SOLOPOS.COM - Anicetus Windarto/Istimewa

Solopos.com, SOLO -- Menarik bahwa ketika dimintai respons tentang semakin tingginya kasus intoleransi di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), berdasarkan laporan Setara Institute, Gubernur DIY Sri Sultan HB X justru balik bertanya,”Dasarnya apa?”

Berdasar laporan Setara Institute, Provinsi DIY termasuk 10 besar daerah yang berkasus intoleransi tinggi. Belum lama ini terjadi penghentian paksa upacara doa umat Hindu di Kabupaten Bantul, DIY, oleh ”warga setempat”.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Sebelumnya juga pernah terjadi penolakan acara sedekah laut, pemotongan salib di sebuah permakaman, penolakan warga nonmuslim di sebuah perkampungan, pembubaran pameran seni, dan penyerangan seorang romo/pastor di gereja.

Tentu, berbagai kasus intoleransi yang terjadi, khususnya di DIY, bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit. Masalah itu tampil sebagai suatu rekayasa yang dikerjakan dengan jeli dan hati-hati. Rekayasa itu menjadi bagian dari jejak langkah kolonialisme di Indonesia masa lalu yang ditujukan untuk mengatur dan menjaga masyarakat agar dapat berdiam di kawasan yang disebut sebagai masyarakat majemuk (plural society).

Di kawasan itulah setiap warga berdasarkan kelas sosial masing-masing, seperti Eropa, Timur Asing, dan pribumi, hanya bisa bertemu dan berinteraksi di pasar. Jadi, sebagaimana digagas oleh J.S. Furnivall (1939), masyarakat dengan beragam ciri sosial, agama, dan rasial yang sulit untuk mencapai kata sepakat perlu diawasi secara melekat, bahkan jika dibutuhkan sesekali ”ditekan” baik secara hegemonik maupun represif.

Ejekan terhadap peranakan Tionghoa, misalnya, yang hingga kini masih cukup efektif dan operatif, sesungguhnya adalah warisan dari sejarah ”masyarakat majemuk” era kolonial. Di DIY jejak langkahnya dapat ditelusuri dari julukan yang dikenakan terhadap seorang kapiten di kawasan Pecinan di sekitar Jl. Maliboro sekarang.

Julukan yang diberikan kepada Tan Jin Sing atau K.R.T. Secodiningrat itu (1760-1831) adalah Cina wurung, Landa durung, Jawa tanggung yang artinya “bukan lagi Cina, belum Belanda, Jawa setengah matang”. Dengan julukan itu, setiap peranakan Tionghoa yang berkulit kuning dan bermata sipit bukan saja layak dipandang sebagai pihak yang ”asing” (liyan atau the other), tetapi juga ”aseng”.

Cermin dari Satu Pihak ke Pihak Lain

Itulah mengapa kata ”Cina” menjadi semacam mantra yang bukan saja dapat membuat rikuh, tetapi juga cermin (rasial) dari satu pihak ke pihak yang lain. Syukurlah, antropolog James T. Siegel dalam buku Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia (2009) pernah menulis sebuah pengalaman yang unik ketika sedang berada di Kota Solo pada 1980-an.

Oleh segerombolan anak di jalanan, dia pernah disapa dengan ucapan,”Hello, mister”. Sapaan yang sebenarnya tidak bermakna apa-apa telah membuat Siegel menjadi rikuh. Sebagai orang asing, dia merasa sapaan itu tidak memerlukan jawaban apa pun dan artinya tidak perlu ditanggapi dengan serius.

Tatkala anak-anak mulai melancarkan kata-kata ”ora isa basa Jawa” (tidak bisa bahasa Jawa), dia menjadi paham bahwa sapaan yang bukan berasal dari bahasa Indonesia, apalagi dari bahasa Jawa, itu adalah sebuah ejekan. Maksudnya, hal itu hanyalah semacam simbol yang menguji apakah orang asing seperti dirinya dapat diajak berbicara.

Jika tidak, tak jadi masalah. Jika ya, anak-anak itu akan langsung menjadi sopan dan tak jarang mengucapkan selamat karena dia dapat berbahasa Indonesia dengan amat baik meski telah menyapa mereka dengan bahasa Jawa. Di sini tampak bahasa Indonesia justru menjadi penanda yang cukup toleran bagi siapa saja yang datang sementara atau tinggal menetap di Indonesia.

Dengan bahasa Indonesia, setiap orang, termasuk orang asing, dapat berbicara dengan lancar tanpa perlu merasa rikuh. Juga tidak perlu saling mencerminkan, sebagaimana terjadi di beberapa negara lain, yang menempatkan bahasa setara dengan identitas pemakainya. Di Prancis, kata Siegel, kalau tidak bilang bonjour kepada tetangga, kita dianggap menghina.

Di Aljazair, masalah siapa yang berbahasa Tamazir (bahasa bangsa Berber) dan yang berbahasa Aljazair (bahasa dialek Arab) dapat menjadi perkara hidup atau mati. Bersyukurlah bahwa bahasa Indonesia tidak membuat orang merasa kesulitan untuk berbicara, apalagi sampai merasa terhina dan saling membunuh.

Bayangkan saja jika di dalam kelas perkuliahan di Kota Jogja misalnya, bahasa yang dipakai dalam proses belajar dan mengajar adalah bahasa Jawa. Tentu, sebagian mahasiswa yang berasal dari luar Jawa akan merasa kerepotan mengikuti perkuliahan, bahkan antara mahasiswa luar Jawa yang sama-sama berasal dari daerah/pulau yang sama pun niscaya akan kebingungan untuk berbicara satu sama lain tanpa bahasa Indonesia.

Bahasa ibu dengan dialek yang berbeda-beda sungguh berpotensi menimbulkan masalah daripada menyediakan jalan tengah. Masalah bahasa Indonesia yang dirasa mudah menyerap, bahkan menyadur bahasa asing, dari mana saja, menjadi bagian dari jejak langkah pembentukan bahasa Indonesia dalam sejarah.

Bahasa Seperti Aspal

Rudolf Mrázek (2006) yang meneliti perkembangan bahasa Indonesia menegaskan bahwa bahasa Indonesia itu ibarat aspal pada era kolonial Belanda. Artinya, bahasa yang digunakan untuk memperlancar dan mempercepat segala sesuatu yang sulit untuk diterjemahkan dari bahasa resmi pejabat atau elite terpelajar yang masih bergaya kebelanda-belandaan.

Saat Konggres Pemuda II pada Oktober 1928, seperti ditemukan Keith Foulcher (2008), bahasa persatuan yang sesungguhnya digunakan di antara para delegasi atau organisasi-organisasi pemuda adalah bahasa Belanda. Untung saja, ada beberapa peserta kongres yang ketika diberi pilihan untuk diterjemahkan atau tidak pidato-pidato dari para pembicara yang masih berbahasa Belanda, dengan lantang mereka berteriak,”Diterdjemahkan!!! Dimelajoekan!!!”

Penting juga dicatat bahwa bahasa Melayu atau bahasa Indonesia yang sebenarnya disepakati sebagai bahasa pengantar dalam kongres pada kenyataannya tidak dapat mencapai tujuan lantaran tidak mampu digunakan dengan baik, bahkan oleh Soegondo Djojopoespito sebagai ketua kongres.

Dalam konteks ini, penting untuk dicatat bahwa bahasa yang menjadi lingua franca adalah bahasa yang tidak dimiliki oleh siapa pun, bahkan oleh pihak atau lembaga yang seakan-akan punya otoritas terhadap penggunaannya. Itulah mengapa bahasa tersebut relatif terpisah dari tempat dan identitas pemakainya.

Siapa pun dapat membentuk dan memakai sesuai dengan kebutuhan. Bahasa pasar istilahnya, tapi tidak pasaran maknanya. Seperti dikaji Benedict Anderson (2004 & 2009), ”bahasa tanpa nama” itu merupakan embrio, bukan hanya tentang nasionalisme, melainkan juga kosmpolitanisme. Bahasa yang sangat dekat dengan bahasa lisan, seperti digunakan Mas Marco Kartodikromo, Haji Misbach, Kwee Thiam Tjing, atau Pramoedya Ananta Toer, dan tanpa ada dinding/sekat yang membedakan/memisahkan antara ”fiksi” dan “raportasi”, termasuk antara kata dan perbuatan.

Berkat bahasa semacam itu, buku-buku terjemahan yang kini tak terhitung banyaknya terpajang di toko buku dapat diperoleh dan dibaca dengan mudah meski tak jarang hasil terjemahannya buruk. Apakah kita mesti kecewa, bahkan marah? Bukankah ada juga bahasa kita yang tidak bisa diterjemahkan dengan pas ke dalam bahasa Inggris, seperti kata kolong yang berasal dari bahasa Jawa longan dan kita tenang-tenang saja.

Tak perlu merasa menjadi lemah, apalagi terancam, jika bahasa kita mengalami xenomania (kesukaan yang berlebihan terhadap segala sesuatu yang asing). Bahasa kita masih mampu tampil lebih toleran (sinkretis) ketimbang mempersoalkan ketepatan padanan yang membuat tak jarang kita abai untuk membangun keber(se)samaan daripada sekadar merekayasa intoleransi melalui beragam ejekan/hinaan warisan masa lalu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya