SOLOPOS.COM - M Fauzi Sukri, Santri Bilik Literasi Solo

M Fauzi Sukri, Santri Bilik Literasi Solo

Syahdan, di Gua Hira di bulan Ramadaan, Nabi Muhammad SAW diperintahkan membaca. ”Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu. Yang menciptakan manusia dari segumpal darah.  Bacalah! Tuhanmulah Yang paling mulia! Yang mengajar dengan kalam. Yang mengajar manusia apa yang tiada ia tahu.”

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kita tahu Nabi Muhammad ummi namun malaikat Jibril terus membacakan lima wahyu pertama itu. Saya membayangkan bacaan yang diperintahkan untuk dibaca itu bukan mushaf Alquran sebagaimana sekarang lengkap. Pada masa wahyu pertama itu turun Alquran belum lengkap dan bisa dibilang belum ada di bumi.

Lagi pula perintah membaca itu tidak menyertakan objek (maf’ul bih, dalam tata bahasa Arab). Kalau memang Alquran yang harus dibaca, semestinya lima ayat itu diwahyukan kali terakhir, saat semua Alquran sudah lengkap diturunkan. Tapi, tiap Ramadan itulah yang terjadi. Alquran di mana-mana dibaca dan dilantunkan. Apakah itu salah? Tidak, itu benar.

Ekspedisi Mudik 2024

Tapi, itu menyempitkan makna kata iqra’ itu sendiri. Kata iqra’ bisa diartikan menerjemahkan, membaca, menelaah, mengkaji, meneliti, menghimpun, mengklasifikasikan. Apakah kita melakukan semua itu?

Dalam banyak kasus, yang terjadi sebenarnya bukan saja kita tidak membaca dalam arti sebagaimana kita membaca aksara Latin berbahasa Indonesia di mana kita paham makna dan artinya. Yang kita lakukan adalah semacam merapalkan mantra-mantra.

Seorang peneliti Islam berkebangsaan Swedia, André Möller (2005: 208), dalam bukunya Ramadhan di Jawa sampai harus mempertegas kata-katanya,”Saya katakan, mereka tidak mengerti kata-kata yang mereka baca.”

Ini terjadi hampir di seluruh penjuru Nusantara ini. Dan ini tidak mengherankan. Politik bahasa umat Islam sudah sekian abad dilupakan oleh para ulama. Politik aksara juga sudah dikuasai dan dihegemoni oleh ”aksara Wolanda” (Latin). Umat Islam juga sangat bersuka-ria bahkan semacam terobsesi untuk membangun masjid daripada membangun peradaban buku.

Masjid ada di mana-mana dan negeri ini dikenal dengan sebutan negeri seribu bahkan mungkin sejuta lebih masjid tapi sungguh sangat minim perpustakaan. Organisasi Islam banyak dan besar tapi yang mau mengurusi budaya membaca umat Islam hampir tidak ada.

Membaca sudah dilupakan oleh umat Islam. Membeli buku bukan sebuah ibadah. Menyedekahkan buku bukan sebuah amalan. Mendirikan perpustakaan bukan sebuah pengejawantahan perintah iqra’ bahkan di Bulan Puasa ini. Menghidupkan perpustakaan bukan sebuah perintah.

Di sebuah kota di negeri ini, mungkin umat Islamnya bangga memiliki masjid berkubah emas. Tapi, dalam pandangan saya, itu adalah penghinaan bagi perintah pertama dalam Islam. Di mana-mana kita sering mendengar permohonan dana untuk pembangunan masjid, renovasi masjid atau sekadar dana operasional masjid.

Tapi, umat Islam bahkan tampaknya juga tidak pernah membayangkan untuk membangun pusat penelitian Islam, membangun laboratorium, membangun pusat observatorium, membangun perpustakaan besar melebihi masjid, lembaga penerbitan yang bergengsi dan bermutu, penerbitan jurnal-jurnal kajian-kajian yang berbobot, atau memobilisasi hari/bulan membaca di Ramadan, membangun pusat-pusat perbelanjaan buku.

Seberapa banyak keluarga Islam yang memiliki perpustakaan di rumahnya? Hampir tidak ada! Buku adalah barang langka dan mewah dalam kehidupan umat Islam. Seakan perintah pertama umat Islam adalah ibadah mahdhoh (ibadah murni seperti salat, zakat dan lain-lain), atau mungkin khususnya membangun masjid, bukan perintah iqra’ dalam maknanya yang luas.

Pernah Nabi Muhammad SAW berkata,”Satu jam bertafakur lebih baik daripada setahun beribadah.” Saya bayangkan apakah itu bahkan lebih baik daripada membaca Alquran, apalagi yang sekadar semacam membaca dengan model menggerundel?

Peradaban buku di Nusantara ini sangat miskin bahkan jangan pernah membandingkan dengan peradaban buku Islam di Cordoba, Mesir dan sebagainya. Berapa banyak tafsir Alquran dan kapan terakhir kali tafsir Alquran ditulis oleh orang Indonesia? Dan kapan kemandekan-kematian keilmuan ini akan berakhir?

Jika kita menengok sistem pendidikan kita, yang tradisionalis atau modernis, tampaknya khasanah pembacaan Alquran yang paling dalam dalam bentuk tafsir Alquran tak akan kita temukan dalam waktu dekat bahkan dalam satu abad ke depan. Tapi akan dengan mudah sekali menemukan masjid dan musala dibangun di negeri ini.

Muslim Nusantara ini bisa dibilang belum pernah mencapai masa puncak peradaban Islam. Itu karena umat Islam di Nusantara ini tidak mengembangkan kebudayaan iqra’ dan tidak membangun peradaban buku dari dulu sampai sekarang. Di Amerika dan Barat (Eropa) penerbitan akademis seperti Oxford, Cambridge, Princeton, Harvard atau Westview selalu menebitkan buku-buku tentang Islam dan kaum muslim, tapi kebanyakan para pengarang itu bukan muslim, dan bermutu secara akademik, pencetakan atau pengemasannya.

Di Indonesia,  selain yang kebanyakan buku terjemahan khasanah Islam klasik dan buku panduan ibadah, penerbitan buku Islam terutama yang ditulis orang Islam Indonesia jarang dan tak begitu bermutu baik konten (isi) atau pengemasannya.

Dan sayangnya sering kali umat Islam merasa cukup dengan hanya Alquran dan hadis, seraya merasa dapat menggantikan buku-buku yang lain, lalu emoh dengan buku-buku yang lain. Saya termangu mengingat ayat ini,”Berkatalah Rasul: Ya Tuhanku, sesungguhnya umat-Ku menjadikan Alquran ini sesuatu yang tidak diacuhkan” (QS Al-Furqan: 30).

 

Teks Tunggal

Seandainya kita tidak mengacuhkan Alquran, esensi perintah iqra’, apakah mengherankan kalau kita mengacuhkan hampir semua buku lain? Padahal dalam sejarah peradaban umat manusia, barangkali tidak ada sebuah teks tunggal yang memainkan peran sedemikian penting dalam peradaban dunia, yang dikaji, diteliti, ditafsirkan dan dibaca seperti halnya yang terjadi pada Alquran.

Tapi, bagaimana suatu paradaban yang didirikan atas bacaan melupakan seni membaca? Mengapa umat Islam meremehkan buku-buku? Saya malu mendapati Jepang sebagai negara buku, Amerika Serikat memiliki perpustakaan terbesar sedunia, negara-negara Eropa memiliki laboratorium penting nan megah, Jepang masih memegang rekor sebagai negara yang pernah mencetak satu judul buku melebihi jumlah penduduknya, mendapati forum pengajian di mana jemaah yang membaca buku/kitab yang dibahas hampir tidak ada, atau mendapati perpustakaan sepi bahkan di bulan Ramadan, dan seterusnya.

Bukankah Islam datang pertama kali dengan perintah membaca seluas dan sedalam mungkin? Bukankah Islam menghendaki peradaban buku dan sejarah umat Islam sudah pernah berhasil mengusahakannya? Bukankah peradaban Islam adalah peradaban literer?



Dan bukankah yang memegang dan mengendalikan wacana akan menguasai peradaban? Maka, Ramadan ini adalah bulan membaca, di perpustakaan, di laboratorium, di toko buku, di pusat kajian, di lembaga penelitian, di rumah literer.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya