SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Isu perpolitikan semakin menarik untuk dibicarakan. Rocky Gerung, yang namanya seperti seorang petinju, namun ia sangat jauh dari kekerasan fisik akan membahas perihal itu. Berikut wawancara Wimar Witoelar dengan Rocky Gerung:

Apa sebetulnya yang membuat kita seperti tidak punya pegangan di dalam perpolitikan Indonesia?
Kalau politiknya sudah sangat mengkristal artinya yang buruk dan yang baik sudah jelas di depan mata, memang mudah membuat definisi itu. Kalau kita lihat situasi saat ini seperti polisi menangkap polisi, jaksa menuntut jaksa, hakim mengadili hakim, itu berarti sudah kacau negeri ini.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Sementara itu, situasi yang lebih formil yaitu masyarakat di daerah sudah semakin tribal seperti perang antar suku, perang antar keluarga. Di tingkat yang lebih formil lagi, DPR semakin finansial. Mereka tidak bisa berpikir kalau tidak ada uang. Yang paling parah, presiden makin feodal. Lengkaplah kondisi kengerian politik kita hari-hari ini. Orang makin bisa meraba, apakah ini yang disebut “The beginning of the end”.

Sebetulnya, dalam masyarakat yang masih semi feodalistik semacam ini, pada awalnya reformasi diasuransikan kepada presiden. Kita melihat ada semacam “gairah” sewaktu memilih Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presiden dan kita semua bayar premi demi itu. Lama-lama kita lihat, SBY re-asuransi juga ke politik kartel. Itu yang menyebabkan ruang publik sekarang hanya diatur oleh dua orang.

Bagaimana dengan istilah kartel. Istilah ini dipakai oleh Sri Mulyani. Menurut dia, bukan kartel tapi perkawinan?
Istilah ini sudah ada dari periode 1700-an. Pertama, dipakai untuk mengolok-olok politik yang hanya diatur oleh 2-3 orang. Sifatnya oligarchy. Dia membuat politik tidak tumbuh. Demokrasi seolah-olah meriah karena ada kartel, namun sebetulnya politik dibunuh karena tidak ada kesempatan untuk partisipasi di luar komunitas partai.

Itu yang terjadi sekarang. Politik sebagai hak publik dihalangi oleh kartel. Itu yang saya kira berbahaya bagi demokrasi. Kelihatannya presiden menikmati itu bukan karena ingin menghegemoni politik Indonesia, tapi dia memang tertawan di dalam sejarah masa lalu.

Apakah sebetulnya itu tidak pernah menjadi sesuatu yang bisa diharapkan karena Cartel was always there?
Banyak penyebab. Pertama, partai kita unggulkan dahulu. Kita ingin agar Indonesia diolah secara bermutu lewat fasilitas partai politik. Tapi kita tahu bahwa di dalam partai politik tidak ada kaderisasi, tidak ada kurikulum tentang etika publik. Tidak ada kurikulum tentang kewarganegaraan. Jadi sebetulnya anggota partai lebih banyak dididik untuk menjadi seorang debt collector, daripada dididik menjadi seorang legislator. Ini yang mengakibatkan mengapa di DPR tidak ada argumentasi yang betul-betul bermutu berbasis pada citizenship.

Kedua, sebetulnya dalam sistem presidensial kita berharap presiden bisa memaksimalkan energi yang 60% diperoleh dari publik. Tapi karena ia peragu dan merasa dia harus menguasai DPR, dia kasih umpan pada DPR yang tidak punya dasar public ethics. Akibatnya, DPR merajalela sekarang. Jadi dia terjebak pada semacam kebodohan politiknya sendiri.

Lalu apa yang Anda lihat dari gerakan pro Sri Mulyani (SMI)? Apakah seperti satu ilusi dan apakah akan melahirkan rasa penasaran orang untuk bersuara?
Di dalam kontras etika publik akhir-akhir ini, SMI mengajarkan kita tentang integritas. Itu hal yang paling penting. Saya percaya bahwa integritas menjadi sumber utama untuk energi perubahan. Saya berharap bahwa ada periode dimana publik politik, terutama Jakarta mendinginkan pikiran untuk menerima suatu perspektif baru mengenai SMI.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya