SOLOPOS.COM - Salah satu ruang dalam di Kantor Yayasan DED (JIBI/Harian Jogja/Tri Wahyu Utami)

Kantor Yayasan DED tampak dari luar (JIBI/Harian Jogja/Tri Wahyui Utami)

Dari kesekian banyak desain YB Mangunwijaya atau lebih dikenal dengan Romo Mangun, Kantor Yayasan Laboratorium Dinamika Edukasi Dasar (DED) adalah yang paling rumit. Dibangun tanpa konsep dan gambar, bangunan terus bertumbuh.

Promosi Mudik: Traveling Massal sejak Era Majapahit, Ekonomi & Polusi Meningkat Tajam

DED dulu menjadi tempat tinggal almarhum Romo Mangun. Dibangun pada 1986-1999. Pembangunan tidak berhenti selama itu, tumbuh dan terus tumbuh. “Rumah ini tanpa konsep dan gambar, hanya berdasarkan [kerja spontan] tukang,” kata Ado Bintoro, bagian umum DED yang sudah bekerja selama 10 tahun pekan lalu.

Lokasi DED bertempat di gang Kuwera, Gejayan, Jogja. Sepeninggal Romo Mangun 1999, rumah ini dijadikan kantor DED sebagai proyek eksperimental pengembangan dasar serta perpustakaan.

Siapapun yang baru pertama kali datang, akan menyangka bahwa DED terdiri dari dua lantai dan sempit. Dari ruang tamu, tampak adanya jembatan sebagai penyambung antara bangunan di kiri dan kanan. Tapi, dugaan itu salah setelah berkeliling. Dijamin terheran-heran dengan ruang-ruang yang saling sambung-menyambung.

Setiap lantai khususnya lantai atas, tidak sejajar atau sama tinggi, tetapi saling tembus menembus, naik-turun sesuai kontur tanah yang tidak rata. Bahkan, terdapat ruang bawah tanah yang dulu dimanfaatkan sebagai ruang menyendiri, kini dijadikan gudang.

“Romo Mangun tidak bisa melihat tukangnya nganggur, makanya, setiap hari tukang harus ada kerjaan. Misalnya menggali tanah untuk menguruk satu ruang, tanah yang berlubang hasil galian tetap dimanfaatkan sebagai ruang bawah tanah,” tambah Bintoro.

DED menempati tanah seluas 1.500 meter persegi. Terdiri dari halaman untuk parkir, dapur, ruang pertemuan, perpustakaan, kapel, ruang tidur, ruang kerja, gudang, sementara di belakang terdapat 14 kamar untuk penginapan saat ada pelatihan.

Nyaris tidak ada sejengkal tanah “nganggur” di DED ini. Bahkan, dalam satu bangunan rumah ini terdapat 13 kamar mandi yang semuanya dirawat dengan baik serta lima kolam ikan. “Kata Romo [Mangun], bangunan dari kayu harus banyak air, misalnya terjadi kebakaran mudah mengatasi,” jelas Alfonsus Mardani, koordinator Litbang DED.

Banyak Ventilasi

Tanpa menggunakan air conditioner (AC), Jantor DED sudah sejuk. Angin datang dari berbagai penjuru karena banyaknya ventilasi udara. Misalnya ventilasi pada bagian atas pertemuan dinding dengan plafon.

Dinding di tempat ini adalah sekat ruang yang tidak kaku. Ada tipe dinding setengah dari tinggi ruang, namun sebagian besar fungsi dinding didominasi oleh pemakaian jendela yang lebar dan tinggi. Itulah sebabnya, angin bebas menerobos.

Karakteristik dinding di DED diwujudkan dengan sebuah elemen arsitektural yang berbeda-beda. Pondasi dapat menjadi dinding, atap bisa jadi dinding, begitu pula langit-langit.

Rasa sejuk juga dihasilkan dari bahan bangunan yakni kayu. Selain untuk tiang dan dinding, kayu juga dirakit sebagai balok lantai. Balok lantai ini tersusun atas dua lapis papan yang dipasang vertikal dan saling bersilangan tegak lurus.

Pemakaian papan kayu sebagai balok lantai ini secara prinsip lebih ekonomis tetapi juga benar, bahwa pemasangan papan dengan posisi vertikal ini lebih kuat terhadap daya tekan yang besar.

Pada bagian bawahnya terdapat semacam “kaki” tiang kolom yang terbuat dari cor beton yang terhubung langsung dengan pondasi. Perpaduan dua material bahan yang kontras antara alami dan artifisial ini sebagai sebuah bahasa transisi untuk mengekspresikan kesan berat, pejal kestabilan tanah, lantai tegel bertekstur garis menuju ke kaki kolom beton.

Sementara kesan artistik tampak menyolok pada atap yang tidak memakai kuda-kuda, hanya serangkaian usuk dan reng yang diapit bambu yang diproses seperti kerai sebagai plafond dan ternit.

Lembaran eternit ini dipasang secara diagonal, menyerupai sisik ikan, pada bagian ujungnya dijepit oleh lembaran seng yang dilipat keluar pada ujung-ujungnya. Lembaran bambu ini begitu kuat terasa di altar atau tempat persembahyangan lantai dua.

Agar rumah tampak luas, pintu dan jendela di DED berkonsep geser. Adapun kaca-kaca yang terpasang merupakan sisa-sisa bangunan yang tidak terpakai sehingga ukurannya berbeda-beda.

Salah satu ruang dalam di Kantor Yayasan DED (JIBI/Harian Jogja/Tri Wahyu Utami)

Relasi Sosial

Rumah yang terus tumbuh ini, menurut Mardani secara ekonomis memberikan sumbangsih bagi tukang dan hasilnya bernilai artistik. “Untuk hal penting seperti altar, harusnya orang-orang mencari bahan yang paling bagus. Ini malah dari galar [bambu] yang disambung-sambung. Tapi dengan begitu justru muncul nilai seni dan merakyat,” jelasnya.

DED inilah yang kerap disebut sebagai laboratorium desain Romo Mangun. “Di sini istilahnya peleburan konsep-konsep bangunan dari beberapa tempat. Sifatnya eksploratif,” lanjutnya.

Bicara dari sisi keamanan dari tindak kriminal, agaknya Romo Mangun tidak terlalu peduli. Ia mengandalkan konsep relasi sosial. “Seperti di India, Romo beranggapan keamanan bukan dari bangunan fisik tapi dari sosialnya. Kalau sosial sudah harmonis, rumah terbuka sekalipun akan aman,” tutup lelaki berusia 44 tahun ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya