SOLOPOS.COM - Inayah saat membacakan puisi di Haul Gus Dur (Youtube)

Inayah Wahid membacakan puisi lucu saat Haul Gus Dur.

Solopos.com, SOLO – Inayah Wulandari, putri bungsu mantan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sukses mencuri perhatian banyak orang di acara peringatan kematian ke-7 sang ayah, Jumat (23/12/2016) malam.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Dalam acara tersebut, Inayah membacakan sebuah puisi khusus. Bukan tentang sang ayah, ia justru membacakan puisi berjudul Doa Seorang Milenial di Penghujung 2016 yang berisi kritikan tentang berbagai fenomena hits yang terjadi di masyarakat.

Video penampilan Inayah saat membaca puisi itu kemudian diunggah oleh akun Youtube Tio Arifiantoro, Senin (26/12/2016). Ditilik Solopos.com, Rabu (28/12/2016), dari situs Youtube, hingga pukul 21.00 WIB, video tersebut telah ditonton lebih dari 1.300 kali.

Dalam video tersebut, Inayah tampil dalam balutan busana berwarna putih lengkap dengan selendang yang dipakai untuk menutupi kepalanya.

“Doa seorang milenial di penghujung 2016, sebuah puisi sok kekinian. Ini hanya untuk kalangan mudam,” kata Inayah saat mengawali membacakan puisinya.

Dengan suara yang sedikit serak ditambah dengan gayanya yang jenaka, Inayah mulai membacakan isi puisi yang dibuatnya. “Zainudin nama tertulis di akta. Oke Zay nama akun media sosialnya. Sudah centang biru katanya tanda popularitas dan jaminan mutu. 34 Tahun usianya, 360.000 follower-nya, viewer video hampir sejuta. Buyer produk politik, hingga produk pemutih wajah, Juga rajin broadcast doa lewat telepon pintarnya,” lanjut Inayah.

Isi puisi dan gaya Inayah yang jenaka membuat jemaah yang mendengarkannya tertawa terpingkal-pingkal. Dalam puisi itu, Inayah menceritakan sosok Zay yang resah dengan kehidupan modern yang dijalaninya.

“Tapi malam ini ada yang beda. Ini bukan malam biasa. Malam ini hatinya resah, penuh dihalangi rasa bersalah, menguapkan tanya-tanya yang ia tak tahu jawabannya. Selepas sholat isya, bergeming Zay di atas sajadahnya. Kedua tangannya menengadah, air mata sedikit menggenang di sudut mata. Mulut komat kamit merapal doa,” kata Inayah saat membacakan puisinya.

Kemudian, dengan suara lirih, Inayah membacakan doa yang dibaca Zay, “ya Allah yang Maha Pengasih, berdosakah aku kalau tadi pagi makan Sari Roti? Roti itu ku beli karena kasihan. Pedagangnya renta usia 60-an. Sudah beberapa hari ini tidak ada yang mau beli begitu keluhnya. Sedang aku juga minum Equil tadi malam. Tapi sungguh saya minum tak sampai mabuk, ia melanjutkan, sambil jarinya menyentuh kartu anggota gerakan tolak mirasnya kelam.”

“Jay menahan tangis, suaranya tercekat seakan habis. Ya tuhanku sedannya, akankah aku masuk neraka? Karena kepada pacarku yang tak berjilbab aku tak pernah marah. Malah ku kagumi rambut legamnya. Sedangkan pahlawan uang tak berkerudung di uang rupiah itu mereka bilang salah,” tutur Inayah saat membacakan penggalan puisinya yang seolah mengkritik kehebohan publik atas dikeuluarkannya uang baru.

Kemudian, putri bungsu Gus Dur itu menyambung puisinya yang semakin menggelitik, “hati Zay makin runyam, perasaan takut makin mencekam, api neraka makin membayang. Ya Tuhanku yang berkuasa atas segala, rusak sudah akidahku. Karena aku tak sengaja pakai topi santa minggu lalu. Aku foto bersama kawan di bawah pohon natal yang diletakkan di pojok kantorku. Tapi aku sungguh tidak tahu, ku sangka itu produk budaya saja, buatan coca-cola katanya.”

Semua peristiwa yang digambarkan dalam penggalan puisi tersebut membuat sosok Zay dalam puisi Inayah merasa sedih dan bingung. “Sekarang aku kasihan pada emak, hancur pasti hatinya lihat akidah anaknya rusak. Matanya semakin basah, tetesnya turun hingga leher sambil menarik ingus ia melanjutkan. Ya Allah yang Maha Tahu, siapakah yang harus jadi panutanku? Ulama mana yang perlu ditiru? Ulama baru tapi wajahnya terkenal di tv, wajahnya seliweran sana sini yang ceramahnya sering membuatku merasa kalah karena jika tak sependapat dianggap salah?” lanjut Inayah.

“Atau kiai renta karena terlalu lama belajar agama dan jarang berfatwa? Tak terkenal tak masuk media, yang dakwahnya menenangkan, membuatku memandangmu penuh kecintaan? Tapi banyak yang menganggap hina. Pernyatannya malah ditanggapi dengan amarah, ndasmu begitu kata mereka,” tegas Inayah sebagai kritik atas nasib kiai di daerah yang kerap dihina.

Di akhir puisinya, Inayah menggambarkan sosok Zay yang semakin resah karena kehidupannya dipenuhi dengan amarah dan kebencian, “ya Allah Maha Pemurah, apakah damai tak bisa jadi nyata? Kenapa setiap membuka berita yang muncul soal amarah, kebencian, yang membabi buta? Sementara kau selalu bersabda bahwa kami adalah saudara rahmat bagi semesta. Tapi Suriah, Amerika, dan kini Indonesia mengatakan sebaliknya. Kenapa?”

Sebagai penutup, Inayah turut mengomentari fenomena om telolet om yang viral belakangan ini.

“Terisak-isak Zay seperti di sinetron drama, berguncang tubuhnya hingga lelah tangan yang tadi tengadah  mulai rebah. Badannya bersandar pada dipan. Hatinya menanti jawaban. Tiba-tiba telepon pintar menyala, notifikasi muncul di layarnya. Selarik senyum muncul di wajahnya, mungkin ini pertanda.  Bukankah Tuhan sering menjawab doa dengan tanda isyarat simbol atau mimpi. Bisa jadi ini jawaban yang dicari. Hati-hati dibuka notifikasi komentar dari seorang sahabatnya pada sebuah foto yang tadi siang dipostingnya. Begini bunyinya, om telolet om,” tutup Inayah mengakhiri pusisinya yang disambut oleh gelak tawa penonton.

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya