SOLOPOS.COM - Kendaraan terjebak kemacetan panjang di ruas jalan tol Pejagan-Brebes Timur, Jawa Tengah, Minggu (3/7/2016) pagi. (JIBI/Bisnis/Dwi Prasetya)

Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) mencatat lima penyebab utama yang menjadi ‘biang kerok’ kemacetan maut di Pintu Tol Brebes Timur

 

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Harianjogja.com, JAKARTA – Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) mencatat lima penyebab utama yang menjadi ‘biang kerok’ kemacetan maut di Pintu Tol Brebes Timur atau yang kini dikenal dengan istilah ‘Brexit’ (Brebes Exit).

Seperti diketahui, berdasarkan data Kepolisian bahwa sejak 3 Juli-5 Juli tercatat 13 pemudik meninggal dunia di lokasi kemacetan Brebes dan sekitarnya.

Menurut Darmaningtyas, Ketua Bidang Advokasi MTI, lima penyebab utama kemacetan maut di pintu tol ‘Brexit’ adalah:

Pertama, keberadaan Jalan Tol Cipali sampai ‘Brexit’ ibarat ‘undangan’ bagi pengguna mobil pribadi untuk melintasinya.

Dalam kondisi normal, jarak Jakarta – Brebes lewat tol dapat ditempuh hanya dalam waktu empat jam. Ini tentu amat menarik bagi pemudik.

“Semua pemudik berasumsi sama, sehingga tidak berpikir jalan lain, karena semua pemilik mobil pemikirannya sama, maka jalan Tol ‘Brexit ‘seperti diguyur hujan mobil, sementara akses keluarnya terbatas, terjadilah sumbatan di pintu keluar, terutama di titik pertemuan dengan jalan alteri,” ujarnya, Senin (11/7/2016).

Kedua, kecenderungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) setiap kali membangun jalan tol baru, pemeliharaan jalan alteri diabaikan dan kurang dipromosikan, sehingga masyarakat tidak terdorong untuk menggunakannya, semua terdorong untuk menggunakan jalan tol.

Ketiga, dia melihat adanya perbedaan dengan rencana operasi angkutan lebaran (Renop Angleb) sebelum ada Tol Cipali yang memberi perhatian terhadap sejumlah jalur mudik, seperti jalur Pantura, tengah (Pamanukan ke kanan lewat Purwokerto), dan jalur selatan (lewat Nagrek), Renop Angleb 2015-2016 fokus ke Tol Cipali saja, kurang memberikan perhatian terhadap jalur Pantura, jalur tengah, dan jaur selatan.

“Wajar bila kemudian perhatian pemudik tertuju ke Tol Cipali hingga ‘Brexit’.”

Keempat, MTI memandang ketidakadaan Renop Angleb untuk membagi beban jalan, misalnya, semua angkutan umum dan sepeda motor melalui jalur Pantura, Tengah, atau Selatan, sedangkan tol hanya untuk mobil pribadi saja.

Akhirnya terjadi ketimpangan, karena jalan tol berbayar lumpuh total, sedangkan jalan alteri yang gratis justru lancar.

Kelima, Darmaningtyas berpendapat pengelola tol kurang cerdas dan kurang taktis.

“Bila cerdas, median jalan tol dalam jarak tertentu terutama mendekati exit didesain untuk memberi ruang putar balik pada kondisi darurat,” tegasnya.

Dalam kondisi normal U-turn dapat ditutup dengan papan portable, tapi dalam kondisi darurat dibuka untuk putar balik bagi calon pemudik yang akan membatalkan perjalanan atau mencari jalan alternatif.

Dengan U-turn dan kondisi lalu lintas ke arah Jakarta lengang, maka jika ada pemudik yang sakit, hamil, tua, atau anak-anak, dapat putar balik ke arah Cirebon. Dengan demikian hal-hal yang membawa petaka dapat diminialisir.

Kurang taktisnya pengelola jalan tol terlihat dari terlambatnya menerapkan kebijakan buka tutup di ujung masuk jalan tol, dan tidak adanya pengumuman berjalan ke arah Jakarta mengenai panjang kemacetan yang memungkinkan calon pemudik dapat mengambil langkah cerdas lebih awal, yakni meneruskan perjalanan atau balik/mencari jalur alternatif.

“Semestinya ketika kemacetan di tol sudah mencapai lebih dari lima kilometer, di ujung masuk sudah diterapkan kebijakan buka tutup, baru buka lagi setelah kemacetan terurai. Ini yang tidak dilakukan oleh pengelola jalan tol,” katanya.

Agar petaka ‘Brexit’ ini tidak terulang di masa mendatang, dia menyarankan agar pemerintah mengembangkan angkutan umum, baik antar-kota maupun di dalam wilayah (daerah) agar mudik untuk berikutnya tidak mengandalkan mobil pribadi, tapi menggunakan angkutan umum, baik bus, kereta api, maupun kapal laut.

Harapannya, bila semua ruas jalan Tol Trans Jawa tersambung, mulai dari Batang-Semarang, Semarang-Solo, Solo-Ngawi, dan Ngawi-Kertosono tidak akan ada kemacetan parah, adalah ilusi semata. Itu hanya akan memindahkan titik kemacetan saja.

“Tapi, kalau mengembangkan angkutan umum, bus, kereta api, maupun kapal laut,  di daerah juga tersedia layanan angkutan umum yang aman, nyaman, dan selamat untuk melakukan silaturahmi, tentu akan berdampak signifikan terhadap penurunan penggunaan mobil pribadi.”

Ke depan, lanjutnya, pemerintah juga harus melakukan pembagian beban jalan, misalnya, sepeda motor dan semua angkutan umum melalui jalur non-tol, sedangkan tol hanya untuk mobil pribadi. Pemerintah harus menjamin jalan non-tol sebagus jalan tol dan menjamin kelancaran lalu lintas.

Dengan demikian, apabila ternyata jalan non-tol lebih lancar, akan menjadi promosi gratis bagi pemudik menggunakan angkutan umum di masa masa mendatang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya