SOLOPOS.COM - Haris Zaky Mubarak (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO -- Rencana pemerintah Indonesia mengimpor beras ssatu juta ton lewat Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) menunjukkan kepada publik bahwa pemerintah masih kurang percaya diri terhadap peningkatan produksi pertanian selama masa pandemi Covid-19.

Jika melihat data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, pada sepanjang 2020 pertanian dalam negeri merupakan sektor penyelamat ekonomi Indonesia. Saat ekonomi Indonesia terkontraksi 2,07 % pada 2020, sektor pertanian secara nyata mampu tumbuh positif 1,75%, bahkan pada triwulan keempat tahun 2020 sektor pertanian tetap tumbuh 2,59%.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Sektor pertanian selama masa pandemi Covid-19 terbukti mampu menjadi bantalan (cushion) ekonomi sekaligus menjadi sumber mata pencarian masyarakat saat berjuang keras melawan resesi ekonomi. Kondisi inilah yang membuat jumlah tenaga kerja pertanian meningkat tajam pada 2020.

Jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian cenderung meningkat sebesar 2,23% bila dibandingkan jumlah tenaga kerja pertanian pada 2019. Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian, sektor pertanian Indonesia tercatat mampu menyerap tenaga kerja terbesar, 38, 2 juta orang atau 29,76% dari 128,4 juta total penduduk yang berusia kerja (Kemeterian Pertanian, 2020).

Ekspedisi Mudik 2024

Meskipun mampu tumbuh positif, pertumbuhan pertanian selama masa pandemi ini tak terdistribusi merata di seluruh kawasan Indonesia. Dalam catatan pertumbuhan pertanian nasional, hanya subsektor hortikultura (4,17%) yang menempati urutan teratas terkait pemerataan distribusi.

Disusul subsektor pangan (3,54%) dan subsektor perkebunan (1,33%). Karena itulah, perlu ada langkah pengamanan taktis terhadap penyediaan beras dalam negeri supaya tak terlambat jika harus membuka keran impor. Adanya impor beras tentu akan menambah beban penyimpanan karena Perum Bulog memiliki kewajiban untuk menyerap setiap gabah dari petani.

Wacana impor beras memberi potret ironi kebijakan yang dilakukan pemerintah. Pada masa awal pandemi Covid-19, pemerintah sangat antusias terhadap pengembangan lumbung pangan (food estate) baru di luar Pulau Jawa, yakni Provinsi Kalimantan Tengah, sebagai sumber cadangan logistik nasional yang dipersiapkan untuk mencegah kekurangan pasokan pangan dalam negeri.

Munculnya rencana mengimpor beras jelas memunculkan tekanan baru bagi hulu dan hilir ketahanan dan keberlanjutan pangan nasional karena petani dalam negeri dapat langsung tersaingi oleh  kedatangan beras impor tersebut. Hadirnya beras impor akan mengancam ketahanan dan keberlanjutan pangan secara nasional.

Melihat analisis Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria (2021), level keberlanjutan pangan Indonesia masih kalah bersaing dan lebih rendah daripada indeks Ethiopia yang identik dengan musibah kelaparan. Dalam data Food Sustainability Index yang dirilis The Economist Intelligence Unit 2020, Indonesia berada di bawah Ethiopia.

Dari indeks tersebut Indonesia ada di posisi ke-60 dan kalah jauh dengan Zimbabwe yang menempati peringkat ke-31 dan Ethiopia yang berada di peringat ke-27. Secara akumulatif, nilai indeks Indonesia tercatat hanya mendapatkan nilai sebesar 59,1 sedangkan Ethiopia memiliki nilai sebesar 68, 5.

Dalam indikator penilaian tersebut, skor yang lebih tinggi menunjukkan negara berada dalam jalur benar menuju sistem pangan dan gizi berkelanjutan. Masih dalam catatan The Economist Intelligence Unit 2020, tiga negara di dunia yang mampu menduduki peringat teratas adalah Prancis (memiliki nilai 76,10), Belanda (memiliki nilai 75,60), dan Kanada (memiliki nilai 75,30).

Food sustainability index merupakan gambaran data ilmiah pencapaian negara dalam hal keberlanjutan pangan dan penilaian sistem nutrisi secara lengkap yang dilihat dari aspek pertanian, limbah pangan, serta tata kelola gizi. Adanya kelemahan dalam indeks keberlanjutan pangan Indonesia menunjukkan ada masalah yang serius terkait keberlanjutan pangan dalam negeri.

Perbaikan Dalam Negeri

Di tengah kelesuan ekonomi akibat situasi pandemi Covid-19, Presiden Joko Widodo idealnya tidak mengizinkan rencana dan kebijakan mengimpor beras. Wacana dan kebijakan ini jelas akan memengaruhi konstelasi pertumbuhan ketahanan pangan dalam negeri. Kebijakan itu lambat laun akan menghancurkan kondisi harga di tingkat petani.

Para petani kini sedang berjuang meningkatkan produksi, apalagi pada awal tahun ini Indonesia menghadapi musim panen tahunan yang berlangsung pada pertengahan Maret 2021. Hasil panen diperkirakan mencapai  8,7 juta ton gabah kering giling (GKG). Pada April 2021 panen diperkirakan akan mencapai 8,59 juta ton GKG.

Kalau impor beras dilakukan sekarang, tentu saja akan menghancurkan harga di tingkat petani. Jika mengacu kebutuhan beras nasional 2021, kebutuhan beras nasional diperkirakan mencapai 31 jut aton hingga 32 juta ton dengan produksi dalam negeri sebesar 30 juta ton.

Angka ini masih ditambah sisa stok beras Desember 2020 yang mencapai enam juta ton. Dengan perhitunganan tersebut, ketersediaan beras nasional diperkirakan mencapai 36 juta ton, sehingga masih ada kelebihan stok beras dalam negeri sekitar empat juta ton hingg alima juta ton.

Melihat data ini sepertinya impor beras masih tidak perlu dilakukan oleh pemerintah saat ini. Jika kita melihat pada sejarah krisis wabah pandemi flu spanyol di Hindia Belanda pada 1918, penderitaan masyarakat Hindia Belanda akibat flu spanyol saat itu memunculkan bencana kelaparan yang membuat banyak petani dan masyarakat saat itu mengalami krisis pangan.

Terjadinya musim kemarau yang panjang dan pandemi yang semakin kuat telah menyebabkan kegagalan panen yang membuat sirkulasi ketahanan pangan menjadi sangat terdesak. Akibatnya, harga-harga melambung tinggi sampai tak terkendali pada November 1918. Saat itu stok pangan di Jawa hanya 27.000 ton (Oetoesan Hindia, 20 Desember 1918).

Lemahnya ketahanan pangan di tengah pandemi memunculkan inisiatif besar bagi otoritas Hindia Belanda untuk melakukan langkah subtitusi penanaman tanaman sekunder dengan tanaman pokok yang dapat menghasilkan nutrisi (Oetoesan Hindia, 31 Desember 1918).

Berkaca pada kontekstualitas ketahanan pangan masa pandemi flu spanyol 1918, maka inisiatif pemerintah terhadap wacana kebijakan impor beras di tengah pandemi Covid-19 jelas akan menjadi satu hal yang sangat instan karena menunjukkan pemerintah tidak melakukan usaha nyata untuk membangun perbaikan ketahanan dan keberlanjutan pangan dalam negeri.

Wacana impor beras ini hadir di tengah kampanye besar Presiden Joko Widodo yang aktif menyosialisasikan gerakan benci produk asing sebagai wujud mendukung perekonomian dalam negeri. Dalih pemerintah yang menjadikan impor beras sebagai cadangan (iron stock) dan pasokan beras selama pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) bukan merupakan langkah yang tepat.

sSecara rasional, pemerintah seharusnya membangun pola integrasi pertanian mulai dari produksi hingga proses setelah panen dengan membangun model bisnis korporasi petani. Pemerintah seharusnya mengoptimalkan peran kerja badan usaha milik negara (BUMN) dan swasta supaya tak hanya berperan sebagai pembeli hasil panen, melainkan aktif mendampingi kelompok tani supaya membangun ekosistem ketahanan pangan secara terpadu.

Sebagai negara agraris, sudah semestinya di tengah pandemi Covid-19 pemerintah melindungi para petani supaya mampu menjamin produksi pangan nasional. Misalnya, dalam hal memberikan perlindungan kepemilikan lahan petani dan memberikan fasilitas wadah penyimpan yang memadai. Hal ini memberi dampak positif bagi ketahanan pertanian selama masa pandemi.



Di sisi lain pemberian subsidi harga pupuk, benih, dan alat produksi pertanian juga akan semakin membuat produktivitas lebih berdaya saing. Oleh karena itulah, daripada pemerintah memikirkan kebijakan impor beras, alangkah lebih baik jika pemerintah memperbaiki integrasi ketahanan pangan dalam negeri.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya