SOLOPOS.COM - Mohamad Ali (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Kebesaran pergerakan Muhammadiyah selalu dinilai dari kuantitas/jumlah amal usaha yang berhasil didirikan. Penilaian demikian bukan keliru, tetapi kurang tepat. Amal usaha Muhammadiyah (AUM) merupakan jawaban strategis yang diberikan atas problem-problem sosial yang muncul

AUM setelah melalui proses analisis sosial atas kebutuhan masyarakat dan interpretasi atas doktrin keislaman sehingga ada titik temu antara teks ajaran dengan konteks sosial. Proses pengkajian teks ajaran secara sungguh-sunguh di satu sisi dan proses analisis sosial di sisi yang lain memerlukan kerja-kerja intelektual/pemikiran mendalam.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Tataran gerakan Muhammadiyah dalam bentuk amal usaha, tetapi basisnya adalah pemikiran (intelektualisme) yang cerdas dan mendalam. Berdasarkan penelusuran arsip maupum dokumen sejarah, bisa diidentifikasi dua tokoh Muhammadiyah Kota Solo generasi awal yang menuangkan gagasan secara tertulis, sehingga buah pemikirannya masih bisa dibaca generasi berikutnya, adalah Haji Mohammad Misbach (1876-1924) dan Kiai Moechtar Boechari (1889-1926).

Sangat mungkin muncul tokoh intelektual lain, seperti Harsolumekso, Sontohartono, Parikrangkungan, Sastrosugondo, Mochamad Idris, dan lain-lain bila ditemukan sumber/karya tertulis. Garis besar pemikiran sosial keislamanan Misbach telah menjadi perhatian dan bahan kajian para sejarawan maupun analis sosial, seperti Nor Hikmah (2008), Ahmad Suhelmi (2001), dan Takashi Shiraishi (2005).

Ekspedisi Mudik 2024

Pemikiran sosial-keagamaan Boechari belum mendapat perhatian yang layak. Misbach maupun Boechari lahir dan tumbuh di kampung putihan-santri, Kauman, tetapi proses pergumulan dan pematangan pemikiran berlangsung di Kampung Keprabon. Jarak Kauman dan Keprabon sangat dekat, hanya dipisahkan rel kereta api dan Jl. Slamet Riyadi.

Corak keislaman di Kauman dengan keberadaan para penghulu, Masjid Gede, dan Madrasah Mambaul Ulum telah mapan dan menemukan bentuk final. Mereka berdua tengah mengalami ”kegelisahan intelektual” dan sedang berusaha ”mencari jawaban” atas pertanyaan mengapa umat Islam terjajah, terbelakang, melarat, dan bodoh, sementara ajaran Islam itu agung dan mendorong kemajuan umatnya.

Mereka berdua memilih daerah baru, di luar Kauman, sebagai arena pergumulan intelektualisme/pemikiran pembaruan Islam, yakni Kampung Keprabon. Awalnya (1917-1919) di rumah Harsolumakso, Keprabon Tengah, sekretariat perkumpulan lokal pra-Muhammadiyah, Sidik Amanah Tabligh Vathanah (SATV), namun ketika terjadi persilangan intelektual semakin tajam antara Islam kiri-politik versus Islam reformis-kultural pusat gerakan bergeser.

Mereka yang berorientasi Islam kiri-politik, Misbach dan kawan-kawan, menjadikan Suniyah Mardi Busana (saat ini SD Suniyah) sebagai markas. Mereka yang berorientasi Islam reformis-kultural menjadikan rumah Sontohartono sebagai pusat aktivitas. Tiga tempat itu berdekatan di Keprabon Tengah.

Sumbangan terpenting Misbach dalam intelektualisme Muhammadiyah awal adalah menarik dan menjadikan K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923), pendiri persyarikatan Muhammadiyah di Yogyakarta pada 1912, sebagai mentor sekaligus guru yang dianggap mampu menjawab kegelisahan dan secara bersama-sama menemukan jawaban Islam atas problem sosial yang dihadapi rakyat Solo.

Pengalaman Boechari sama persis dengan pengalaman Soekarno (1901-1970), presiden pertama Republik Indonesia, yakni jatuh cinta sejak saat pertama mendengar cermah/tablig Kiai Dahlan dan hingga akhir hayat terus berjuang bersama persyarikatan Muhammadiyah.

Misbach dan Boechari berada di satu arus pemikiran, bahwa apabila umat Islam ingin maju maka Islam harus menempuh jalan kemodernan. Modern dalam pengertian pemahaman atas ajaran Islam harus disesuaikan dengan keadaan zaman sekarang, yakni zaman kemajuan.

Meski sama-sama berada di jalur Islam modernis, mereka berada di simpang jalan ketika merumuskan bagaimana formula/cara menjadi orang Islam yang sejati. Dalam pandangan Misbach, orang Islam sejati adalah yang secara berani melawan pemerintah penjajah dan kaum kapitalis-borjuis melalui advokasi-agitasi kaum buruh dan petani agar melawan penjajah-kaum kapitalis.

Menjaga Nyala Api

Dengan pisau analisis Marxisme, dia sampai pada kesimpulan Islam sejati adalah Islam komunis dan komunisme yang sejati adalah komunisme yang berlandaskan pada ajaran Islam.  Misbach berpandangan Islam sejati melekat di dalamnya gerakan politik untuk mengubah kekuasaan. Islam minus gerakan politik adalah Islam lamisan.

Boechari berpandangan Islam sejati ditampilkan dalam kehidupan sosial yang menggembirakan dan memajukan ajaran dan pelajaran Islam dalam seluruh dimensi kehidupan, sedemikian rupa sehingga rakyat terbebas dari keterbelakangan, kemelaratan, kebodohan, dan budaya feodalisme.

Seseorang bisa menjadi Islam sejati dengan jalan membebaskan rakyat dari kebodohan, kemelaratan, dan keterbelakangan dengan jalan mencerdaskan dan mencerahkan mereka, tanpa harus terlibat dalam gerakan politik. Di titik inilah terjadi persilangan jalan atau  percabangan dalam gerakan intektualisme Muhammadiyah awal.

Misbach mundur dari jabatan ketua SATV pada 1918 untuk terjun ke politik melalui Insulinde maupun Sarekat Hindia/SI Merah. Kala melakukan advokasi-agitasi kaum buruh dan tani, Misbach masih merasa sebagai mubalig SATV-Muhammadiyah. Kala dibuang ke Manokwari pada 1922, Misbach memperkenalkan Muhammadiyah di Ambon, Maluku, dengan jalan berlangganan majalah Adil dan Islam Bergerak.

Dalam banyak kesempatan Misbach mengkritik persyarikatan Muhammadiyah karena enggan memasuki gelanggang politik, tetapi persahabatan dan kecintaan Kiai Dahlan terhadap Misbach terus terjaga. Saat dia ditangkap karena tuduhan agitasi, Harsolumekso dan Kiai Dahlan mengirim kawat kepada Gubernur Jenderal dan meminta Misbach dibebaskan atas nama SATV dan Muhammadiyah (Shiraishi, 2005: 225).

Kala Misbach mundur dari ketua SATV, Boechari yang saat itu baru berumur 19 tahun menggantikannya sebagai ketua. Meski masih belia, penguasaan ilmu agama sangat mendalam dan bersedia bekerja secara total menggerakkan SATV-Muhammadiyah.

Di samping menjadi jurnalis dan mengajar agama di HIS Mangkunegaran (saat ini SD Muhammadiyah 1 Ketelan), gerakan paling menonjol adalah penyelenggaraan kursus Islam di berbagai lokasi sehingga pemahaman keislaman ala Muhammadiyah bisa diterima oleh umat Islam di Solo.

Kita bisa menangkap kegelisahan intelektual dan proses pencarian Islam sejati yang dilakukan para pendiri SATV dan Muhammadiyah cabang (afdeling) Solo. Banyak generasi Muhammadiyah saat ini tidak mengenal wacana intelektualisme Muhammadiyah generasi awal. Seolah-olah kebesaran AUM hari ini terbentuk secara tiba-tiba, tidak melalui proses sejarah panjang, seabad lebih.

Para pimpinan Muhammadiyah harus menjaga terus nyala api intelektualisme, pemikiran pembaruan Islam, sebagai basis gerakan Muhammadiyah. Intelektualisme adalah roh Muhammadiyah, sedangkan organisasi-AUM adalah badan-fisiknya. Organisasi maupun AUM sebagai suatu badan bisa terus tumbuh dan berkembang ketika pimpinan memiliki kapasitas intelektualisme yang memadai.

Langkah awal menjaga api intelektualisme adalah mengidentifikasi dan mendokumentasi karya-karya generasi awal Muhammadiyah untuk ditelaah secara kritis dan diletakkan dalam deretan karya-karya agung kaum intelektual lain. Pertanyaannya adalah, siapa yang peduli terhadap masalah ini?

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 19 November 2022. Penulis adalah dosen di Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya