SOLOPOS.COM - Jumpa pers temuan MFC Indonesia, Sabtu (4/2/2017) di Jakarta. (Rini Yustiningsih/JIBI/Solopos.com)

Intimidasi terhadap jurnalis masih terjadi di Papua.

Solopos.com, JAKARTA — Intimidasi terhadap jurnalis masih terjadi di tiga kota di Papua. Bahkan kasus pelecehan seksual jurnalis perempuan didapati di Kota Jayapura.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

(Kiri-Kanan), Dona, Adi, Eko Maryadi, Lina Nursanty, Andre Heslop dalam jumpa pers MFC Indonesia, Sabtu (4/2/2017). (MFC Indonesia)

(Kiri-Kanan), Dona, Adi, Eko Maryadi, Lina Nursanty, Andre Heslop dalam jumpa pers MFC Indonesia, Sabtu (4/2/2017). (MFC Indonesia)

Dua hal itu merupakan dua dari delapan temuan Tim Media Freedom Commitee (MFC) Indonesia. Selama 29 Januari-3 Februari 2017, MFC Indonesia menurunkan delapan jurnalis dari delapan media ke tiga kota di Papua, yakni Timika, Jayapura dan Merauke.

Di Timika antara lain Gadi Makitan (Tempo), Palupi Auliani (Kompas), Sunarti Sain (Fajar Makassar); di Jayapura ada Adi Marsiela (Suara Pembaharuan) dan Arientha Primanita (The Jakarta Post); sementara di Merauke terdiri atas Angelina Maria Donna (Suara.com), Rini Yustiningsih (Solopos) dan Anita Wardhana (Tribun Makassar).

Representatif World Association of Newspapers and News Publisher (WAN-IFRA) wilayah Asia Pasifik, Eko Maryadi dalam jumpa pers di Hotel Aone Jakarta, Sabtu (4/2/2017), mengatakan kegiatan ke Papua dalam rangka mendapatkan fakta-fakta di lapangan mengenai kebebasan pers di wilayah Papua. Perjalanan ini merupakan bagian dari program Strengthening Media and Society yang didukung WAN-IFRA. 

Director Media Freedom WAN-IFRA, Andrew Heslop menjelaskan WAN-IFRA sangat peduli penguatan media dan kebebasan pers. Menerjunkan para jurnalis dari media berbasis di Jakarta, Solo dan Makassar bertujuan memberikan sudut pandang lain di luar sudut pandang jurnalis Papua, mengenai kebebasan pers di wilayah itu.

Dalam menjalankan misi tersebut, Representatif MFC Indonesia Lina Nursanty menjelaskan masing-masing tim jurnalis didampingi jurnalis lokal yang disebut local fixer yang terdi atas Victor Mambor dan Dominggus Mampioper (Jayapura); Frans Labi Kobun (Merauke) dan  Yulius Oktovianus Lopo (Timika).

Metode pencarian informasi dengan menggelar diskusi yang melibatkan jurnalis di masing-masing kota, wawancara dengan tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh agama maupun aktivis, serta wawancara dengan stakeholders di masing-masing wilayah.

Indeks KP

Kasus intimidasi terhadap pers hampir merata terjadi di tiga kota. Sebagai informasi, Indeks Kebebasan Pers (IKP) yang disusun Dewan Pers pada tahun 2015 menyebutkan bahwa provinsi Papua berada dalam kondisi agak bebas (skor 63,88). Sedangkan Provinsi Papua Barat tercatat sebagai provinsi kurang bebas (skor 52,56).

Di Jayapura, menurut Adi, masih ditemukan stigmatisasi terhadap jurnalis antara pro Papua Merdeka dan pro NKRI. Stigma ini yang kemudian membuat jurnalis terkotak-kota serta menjadi senjata aparat melakukan intimidasi. Jurnalis juga sulit mengakses informasi ke narasumber karena adanya stigma yang menganggap jurnalis sebagai dari intel. Hingga kini di Jayapura terdapat 10 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang belum terselesaikan.

Kasus pelecehan seksual terhadap jurnalis perempuan baik yang dilaporkan ke polisi maupun tidak dilaporkan ke polisi juga ditemukan. Bentunya dari pesan singkat maupun ajakan langsung.

“Ada salah satu jurnalis perempuan yang bercerita dia pernah diajak tidur oleh pejabat di sana. Jurnalis itu menolak, namun si pejabat mengatakan ‘kenapa tidak bisa, teman yang lain bisa.Ini kan sudah biasa’. Artinya pelecehan seksual terhadap jurnalis di sana [Jayapura] itu sering terjadi, namun mereka tak berani melaporkan, karena takut dampaknya,” papar Adi.

Temuan di Timika dan Merauke jurnalis masih menemukan kesulitan akses informasi. Palupi menjelaskan dalam kasus Freeport di Timika misalnya, upaya cover both side (berimbang) sulit dilakukan karena semua informasi mengenai Freeport berpusat di Jakarta.

“Jadi misalkan ada satu kasus atau masalah yang membutuhkan konfirmasi dari pihak Freeport, jurnalis di Papua tak bisa mendapatkannya karena tanggapan atau penjelasan harus dari Communication Division Freeport yang ada di Jakarta,” ujarnya.

Soal keberimbangan informasi juga terjadi di Meruke. Dona menceritakan soal sulitnya mendapatkan konfirmasi dari stakeholders, pemegang kekuasaan maupun aparat di Merauke. “Contohnya terkait pemberitaan di Universitas Masamus Merauke, itu berkali-kali jurnalis memberi ruang konfirmasi atau hak jawab kepada rektor, namun bukannya memanfaatkan ruang itu untuk menjelaskan, rektor malah berniat lapor ke polisi dan Dewan Pers,” paparnya.

Tak hanya itu di Merauke, berita-berita yang berbau kritikan sosial khususnya pengkritisan proyek-proyek investasi kerap dinilai oleh aparat dan pemegang kekuasaan sebagai berita-berita provokasi separatisme.

Selain kebebasaan pers, tim juga menemukan adanya kerusakan lingkungan akibat program investasi di Timika dan Merauke. Ekspansi besar-besaran perkebunan kelapa sawit membuat hutan-hutan di Merauke hilang. Selain itu, juga merubah struktur pola hidup masyarakat suku-suku asli Papua.

Inilah 8 Temukan MFC Indonesia di Papua:

1.       Perlakuan aparat pemerintah dan keamanan yang diskriminatif terhadap jurnalis OAP (orang asli Papua) dan non OAP begitu juga sebaliknya.

2.       Masih ada stigmatisasi terhadap jurnalis antara yang pro merdeka dan pro NKRI.  Stigma ini kemudian dijadikan senjata bagi aparat untuk melakukan intimidasi. Stigmatisasi itu juga membuat jurnalis terkotak-kotak.

3.       Kerusakan lingkungan terkait dampak ekonomi dan pembangunan yang kerap meminggirkan hak asasi manusia dan kearifan lokal tidak banyak diberitakan karena banyaknya pembatasan dan intimidasi terhadap jurnalis di lapangan.

4.       Perlu penguatan kapasitas jurnalistik di Papua, mulai dari penerapan kode etik, pemahaman profesi jurnalis, hingga penguasaan teknologi termasuk model bisnis yang tidak menyandera independensi pers.



5.       Perlu adanya perubahan perspektif media di luar Papua dalam peliputan dan pemberitaan Papua untuk mendapatkan fakta yang lebih komprehensif dan faktual.

6.       Ada 16 jurnalis asing yang datang dan meliput di Papua sejak Presiden Joko Widodo membuka akses media asing untuk meliput di Papua pada tahun 2015. Meskipun begitu, masalah independensi tetap dipertanyakan karena 11 diantaranya datang didampingi aparatur pemerintah.

7.       Tim menemukan fakta terjadinya kasus pelecehan seksual terhadap para jurnalis perempuan di Papua baik yang dilaporkan maupun tidak dilaporkan.

8.       Perlu pemerataan infrastruktur komunikasi dan akses teknologi informasi di seluruh Papua untuk meningkatkan kualitas dan kompetisi pelayanan publik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya