SOLOPOS.COM - Mudhofir Abdullah (JIBI/SOLOPOS/dok)

Mudhofir Abdullah (JIBI/SOLOPOS/dok)

Islam Jawa sebagai sebuah komunitas telah diteliti para sarjana Barat. Jejaknya bisa dilacak pada karya Sir Thomas Stamford Raffles (Letnan Gubernur Jenderal Inggris pada 1811-1816) berjudul The History of Java. Selain itu, orientalis dan teolog berkebangsaan Inggris dan Belanda yang mengkaji tentang Islam Jawa antara lain Andrian Reland, JFC Gerick, Snouck Hurgronje, Rassers dan Pigeaud. Kemudian setelah kemerdekaan muncul nama-nama Clifford Geertz, Ben Anderson, Paul Stange, Mark Woodward dan lain-lain.

Promosi Liga 1 2023/2024 Dekati Akhir, Krisis Striker Lokal Sampai Kapan?

Mengapa Islam Jawa memiliki daya tarik dan strategis bagi kajian para orientalis? Di samping untuk kepentingan kolonial, mereka menyadari populasi Islam Jawa lebih besar dari populasi sejumlah negara Arab. Juga karena corak Islam Jawa “berbeda” dari arus utama Islam di Timur Tengah. Clifford Geertz dalam Religion of Java menyimpulkan Islam Jawa adalah lapisan tipis dan bersifat sinkretis. Sinkretis karena bercampur dengan tradisi-tradisi dan adat istiadat Jawa (Hindu-Buddha-animisme).

Perdebatan tentang Islam Jawa sesungguhnya masih berlangsung hingga hari ini. Perdebatan itu apakah Islam Jawa dapat dikategorikan sebagai Islam otentik atau hanya lapisan tipis yang penuh bidah? Saya tidak akan mengulas titik pertengkaran dari diskursus tentang Islam Jawa. Saya hendak menegaskan, kritik pedas Geertz telah banyak dibantah oleh para ahli dan yang terkenal adalah ungkapan Marshal G Hodgson yang menyatakan kajian Geertz bermetodologi lemah karena memandang Islam Jawa dari sudut pandang kaum modernis. Geertz, menurut Hodgson, lupa atas kenyataan Jawa dari ujung ke ujung telah menampilkan tradisi Islam dengan sangat sempurna.

Yang harus dilakukan
Harus diakui dewasa ini Islam tidak lagi hanya dilihat dari pusat (pusat lahirnya Islam di Timur Tengah), tetapi juga dilihat dari pinggir. Islam bukan hanya milik pusat, tetapi juga milik bangsa-bangsa yang letaknya jauh dari Timur Tengah. Islam di pinggir (seperti Islam Indonesia, Pakistan, Thailand, Australia dan lain-lain) tidak lebih rendah dan bahkan bisa melebihi Islam di Timur Tengah. Meletakkan Islam Jawa dalam perspektif Geertzian sangatlah ketinggalan zaman.

Jadi, Islam Jawa sama otentiknya dengan Islam di Timur Tengah. Universalitas Islam pada dasarnya tidak akan efektif jika tidak dikaitkan dengan lokalitas. Dalam konteks tulisan ini berarti dengan kejawaan. Keislaman dan kejawaan sederajat jika dilihat dari perspektif titik temu nilai-nilai universal. Dengan cara pandang demikian, kita tidak mudah jatuh pada radikalisme teologis, tetapi justru mendorong pada sikap toleran dan plural. Nilai-nilai semacam ini mengartikulasikan prisma rahmatan lil-alamin yang menjadi ciri dasar sebuah fungsi agama yang bersifat integratif.

Namun, studi Islam Jawa di lembaga-lembaga pendidikan Islam kurang memperoleh perhatian. Islam Jawa seringkali dianggap sebagai bidah yang harus dijauhi. Alih-alih memasukkannya ke dalam kurikulum, Islam Jawa justru dianggap sekadar wacana outsider (islamolog atau orientalis) dan tidak perlu dikembangkan. Kita menjadi sadar Islam Jawa memiliki potensi untuk menumbuhkan peradaban Islam yang penuh rahmat tanpa sekat watak puritanisme kaku.

Tugas para cendekiawan adalah menyampaikan Islam Jawa adalah bagian tak terpisahkan dari Islam dan perlu mengembangkan penelitian tentangnya guna mewujudkan harmoni. Islam Jawa adalah kenyataan hidup dan telah menganyam sendi-sendi peradaban Jawa. Kita tidak seharusnya memahami Islam Jawa hanya dari perspektif outsider, yakni melalui karya-karya para orientalis. Kita harus memahami Islam melalui perspektif insider, yakni melalui karya-karya dan perilaku-perilaku faktual umat Islam sendiri.

Dengan demikian, tidak perlu dikedepankan secara tajam antara Islam Jawa dan Islam sejati—sebagaimana secara bias dideskripsikan sebagian outsider. Tuhan pada dasarnya tidak menakdirkan bangsa tertentu lebih baik dari bangsa yang lain. Kebaikan dan kejahatan berbagi sama dalam sejarah peradaban bangsa-bangsa selama berabad-abad.
Tuhan pada akhirnya akan menilai peradaban suatu bangsa dari prestasi-prestasi yang dicapainya dan berguna bagi kemaslahatan umat manusia. Dengan pandangan inklusif dan terbuka semacam ini, Islam Jawa justru sedang naik daun karena ajaran-ajarannya menampilkan moderasi, harmoni, menekankan rasa dan potensi-potensi positif-konstruktif lainnya bagi pembangunan bangsa.

Islam Jawa dan IAIN Surakarta
IAIN Surakarta yang akan diresmikan pada 28 Juli mendatang oleh Menteri Agama Republik Indonesia memiliki peran strategis dalam mengembangkan studi Islam Jawa. Mengapa? Karena IAIN Surakarta adalah lembaga perguruan tinggi Islam yang terletak di pusat peradaban Jawa. Ada mandat historis agar corak Islam Jawa menjadi warisan peradaban yang tidak kalah penting dengan peradaban Islam di Timur Tengah atau di negara-negara lain.

Bahkan, salah satu usulan nama IAIN Surakarta di antaranya adalah IAIN Raden Ngabehi Ronggowarsito dan atau IAIN Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir)—sebuah penghargaan atas peran tokoh tersebut dalam pengembangan Islam di Jawa.
Meski kedua nama itu belum tentu direstui, tetapi usulan ini menunjukkan IAIN Surakarta punya kehendak kuat untuk mewariskan nilai-nilai Jawa ke dalam kerangka nilai-nilai Islam. Ini masuk akal karena, pada dasarnya, ada titik taut kearifan antara nilai Jawa dan Islam.

Hanya saja, perlu wadah untuk menampung Islam Jawa sebagai kajian. Apakah berwujud program studi (Prodi), pusat kajian, atau hanya masuk dalam kurikulum muatan lokal? Perlu diketahui, transformasi STAIN ke IAIN tidak menghapus program studi yang sudah ada. Karena itu, bila dianggap perlu dan strategis, program studi baru bernama Islam Jawa bisa dibuka kemudian disusun perangkat pendukungnya (seperti kurikulum).

Sejumlah orang sering menganggap IAIN adalah makhluk baru sehingga segalanya harus baru. Sama sekali tidak. Secara konseptual, pendidikan tinggi diselenggarakan melalui program studi dan program studi disusun melalui kurikulum. Dengan demikian, menyatakan IAIN makhluk baru adalah ahistoris. Perubahan STAIN ke IAIN hanyalah perluasan mandat yang dengannya ruang gerak pengembangan pendidikan, pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat menjadi lebih berkapasitas. Di titik ini, program-program studi baru bisa dibuka, termasuk program studi Islam Jawa.

Persoalannya, apakah studi Islam Jawa dapat menarik minat masyarakat pendidikan? Kita harus optimistis meski sejumlah pengamat menyatakan ia hanya akan berkembang bila ditujukan bagi sarjana-sarjana luar negeri. Atau menjadikan IAIN Surakarta menjadi lembaga penyedia sumber-sumber informasi mengenai Islam Jawa. Atau dengan menyediakan naskah-naskah kuno dan segala hal yang terkait dengannya yang diwadahi dalam suatu lembaga semacam Java Corner.

Namun, ada tugas strategis yang bisa diemban IAIN Surakarta terkait dengan Islam Jawa. Yakni merumuskan konsep komprehensif tentang relasi Islam dan Jawa dari perspektif harmoni dan moderasi. Cara ini dapat memampukan studi Islam Jawa menghasilkan perspektif yang multikultural, rahmatan lil-alamin dan fungsional bagi pembangunan kerukunan antar serta intra umat beragama. Semoga setelah peresmian nanti, IAIN Surakarta bersama dengan seluruh stakeholders-nya mampu mewujudkan seluruh misi dan visi pendidikan.

Mudhofir Abdullah, Pembantu Ketua Bidang Akademik STAIN Surakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya