SOLOPOS.COM - Toto Suharto (JIBI/SOLOPOS/ist)

Toto Suharto (JIBI/SOLOPOS/ist)

Selama hampir enam bulan semenjak Perpres No 1/2011 tentang Perubahan STAIN Surakarta menjadi IAIN Surakarta bertanggal 3 Januari 2011 diterbitkan, pihak civitas akademika Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Surakarta masih adem ayem.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Tak terlihat kesibukan mempersiapkan paradigma keilmuan yang akan dan harus menjadi ciri khas saat benar-benar menyandang status Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Ini dapat dilihat dari jarangnya kegiatan ilmiah terkait upaya merumuskan paradigma keilmuan ini. Persiapan paradigma keilmuan ini sesungguhnya lebih penting daripada hal-hal lainnya, karena ini menyangkut epistemologi ilmu yang akan menjadi ciri khas. Jangan sampai ketika sudah menjadi IAIN, paradigma keilmuan yang diusung masih sama dengan paradigma STAIN. Perubahan status ini jika demikian tidak mempunyai makna epistemologi apa-apa, karena tidak ada bedanya dengan ketika masih berstatus STAIN.

Pihak rektorat (baca: dalam status IAIN) sedianya membuat perencanaan yang matang menyangkut perubahan paradigma keilmuan yang memang bercorak epistemologis itu. Kalau memang kelak IAIN Surakarta menjadi pusat studi Islam Jawa di Indonesia (SOLOPOS, 23 Maret 2011), segala upaya seharusnya diarahkan pada penguatan paradigma ini. Namun, yang tampak sekarang ini belum ada upaya konkret dari pihak rektorat untuk mematangkan konsep “pusat studi Islam Jawa” ini. Seharusnya konsep ini jangan melulu diwacanakan, tapi konsep ini harus digodok lebih dahulu melalui berbagai kegiatan ilmiah agar konsep ini kukuh dan menjadi trade mark IAIN Surakarta di masa mendatang.

Sejak terbitnya Perpres No 1/2011 seluruh civitas akademika lembaga perguruan tinggi di bawah Kementerian Agama ini sibuk mempersiapkan diri menyusun usulan mengenai organisasi, tata kerja dan statuta bagi lembaga ini, agar langkah perubahan dapat berjalan mulus. Berbagai persiapan dilakukan, termasuk penggantian kata “STAIN” menjadi “IAIN” yang tampak di berbagai tempat di kampus Islam ini. Kesibukan mempersiapkan alih status ini merupakan sesuatu yang wajar, karena memang demikianlah seharusnya.

Akan tetapi, yang lebih penting dari sekadar persiapan birokrasi dan teknis ini, sesungguhnya adalah kesiapan lembaga ini untuk membenahi tiga hal, yaitu paradigma keilmuan yang kelak diusung, redesain kurikulum dan penguatan SDM. Ketiga aspek itu setidaknya harus menjadi konsentrasi utama yang seyogianya dipersiapkan, ketimbang hal-hal teknis di atas. Hal-hal teknis memang penting, namun bagaimana pun STAIN Surakarta yang kelak jadi IAIN adalah lembaga perguruan tinggi Islam yang lebih mengedepankan layanan keilmuan ketimbang sebagai lembaga layanan birokrasi seperti pemerintah daerah. Jadi, yang menjadi prioritas untuk menyambut peresmian alih status ini adalah lebih difokuskan pada pembenahan layanan keilmuan.

Kurikulum
Setelah paradigma keilmuan berhasil dimatangkan, barulah kemudian dipikirkan bagaimana merancang kurikulum yang sesuai dengan paradigma keilmuan itu. Rancangan kurikulum pendidikan yang diemban ketika sudah menjadi IAIN tentu harus berbeda dengan kurikulum ketika masih berstatus STAIN.
Kurikulum IAIN seyogianya dirancang dan dipersiapkan terlebih dahulu, agar kelak ketika diresmikan tidak kehilangan jati diri. Kalau kurikulumnya masih sama dengan kurikulum STAIN, apalah arti alih status ini?

Upaya mendesain ulang kurikulum sejauh ini tampaknya masih belum dilakukan pihak rektorat. Kegiatan di kampus ini masih sebatas menjalankan rutinitas akademik seperti biasa. Pihak rektorat belum mengambil inisiatif bagaimana mendesain kurikulum IAIN agar sesui dengan paradigma keilmuan yang diembannya.

Kegiatan workshop, semiloka atau seminar terkait dengan pendesainan ulang kurikulum masih belum tampak semarak dilakukan. Ataukah kegiatan mendesain ulang kurikulum ini baru dilakukan setelah resmi menjadi IAIN? Kalau memang demikian adanya, artinya civitas akademika masih belum siap menerima alih status ini.

Upaya lain yang perlu dipersiapkan terkait alih status menjadi IAIN adalah penguatan SDM. Sejauh ini, jumlah guru besar yang di STAIN Surakarta berjumlah dua orang. Jumlah ini tentu belum cukup memadai untuk sebuah lembaga yang disebut institut. Tengoklah misalnya STAIN Salatiga, yang hingga kini memiliki lima orang yang bergelar guru besar.

Pihak rektorat secepat mungkin memotivasi dan memfasilitasi para dosen yang sudah meraih gelar doktor untuk segera mempersiapkan usulan menjadi guru besar. Pada sisi yang lain, para dosen yang kini sedang menempuh jenjang S3 sedapat mungkin dipacu untuk segera menyelesaikan studi. Menurut informasi, setengah lebih dari jumlah dosen STAIN Surakarta sekarang ini sedang mengikuti pendidikan S3. Pihak rektorat harus memandang jumlah ini sebagai aset kampus yang kelak menguatkan IAIN secara kelembagaan. Oleh karenanya, mereka harus dipicu dan dipacu agar dengan cepat menyelesaikan program doktor mereka. Jangan sampai mereka dibiarkan tanpa kontrol dan perhatian dari pihak rektorat.

Semua aspek di atas kiranya menuntut untuk segera diwujudkan dalam lakukan upaya-upaya konkret sebagai persiapan alih status menjadi IAIN. Kalau semua aspek ini tidak dijamah sedemikian rupa, itu diindikasi lembaga ini belum siap untuk alih status. Pihak rektorat hanya sekadar menjalankan rutinitas kampus yang tidak memerlukan energi banyak. Sebagai bagian dari civitas akademika STAIN Surakarta, tulisan ini saya harap dapat dipandang sebagai masukan internal yang harus disikapi secara arif, demi kemaslahatan kampus Islam ini. Semoga bermanfaat.

Toto Suharto, dosen STAIN Surakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya