sana.

Situs Sejarah
Warga Sade memang sudah berkomitmen untuk menjaga budaya khas Lombok, apapun yang terjadi. “Saya sendiri merasa Sade adalah tempat kembali, makanya saya tidak ingin merantau,” tambah Shinta.

Sebagai gantinya, Shinta dan ratusan penduduk lainnya menyambung hidup dengan menjual kain serta pernak-pernik khas Lombok.

“Untuk kain, kami menenun sendiri. Khususnya bagi perempuan, semuanya harus bisa menenun. Kalau tidak bisa menenun, belum boleh menikah,” katanya.

Senada dengan Sade, desa adat lainnya yakni Gumantar juga ditempati penduduk yang masih setia memegang tradisi dan kearifan lokal. Gumantar adalah salah satu desa dari delapan desa yang ada di wilayah Kecamatan Kayangan Lombok Utara. Hingga sekarang, desa ini cukup banyak menyisakan situs sejarah, khususnya yang terserak di Dusun Dasan Beleq.

Selain setia memegang tradisi, penduduk Gumantar juga dikenal sangat religius. Hal ini tak lepas dari usaha dakwah para ulama yang dipusatkan di desa tersebut tempo dulu.

Salah satu situs sejarah peninggalan para wali penyebar agama Islam yang tedapat di Dusun Dasan Beleq adalah Bale Bangar Gubuq, yang oleh masyarakat setempat disebutnya Pagalan. Bale ini, terletak di tengah-tengah Gubuq Dasan Beleq, dengan ukuran 5×5 meter Bale (rumah).

Situs peninggalan sejarah yang lain di Dusun Dasan Beleq ini adalah Bale Adat yang berada di Pawang Gedeng/Pawang Adat, sekitar 400 meter arah selatan Gubuq Dasan Beleq sekarang.

Bale adat tersebut terbuat dari anyaman pohon bambu, mulai dari atap hingga pagarnya. Selain Bale Adat, sekitar lima meter sebelah barat laut juga terdapat didirikan Berugak Agung saka enam, sebagai tempat persinggahan para tetua adat sebelum melaksanakan upacara ritual adat di Bale Adat tersebut.

Di samping untuk tempat singgah, Berugak Agung juga digunakan sebagai tempat mempersiapkan sesaji dan segala bentuk hidangan makanan yang disajikan dalam wadah dulang, serta diperuntukkan bagi seluruh masyarakat adat yang hadir dalam upacara adat tersebut.

Menurut Sahir, 41, warga setempat, tiap empat bulan sekali di tempat ini memang diadakan upacara khusus yang disebut Buku Beleq. Dalam prosesi upacaranya, biasanya akan ditampilkan tarian khas perang dengan diiringi tabuhan musik Gendang Beleq dan untaian doa dari para pemangku adat. Tarian ini melambangkan kebersamaan, bakti pada Tuhan, dan kenyamanan batin warga Gumantar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya