SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, MAGETAN Gunung Lawu dipadati pendaki menjelang malam 1 Sura hingga sebulan penuh. Ribuan orang menepi dan bertapa di puncak Lawu selama bulan Sura. Tahukah Anda apa yang para pendaki lakukan di Gunung Lawu?

Ada banyak mitos yang berkembang di puncak Lawu. Tradisi bertapa untuk menyucikan diri di puncak Lawu telah dikenal turun-temurun oleh masyarakat Jawa/ kepercayaan terhadap kekuatan magis di Gunung Lawu masih sangat kental.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dikutip dari Okezone, Sabtu (31/8/2019), mendaki Gunung Lawu di malam 1 Sura merupakan kebiasaan masyarakat lokal. Hal itu dilakukan sebagai wujud pelestarian tradisi leluhur. Biasanya, para pendaki akan berziarah ke tempat sakral hingga bersemedi dan berdoa meminta kehidupan yang lebih baik.

Gunung Lawu berada di tiga kabupaten, Magetan dan Ngawi di Jawa Timur serta Karanganyar, Jawa Tengah. Gunung setinggi 3.265 mdpl itu memiliki lima jalur pendakian. Dua di karanganyar, yakni Cemoro Kandang dan Candi Cetho.

Sedangkan dua jalur pendakian Gunung Lawu di Magetan, yakni Cemoro Sewu dan terbaru di Singolangu yang merupakan petilasan Raja Brawijaya. Jalur terakhir berada di Jogorogo, Ngawi, Jawa Timur.

Warga yang hendak melakukan pertapaan dan ritual harus berjuang untuk menuju puncak Lawu. Lokasi yang biasanya digunakan sebagai tempat pertapaan maupun menjalankan ritual yakni di Hargo Dalem.

Menurut legenda, Hargo Dalem merupakan petilasan Raja Majapahit Brawijaya V saat melakukan moksa. Kepala Dusun Cemoro Sewu, Plaosan, Magetan, Agus Suwandono, mengatakan petilasan Hargo Dalem berada di Pos 5 atau sekitar 200 meter dari puncak Lawu.

Lama waktu pertapaan beragam, ada yang sehari, sepekan, 15 hari, bahkan ada yang sebulan berada di Hargo Dalem. Sura dianggap waktu paling baik untuk melakukan pertapaan di petilasan Brawijaya V itu.

Para petapa biasanya membawa sesajen seperti bunga tujuh rupa hingga dupa. Bahkan ada warga yang membawa kambing ke Hargo Dalem. Kambing itu disembelih dan dimasak kemudian disantap di puncak.

“Beberapa tahun lalu, ada warga yang membawa sapi ke Hargo Dalem. Tapi karena sapi tidak kuat melanjutkan perjalanan akhirnya disembelih di bawah,” terang Agus Suwandono seperti dikutip Madiunpos.com.

Selain membawa hewan, ada juga warga yang ke Hargo Dalem membawa pusaka seperti keris. Ritual itu dilakukan untuk mencari kewibawaan, untuk mencari tolak bala, atau ketenangan batin.

“Dulu raja Brawijaya V kan moksa di Hargo Dalem. Raja Brawijaya ingin meninggalkan duniawi dengan melakukan perjalanan spiritual di Lawu. Begitu juga warga, ada yang ingin mencari ketenangan batin,” ujar dia.

Agus Suwandono menceritakan orang yang ingin melakukan perjalanan spiritual di Lawu harus membawa bekal banyak karena lama waktu untuk bertapa. Namun, kini hal itu tak perlu dilakukan lagi. Warga hanya perlu membawa uang karena di puncak Lawu ada warung yang menyediakan logistik.

Menurut Agus Suwandono, sebagian besar petapa yang melakukan ritual di puncak Lawu datang dari wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta. Namun, ada mitos yang menyebutkan anak keturunan pemimpin Cepu dan Bojonegoro pada zaman Majapahit tidak boleh melakukan perjalanan spiritual ke Hargo Dalem.

“Ada mitos orang Cepu dan Bojonegoro tidak boleh naik ke Lawu. Tapi tidak semua orang Cepu dan Bojonegoro dilarang. Itu ada ceritanya,” tambah dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya