SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Sore ini aku berkunjung lagi ke rumah seorang kawan di desa sebelah. Nama temanku itu Wahyu. Ia teman sekelas dulu waktu SMA. Setelah lulus, aku kuliah di Kota Jogja sedangkan ia kembali ke rumahnya karena orangtuanya tak punya. Liburan semester ini kusempatkan mampir. Pintu rumahnya kuketuk. Tok tok tok. Tiga kali. Terdengar suara orang berjalan mendekat.

“Assalamualaikum Bu,” tangan ibunya kucium. Takzim.

Promosi Sejarah KA: Dibangun Belanda, Dibongkar Jepang, Nyaman di Era Ignasius Jonan

“Wa… wa… waalaikumsalam. Eh Syarif. Mangga masuk,” ibu temanku itu tampak kaget. Pangling. Setelah duduk, aku ditanyai lagi.

“Kapan baliknya? Lagi liburan ya?”

Aku mengangguk. “Kok sepi Bu? Wahyu ke mana?” cecarku.

Memang, sedikit tak pantas. Kutunggu jawaban dari mulut perempuan di depanku.

“Kamu mau minum apa? Yang dingin apa panas,” sahut ibu mengalihkan pembicaraan. Raut mukanya aneh. Antara senyum dan sedih. Kubilang air putih saja.

Kabar terakhir kudengar kondisi Wahyu kian tak tertolong. Ia mati? Ah, tidak, maksudku tak tertolong itu semakin tak karuan. Begitu. Semenjak ayahnya meninggal akibat kecelakaan motor, Wahyu seperti orang gila. Katanya sudah terganggu jiwanya? Ya, ia telah jadi gila. Sempat aku tak percaya kabar itu.

Saat ini Wahyu tak terlihat. Entah di mana aku tak tahu. Kupandangi sebuah foto. Gambar ayahnya tegap dan berpeci memakai baju batik. Gagah. Di samping kirinya, ibunya, tampak anggun dan cantik memakai kerudung putih dan berbaju panjang. Warnanya serasi dengan ayahnya. Di tengah, Wahyu temanku berbaju koko. Ia tersenyum. Manis. Seraut wajah keceriaan dan kecerdasan. Matanya berbinar-binar penuh cita-cita. Bagiku, ia sahabat terbaik. Kini, semua adalah cerita lalu. Andai saja waktu bisa diputar, kuminta Allah menakdirkan Wahyu seperti kukenal dulu. Allah telah berkehendak lain. Kalau bukan karena ada ibunya, hampir saja aku menangis mengingat Wahyu yang dulu dan yang sekarang.

“Diminum Rif. Kamu pasti haus kan?”

“Iya Bu. Terima kasih,” jawabku sedikit kaget.

“Bu, sekarang kondisi Wahyu? Di mana ia sekarang?” tanyaku menatap wajahnya yang teduh. Suasana jadi haru. Seketika ia menangis. Mungkin pertanyaanku seperti luka yang harus ditangisi. Aku pun minta maaf. Ia pun perlahan tenang. Dihelanya napas dalam-dalam.

“Wahyu sekarang lagi di makam ayahnya. Ibu kasihan sama ia tapi mau bagaimana lagi. Pernah dulu dokter jiwa ke rumah untuk membawanya ke rumah sakit jiwa tapi Wahyu menolak. Ia berontak. Bahkan mengancam dengan pisau untuk bunuh diri. Ibu takut Nak Syarif. Ibu takut,” tangisnya pecah lagi. Terisak-isak.

Lalu ia bercerita tentang kebiasaan Wahyu tiap sore sampai menjelang Magrib, selalu berkunjung ke pusara ayahnya.

Setelah berpamitan, aku langsung menuju perkuburan desa. Lengang. Dua pohon kamboja seperti gerbang utama. Kulayangkan pandangan. Kutangkap bayangan hitam di ujung selatan areal makam. Kumaju. Langkah demi langkah. Mendekati sosok bayangan tadi. Aku yakin itu adalah Wahyu sebab baju yang ia pakai tertera nama sekolah kami dulu. Aku hafal itu, baju olahraga SMA.

Kuposisikan diri menghadapnya. Ia tak acuh. Sorot matanya tertuju ke nisan di hadapannya. Kuberanikan diri.

“Wahyu…. Wahyu, ini aku temanmu Syarif,” mataku mencoba menangkap. Aku berharap bertemu matanya. Ia kukuh. Tak peduli. Kudekati ia. Kuulangi pertanyaan sama. Nihil. Tetap tak buka suara. Aku semakin nekat. Kupegang pundaknya, ia menoleh kepadaku. Matanya tak liar. Aku merasa yakin ia tak akan brutal seperti orang gila di jalanan. Aku merasakan ada sesuatu. Wahyu malah melonjak-lonjak. Namun, tiba-tiba sepasang bola mata di depanku membasah berkilauan. Aku tahu ia menangis. Kutanyai ia.

“Wahyu, kenapa kamu menangis?” kusentuh tangannya. Wajah bersihnya tertutup debu mengapal. Ia menunjuk-nunjuk kuburan ayahnya. Tangisnya semakin isak. Aku mencoba merasakan apa yang ia rasakan. Namun aku tak mau terbawa angin suasana.

“Kamu masih kenal aku kan, ini Syarif,” tanyaku penuh harap. Ia bengong. Kosong. Tak acuh lagi, malah senyum-senyum sendiri. Sekejap, wajahnya diangkat ke atas. Seperti melihat sesuatu. Aku pun mengikuti tingkahnya, melihat ke atas. Tak ada apa-apa. Aneh, kenapa kuikuti tingkah orang gila. Apa aku juga sudah gila? Entahlah, melihat kondisi temanku itu aku sedih. Cita-citanya menjadi profesor nuklir seakan tertelan bumi bersama mayat ayahnya.

Ia berdiri. Menoleh kepadaku. Seperti orang bingung ia. Kuperhatikan saja gerak-geriknya. Ia melangkah tergesa-gesa keluar kompleks makam. Sementara sayup-sayup azan terdengar. Ia membalikkan badan masih sambil berjalan. Ia isyaratkan tangannya seperti orang bertakbir dalam salat. Apa? Apa yang sebenarnya terjadi? Gerak tangannya tadi itu apa maksudnya? Apa mungkin ia masih ingat salat? Ah mana mungkin? Akal sehat mulai kupertaruhkan. Kenapa ia lekas-lekas pulang dan itu berbarengan dengan suara azan. Ah, aku bingung. Dadaku sesak. Napas tercekat. Kuikuti Wahyu dari belakang. Perlahan aku berjalan. Kuperhatikan tingkah temanku itu. Sesekali ia menoleh padaku. Wahyu masuk ke pekarangan rumah, ibunya menyambut. Aku berbelok menuju rumahku.

Setelah Isya, kepada ibu, aku berpamitan hendak keluar. Tujuanku rumah Wahyu. Kustarter motor matik. Tak sampai seperempat jam, kusampai di halaman rumahnya. Kuketok pintu, kusuluk salam. Kok bukan Wahyu yang membukakan pintu? Bodoh! Orang gila mana tahu kalau ada tamu terus bukakan pintu tapi aku kan tak yakin Wahyu gila. Ah, pusing! Setelah beramah-tamah, lalu kuceritakan kejadian di makam itu. Tentang sikap dan isyarat tangannya itu. Dengan berisak tangis, ibunya bercerita.

“Iya Nak Syarif. Ibu sedih. Ibu kasihan dan ibu juga merasa aneh. Wahyu masih hafal waktu-waktu salat wajib. Pernah ibu tanyakan ke dokter, dokter pun angkat tangan. Tak tahu apa penyebabnya. Gerakan-gerakan salatnya pun masih biasa. Tak ada yang aneh-aneh.”

Kupandangi Wahyu yang tertidur tanpa alas. Napasnya teratur. Penampilannya sama seperti tadi sore kutemui. Tak terawat seperti orang gila. Orang gila? Apa pantas kusebut ia gila saat ia masih ingat salat lima waktu. Aku yang masih bolong-bolong salatnya. Layak disebut apa. Sama-sama gila? Aku termangu. Lo tapi ia kan gila? Amalannya tidak dihitung? Ah, entahlah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya