SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, KLATEN — Usaha Ragil menjalani bisnis sup terus berkembang. Saat dirinya mulai memiliki sekitar 3-4 cabang pada 2004, hal itu memotivasi kakak-kakaknya untuk menggeluti bisnis kuliner keluarga.

Ragil memerinci, misalnya, kakak sulung Sihono “Sipit”, 51, kini punya 10 cabang. Lalu nomor dua, Sih Mulyoto, 49, punya 30 cabang. Sedangkan, Triyono, 46, punya delapan cabang, dan Ragil sendiri punya 15 cabang. Cabang Sop Ayam Pak Min bisa ditemui di Bogor, Bekasi, Cirebon, Cianjur, Malang, Semarang, Jogja, Solo, Karanganyar, dan Boyolali.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Kami enggak ada persaingan, tapi saling koordinasi dan koreksi. Kalau rasanya ada yang kurang, kami betulkan. Kalau kakak buka cabang di suatu kota, yang lain enggak ada yang buka di kota yang sama,” terang Ragil, saat ditemui Solopos.com, belum lama ini.

Ragil menceritakan untuk menjaga loyalitas pelanggan, perlu menjaga kualitas rasa, menu, dan pelayanan. Ia terbiasa berkeliling ke cabang-cabang sekadar mencicipi apakah sup memiliki cita rasa yang sama atau tidak. “Biasanya saya sepekan keliling cabang lalu sepekan lagi di rumah,” tutur dia.

Ada pengalaman berkesan saat ia belajar membikin sup bersama mendiang ayahnya. Saat di bangku SMA, Ragil mengambil jurusan A-2 (semacam jurusan IPA) sehingga paham soal reaksi kimia. Saat itu, ia melakukan eksperimen dengan membuat resep sup ayam mengikuti rumus kimia.

“Saya mencoba setiap hari. Hari ini, misalnya, 10 liter air ditambah bawang putih 3-4 kilogram. Tapi ternyata tiap hari rasanya berbeda. Bapak saya bilang, ternyata kunci rasa itu di lidah, bukan timbangan bumbu,” kenang dia.

Salah satu hal yang menjadi alasan adalah tingkat kematangan sekarung bawang putih tidak sama sehingga memengaruhi rasa. Begitu pula dengan sebungkus garam memiliki rasa bervariasi. Bahkan, di setiap warung memiliki kadar pH air yang juga berbeda sehingga berpengaruh terhadap jumlah bumbu dan garam.

“Setiap daerah juga memiliki selera berbeda soal masakan. Sunda, misalnya, menyukai agak asin. Kalau Jawa agak manis, sedangkan di Jawa Timur agak kurang asin. Kami terus ikuti selera pelanggan agar jangan sampai lari,” beber dia.

Usaha Sop Ayam Pak Min kini dijalankan oleh keempat anaknya setelah Tugimin meninggal dunia pada 2003, disusul Wagiyem pada 2014. Ada sebuah falsafah yang Ragil pegang sehingga membikinnya betah menekuni usaha kuliner.

“Prinsipnya, tamasya atau piknik tapi pulang bawa uang. Saya ke Bogor, Cirebon, Malang, ngecek warung sekalian piknik ke masjid kuno atau wisata ziarah. Tapi pulangnya bawa uang ” ujar dia, seraya tertawa menutup obrolan siang itu.

Salah satu pelanggan Sop Ayam Pak Min, Dian Purnama Sari, 31, warga Batur, Ceper, mengatakan selama Ramadan lebih sering membeli sup ayam. Bagi Dian, Sop Ayam Pak Min memiliki daging yang empuk dan rasa kaldu yang kuat dibanding sup-sup lainnya. “Rasanya gurih juga dan harganya terjangkau. Saya paling suka bagian berutu karena empuk,” ujar Dian, di sela-sela mengambil sup pesanannya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya