SOLOPOS.COM - Presiden Joko Widodo (YouTube Setpres)

Solopos.com, SOLO — Pada pertengahan Maret 2021 lalu, Amien Rais yang baru saja mendirikan Partai Ummat, menyebut ada skenario untuk mengubah konstitusi. Yakni mengubah ketentuan masa jabatan presiden dari dua periode menjadi tiga periode.

Saat itu, kekhawatiran mantan polikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu dianggap mengada-ada. Terlebih lagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) merespons dengan cepat bahwa dia tidak berminat menjadi presiden tiga periode.

Promosi Safari Ramadan BUMN 2024 di Jateng dan Sulsel, BRI Gelar Pasar Murah

Masa pendukung Jokowi saat itu  pun ikut bersuara. Salah satunya Aliansi Relawan Jokowi (ARJ). Melalui koordinatornya, Aidil Fitri, ARJ memastikan Jokowi masih tegak lurus pada Pancasila dan konstitusi negara yakni UUD 1945.

Ekspedisi Mudik 2024

Aidil mengatakan wacana presiden tiga periode tersebut jelas sekali diembuskan oleh kelompok dalam masyarakat yang ingin mengganggu dan mendelegitimasi kerja-kerja pemerintahan Presiden Jokowi. “Wacana presiden tiga periode tersebut dihembuskan oleh kelopok yang hendak mengganggu dan mendelegtimasi pemerintahan Presiden Jokowi,” ujar Ketua Umum Foreder Jokowi, Kamis (18/3/2021), seperti dikutip dari sindonews.com.

Baca Juga: Penggeledahan Rumah Komika Coki Pardede, Polisi Sita Satu Paket Sabu-Sabu

Kembali Mencuat

Sekitar lima bulan berlalu, isu ini kembali mencuat. Memang, tidak langsung menjurus pada desakan memperpanjang masa jabatan presiden. Melainkan pada usulan amendemen UUD 1945 dengan alasan yang belum banyak dipahami publik.

Isu ini kian mencuat dengan masukan PAN ke dalam koalisi pemerintah. Banyak yang menduga masuknya PAN ke koalisi pemerintah untuk menggolkan niat mengamendemen UUD 1945.

Ketum PAN, Zukifli Hasan (Zulhas) ikut dalam pertemuan para petinggi parpol dengan Presiden Jokowi pada 25 Agustus lalu. Seusai pertemuan, Zulhas mendorong evaluasi hasil amendemen UUD 1945 yang telah berusia 23 tahun.

“Jadi setelah 23 tahun hasil amandemen itu, menurut saya, memang perlu dievaluasi. Termasuk, demokrasi kita ini, kita mau ke mana, perlu dievaluasi,” ucap Zulhas dalam pidato Rapat Kerja Nasional (Rakernas) II PAN, Selasa (31/8/2021), seperti dikutip dari CNN Indonesia.

Isu amendemen UUD 1945 ini membuat sembilan pimpinan MPR terbelah. Ada yang setuju, ada yang menolak, ada pula yang tak memiliki sikap tegas. Yang pasti, Ketua MPR yang juga Waketum Partai Golkar, Bambang Soesatyo, mendukung amendemen UUD 1945. Bamsoet merupakan sosok yang menggaungkan kembali wacana tersebut saat Sidang Tahunan MPR, 16 Agustus lalu.

Seperti diketahui, Partai Golkar merupakan pendukung utama pemerintah.

Baca Juga: Round Up Penyerangan Prajurit TNI, Pangdam Minta Pelaku Ditangkap Hidup Atau Mati

Kepentingan Oligarki

Sementara itu, menurut peneliti Center of Human Rights Law Studies (HRLS) Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Herlambang P. Wiratraman, isu amendemen dan jabatan presiden tiga periode itu lagu lama.

“Itu bukan hal yang mengejutkan ya. Karena sistem politik hari ini memang semakin memperlihatkan relasi kekuasaan yang kartel. Jadi istilahnya cartelized political system,” kata Herlambang, seperi dikutip dari detik.com, Jumat (3/9/2021).

“Nah, saya sudah menandai situasi memburuknya situasi negara hukum. Bahkan saya sudah presentasi di 2018 di kuliah umum di Belanda, Universitas Leiden. Waktu itu topik yang saya sampaikan Collapse of Negara Hukum Indonesia,” imbuhnya.

Menurut Herlambang, wacana amendemen sebenarnya sudah terdengar sejak 2017. Namun waktu itu masih samar karena masih menunggu kepastian Jokowi menjabat lagi di periode kedua.

Baca Juga: Solopos Hari Ini: Niat Tersembunyi Amendemen

“Karena kaitannya dengan periode kedua Jokowi. Tapi begitu Jokowi naik di periode kedua, yang samar-samar ini mengemuka, semakin terbuka,” jelasnya.

Wacana amendemen atau memundurkan pemilu, terang Herlambang, juga dinilai bukan sebagai aspirasi politik masyarakat. Namun lebih pada kepentingan politik oligarki.

“Amendemen dengan periode ketiga atau rencana memundurkan pemilu ini sebenarnya perbincangan yang bukan dari dasar aspirasi politik warga. Sama sekali bukan,” terang dosen Hukum Tata Negara itu.

“Saya lebih melihat ini adalah oligarch friendly policy adalah kebijakan-kebijakan yang ramah pada kepentingan oligarki. Jadi suara rakyat bukan, dampak pandemi bukan. Ini lebih pada konsensus pada pandemi. Untuk memperpanjang (jabatan) bagi Jokowi,” tambahnya.

Omongan Tak Bisa Dipegang

Herlambang juga menyinggung pernyataan Jokowi yang menolak masa jabatan presiden 3 periode. Menurutnya pernyataan itu tidak bisa dipegang.

“Itu kan bahasa politius. Tegas berantas korupsi, tapi KPK-nya semakin hancur. Kira-kira begitulah. Bahasa politikus ya enggak bisa dipegang. Saya lebih membaca sistem daripada individual,” tuturnya.

“Jokowi mungkin akan mengatakan tidak, tapi oligarki yang akan mendorong-dorong. Jadi saya lebih melihat kepentingan oligarkinya yang dipertahankan. Sistem oligarki. Jadi siapa yang bisa merawat sistem oligarki itu yang saya lihat orang ini akan mendorong amandemen,” tandas Herlambang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya