SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Kamis (20/12/2018). Esai ini karya Tasroh, aparatur sipil negara yang anggota tim desain proyek daerah dan alumnus Universitas Ritsumeikan Asia Pacific , Jepang. Alamat e-mail penulis adalah tasroh@gmail.com.

Solopos.com, SOLO — APBN 2019 resmi berlanjut ke tahap pelaksanaan. Setelah UU No. 12/2018 tentang APBN disahkan DPR pada akhir Oktober 2018 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Selasa (11/12) menyerahkan daftar isian pelaksanaan anggaran ( DIPA) dan alokasi transfer ke daerah dan dana desa.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pada APBN 2019 tersebut pemerintah mengalokasikan belanja negara mencapai Rp2.439,7 triliun atau sekitar 15% dari produk domestik bruto (PDB). Total belanja tersebut terdiri atas belanja pemerintah pusat Rp1.634,3 triliun dan untuk pemerintah daerah Rp855, 45 triliun.

Presiden Jokowi menyebut anggaran tahun 2019 lebih tinggi 10% dibanding perkiraan belanja tahun 2018 atau meningkat 37,3% jika dibandingkan dengan belanja negara tahun 2014 yang senilai Rp1.777,2 triliun.

Presiden Jokowi tak henti-hentinya mengingatkan semua pengguna anggaran negara, baik di pusat atau daerah, untuk mendayagunakan APBN/APBD lebih prudent, lebih inovatif, dengan tetap memegang teguh peraturan yang berlaku.

Perintah Presiden Jokowi agar APBN/APBD dibelanjakan lebih inovatif dinilai publik sebagai ”perintah terobosan” karena selama ini daya inovasi belanja APBN/APBD tergolong minim. Inovasi belanja yang minim itu juga dikemukakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Ia menyebut daftar belanja dari tahun ke tahun itu-itu saja, nyaris tanpa inovasi, khususnya di tingkat pemerintah daerah. Belanja semacam perjalanan dinas, biaya sosialisasi, dan pendidikan latihan atau belanja barang dan jasa yang itu-itu saja!

APBD yang setiap tahun naik nilainya ternyata hanya naik dalam skala kuantitatif pos belanja, belum diikuti dengan daya inovasi program dan kegiatan/proyek. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa, hanya karena secara akuntansi pemerintah pelaporan belanja proyek-proyek tersebut diakui sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku. 

Prosedural

Penyerapan APBN/APBD sudah saatnya beralih dari yang sekadar ”sesuai aturan” (berdasarkan sistem akuntansi pemerintahan) ke ”sesuai tuntutan dan dinamika publik”. Jika yang pertama disebut sebagai belanja prosedural, yang kedua disebut sebagai ”belanja inovatif”.

Belanja inovatif adalah daftar belanja yang tidak hanya mengikuti prosedur aturan legal daftar isian proyek, tetapi juga belanja negara/daerah yang diikuti dengan dinamika tuntutan dan kebutuhan publik yang beragam, dinamis, dan berkelanjutan.

Belanja inovatif seperti disebutkan pakar ekonomi Jepang, Toru Hinagara, dalam Enhancing Public Budget (2011) memang gaya dan model belanja anggaran negara yang up to date lantaran tidak hanya berpedoman pada regulasi negara, tetapi secara simultan juga selalu dapat menjawab dan memenuhi harapan dan kebutuhan masyarakat luas. 

Belanja inovatif dalam landskap Indonesia memang mendesak dijalankan dan dikembangkan, apalagi dalam landskap otonomi daerah. Meskipun di antara warga di tiap daerah memiliki kesamaan kebutuhan dan kepentingan, dipastikan mereka butuh strategi dan langkah-langkah kebijakan berbeda-beda sesuai dengan potensi dan peluang sumber daya di tiap wilayah/daerah/target anggaran.

Sayangnya, catatan Kementerian Dalam Negeri (2017) lalu justru ironis jika mengacu pada hasil evalusi kinerja penggunaan anggaran negara khususnya di daerah. Terdapat 35% proyek di daerah warisan era orde baru yang hanya berganti baju tanpa inovasi.

Di samping hampir semua proyek cenderung copy paste dari pengguna anggaran sebelumnya, juga belum terlihat jelas di mana inovasi belanjanya. Yang sering terjadi justru pengulangan belanja (budget redudance) dan proyek, belum mampu menciptakan program dan proyek baru (inovative budget and project) guna merespons dinamika publik.

Akibatnya fatal! Tak hanya belanja dalam skala kuantitatif meningkat (sehingga setiap tahun wajib naik anggaran), namun kualitas penganggaran dan nilai manfaat proyek cenderung statis. Praktik demikian disebut pakar administrasi publik Amerika Serikat, Joseph Dunn (2010), sebagai  ”stagnasi” makna anggaran publik. 

Diskusi Publik

Harus diakui, salah satu stagnasi belanja bersumber APBN/APBD sehingga terjadi pembiaran belanja tanpa inovasi bukan semata-mata disebabkan minimnya peluang inovasi belanja yang tersedia dalam sistem birokrasi pemerintahan serta pembangunan dan layanan publik, tetapi juga karena ketidakmampuan (baca: tidak mau) para auditor menguji secara cerdas dan visioner aneka program, kegiatan, dan proyek yang bersumber APBN/APBD.

Para auditor biasanya hanya memeriksa laporan keuangan ihwal berapa uang negara yang dipergunakan untuk membiayai proyek-proyek tersebut tanpa menguji dan memeriksa apakah program, kegiatan, dan proyek-proyek tersebut benar-benar proyek yang dibutuhkan dan sesuai kepentingan publik/masyarakat luas.

Akibatnya, proyek-proyek yang dijalankan meskipun diklaim sebagai ”untuk publik”, namun faktanya sejak perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi dan tindak lanjutnya keterlibatan publik amat minim.

Musyawarah perencanaan pembangunan yang rutin dijalankan berjenjang mulai dari desa/kelurahan hingga tingkat nasional lebih beraroma copy paste ketimbang mengembangkan praksis inovasi belanja proyek. Wajar ketika kemudian makna proyek publik tersebut justru sering ditentang warga.

Untuk alasan tersebut, menurut hemat, bersamaan dengan penyerahan DIPA setiap tahun juga dibuka diskusi publik untuk mengukur daya inovasi belanja proyek baik bersumber APBN, APBD, bahkan sumber-sumber pihak ketiga sekali pun.

Inovasi belanja proyek itu bisa diambil dari data dan hasilnya dari penilaian kinerja pelaksanaan proyek/kegiatan yang merupakan tindak lanjut dari hasil audit keuangan setiap proyek.

Integritas



Di banyak negara maju, seperti Jepang, bahkan setiap proyek/kegiatan bersumber dana negara/publik tidak hanya diaudit integritas penggunaannya, tetapi juga diperiksa daya inovasi proyeknya dengan ”meminta pendapat publik” untuk terlibat dari perencanaan hingga evaluasi.

Dengan cara demikian menjadi bahan evaluasi bagi pengguna anggaran untuk berbenah dan melakukan berbagai perbaikan sesuai kebutuhan dan tuntutan publik. Sebaliknya, jika respons publik menunjukkan proyek/kegiatan yang disajikan tak menjawab persoalan, jauh dari harapan publik, apalagi terbukti hanya memboroskan anggaran tanpa menyelesaikan persoalan pemerintahan, pembangunan, dan layanan publik, sudah saatnya proyek/kegiatan-program tersebut segera dihapuskan/dihentikan dari daftar isian proyek.

Jadi, bersamaan dengan penyerahan DIPA semestinya juga diumumkan hasil audit inovasi belanja proyek berupa daftar proyek yang jauh dari inovasi. Untuk teknisnya, pemerintah melalui kementerian/lembaga terkiat berkewajiban merumuskan dan mengembangkan standar, prosedur, dan mekanisme perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi inovasi belanja proyek secara nasional sehingga tidak hanya belanja APBN/APBD menjadi kian efektif, efisien, dan produktif tetapi belanja proyek/kegiatan tersebut juga jadi kian inovatif.

Menjadi tugas baru pengguna anggaran dan instansi auditing untuk bergegas menerapkan prinsip belanja inovatif sehingga APBN/APBD kian prudent pada masa-masa mendatang dan memenuhi kebutuhan dan harapan semua pihak.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya