SOLOPOS.COM - Tayangan TV One tentang penayangan CCTV yang diputar di PN Jakarta Pusat, Rabu (10/8/2016) lalu. (Youtube)

Ada efek uji materi yang dilayangkan Setya Novanto ke MK beberapa waktu lalu dan bisa menguntungkan Jessica Wongso.

Solopos.com, JAKARTA — Kuasa hukum Jessica Kumala Wongso, Otto Hasibuan, kembali berupaya menggugat keabsahan rekaman CCTV Olivier Cafe dalam persidangan ke-25 di PN Jakarta Pusat, Senin (26/9/2016). Kali ini, Otto tak hanya menggunakan administrasi pengambilan rekaman itu, tapi mengaitkannya dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang dokumen elektronik.

Promosi Digitalisasi Mainkan Peran Penting Mendorong Kemajuan UMKM

“Saya bacakan keputusan MK. Untuk melindungi, demi kepastian hukum warga negara, maka penyadapan dan perekaman yang dilakukan bukan oleh penyidik atau berdasarkan permintaan penyidik, tidak dapat dibenarkan. Bagaimana pendapat saudara ahli?” kata Otto kepada ahli pidana dari UII, Prof Muzakir, di persidangan.

Gayung bersambut, Muzakir menerangkan hasil uji materi Pasal 5 Ayat 1 serta Pasal 44 huruf b Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang mengatur soal informasi atau dokumen elektronik sebagai alat bukti penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan yang sah. Menurutnya, dokumen dan informasi elektronik saat ini tak bisa lagi dipakai jika yang mengambil bukan aparat penegak hukum.

Ekspedisi Mudik 2024

“Ini tentang konstitusionalitas pasal 5, maka kesimpulan MK, dokumen informasi dan elektronik itu bisa jadi alat bukti jika dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaann penyidik atau penuntut umum,” katanya. Baca juga: Muzakir: Jika Motif Tak Terbukti, Pembunuhan Mirna Tak Disengaja.

Selama ini, rekaman CCTV Olivier Cafe menjadi bukti petunjuk yang memperlihatkan Jessica sebagai orang yang paling lama menguasai kopi. Rekaman itu pula yang administrasinya selalu dipermasalahkan oleh Otto, namun menjadi bahan analisis oleh sejumlah ahli psikologi, psikiatri, hingga kriminologi.

Menurut Muzakir, putusan MK tentang pasal yang mengatur dokumen elektronik tersebut bisa membuat rekaman CCTV tak bisa dipakai sebagai alat bukti. “Kalau dulu cukup dikatakan sebagai alat bukti yang sah, sekarang ada syaratnya. Yaitu, [CCTV] bisa jadi alat bukti apabila dilakukan atas permintaan penyidik atau penegak hukum,” katanya.

“Jadi kalau ada rekaman CCTV atau dokumen elektronik, penggunaannya tidak bisa jadi alat bukti kecuali atas permintaan penyidik. Jadi ini masalahnya soal intepretasi,” tegasnya. Baca juga: Dihadirkan Kubu Jessica, Keterangan Ahli Pidana Unibraw Malah Untungkan Jaksa.

Bahkan menurut Muzakir, rekaman CCTV itu tidak bisa dipakai lantaran kamera CCTV dipasang bukan oleh penyidik dan bukan atas permintaan penyidik. Termasuk dalam kasus ini, CCTV di Olivier Cafe dilakukan oleh pengelola kafe. “Jadi bukan hanya rekaman CCTV-nya, tapi memasang CCTV itu juga harus sesuai permintaan penyidik. Kalau dulu bebas, sekarnag direstriksi lagi.”

Belum lama ini, MK mengabulkan uji materi mantan Ketua DPR RI Setya Novanto terkait penafsiran Pasal 5 Ayat 1 serta Pasal 44 huruf b Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang mengatur soal informasi atau dokumen elektronik sebagai alat bukti penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan yang sah.

Dalam amar putusannya, Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyatakan, alat bukti rekaman yang bukan berasal dari aparat penegak hukum tidak bisa digunakan untuk proses penyidikan. Artinya, kalaupun digunakan untuk proses tersebut, harus seizin aparat penegak hukum.

“Informasi elektronik atau dokumen elektronik seperti yang diatur dalam undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai sebagai alat bukti untuk penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, atau penegak hukum lainnya,” kata Hakim Konstitusi Arief dalam membacakan putusannya di Jakarta, Rabu (7/9/2016) lalu.

Dikabulkannya permohonan Setya Novanto secara tidak langsung menunjukkan alat bukti berupa rekaman dari bekas Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin tidak bisa digunakan dalam proses penyelidikan dugaan pemufakatan jahat yang dilakukan oleh Novanto.

Adapun, permohonan tersebut disetujui oleh tujuh dari sembilan hakim konstitusi. Sedangkan dua lainnya menyatakan menolak permohonan tersebut. Dalam pertimbangannya, salah satu hakim konstitusi yakni Edmon Makarim mengatakan, dalam konteks Pasal 5, informasi elektronik dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah jika memenuhi syarat yaitu bisa diakses, dapat ditampilkan, dijamin kebutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya