SOLOPOS.COM - Foto profil yang dipakai akun Dwi Estiningsih. (Istimewa/Facebook)

Dwi menulis pernyataannya di akun media sosial seperti Twitter hingga Facebook.

Solopos.com, JAKARTA – Kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Dwi Estiningsih harus berurusah dengan polisi lantaran pernyataanya soal “pahlawan kafir.” Ibu empat anak ini menulis pernyataan kontroversial di akun Twitternya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kasus ini berawal saat Dwi melalui akun Twitter-nya, meretweet sebuah artikel berjudul “Tiada Pahlawan Imam Bonjol di Dompet Kami Lagi” pada Senin (19/12/2016) lalu. Gambar Imam Bonjol di uang Rp 5.000 di uang rupiah baru saat ini memang digantikan oleh sosok guru besar Nahdlatul Ulama (NU) Dr KH Idham Chalid.

Dwi mengkritisi Bank Indonesia (BI) dan pemerintah yang baru saja menerbitkan uang rupiah desain baru. Dia mengkritik 12 pahlawan yang gambarnya terpampang di uang rupiah baru. Dia menilai komposisi pahlawan di uang baru itu dari sisi agama tidak ideal, karena tidak mengakomodir Islam sebagai mayoritas.

Luar biasa, negeri yang mayoritas Islam ini, dari ratusan pahlawan, terpilih 5 dari 11 adalah pahlawan kafir #lelah,” tulisnya di akun Twitter, @estianingsihdwi, Rabu (21/12/2016). “Iya sebagian kecil non muslim berjuang, mayoritas pengkhianat. Untung saya belajar #sejarah,” tambahnya.

Alumnus Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada yang kini berprofesi sebagai psikolog itu menuturkan kehidupan pribadi keluarganya sudah sangat Pancasilais. “Keluarga saya, bude-pakde saya nonmuslim itu biasa. Keluarga ibu saya juga Tionghoa, jadi batas-batas toleransi saya paham betul,” katanya.

Sementara itu, dalam Facebooknya, Dwi Estiningsih pun akhirnya memberikan klarifikasi soal ciutannya yang menuai kontroversi. “Tak ada tendensi melecehkan siapapun. Mereka saya hormati sebagai pahlawan. Tidak ada ujaran menghina pahlawan, kalimat itu tidak ada yang salah karena yang dikatakan penghianat adalah orang kafir yang berkhianat, BUKAN pahlawan kafir,” tulis Dwi Estiningsih.

Akibat kicauannya tersebut Dwi Estiningsih pada Rabu (21/12/2016) dilaporkan ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Metro Jaya oleh Forum Komunikasi anak Pejuang Republik Indonesia (Forkapri).

Seorang anak pejuang, Ahmad Zaenal Efendi merasa terhina dengan pernyataan Dwi. “Kami sangat terluka, kebetulan kami keluarga pejuang. Kami lihat ini ada upaya adu domba memecah belah dari Sabang sampai Merauke dengan ujaran kebencian dan SARA,” ujar Ahmad, di Mapolda Metro Jaya, dikutip Solopos.com dari Antara, Rabu (21/12/2016).

Ahmad melaporkan Dwi yang merupakan pendidik di Yogyakarta dengan nomor polisi LP/6252/XII/2016/PMJ/Dit.Reskrimsus, terkait Pasal 28 ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016, tentang perubahan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Belakangan, Dwi diketahui telah meminta maaf. Kapolda Metro Jaya Irjen M Iriawan pelapor Achmad mengaku menerima permintaan maaf. Tetapi Zaenal menginginkan proses hukum terus berjalan.

“Kita akan pastikan dulu ke pelapor, tapi dari tipikal yang bersangkutan kemungkinan akan mencabut menurut analisis saya. Saya juga berharap kalau sudah minta maaf ya, yang namanya manusia kalau memaafkan dengan tulus mungkin bisa dicabut,” kata Iriawan, seperti dikutip Solopos.com dari Detik, Jumat (23/12/2016).

Pembelaan Dwi

Meski banyak dipersoalkan, Dwi rupanya enggan menarik pernyataannya. Dia bahkan menulis pembelaan yang ditegaskannya dalam unggahan di akun media sosial miliknya.

Begini penjelasan lengkap Dwi, soal kicauannya;

Bismillahirrahmanirrahiim.

Berawal dari heboh di media sosial tentang uang baru, sudah banyak ulasan dari A – Z dari para pakar dan pegiat sosmed. Apa yang saya sampaikan dalam tweet saya hanyalah hal yang sederhana dan mudah dicerna. InsyaAllah.

Berikut ini riwayat tweet, supaya netizen memahami dari sumber pertama, tidak dipotong-potong.
Bermula dari tweet #1: “Tiada Tuanku Imam Bonjol di Dompet Kami Lagi”

Tweet #2, menanggapi tweet 1, memperjelas bahwa gambar yang dipilih dalam uang baru hampir 50% kafir (sebutan non muslim dalam kitab suci kami, Al Qur an), bukan pembagian yang adil dibandingkan mayoritas penduduk Islam di Indonesia (85% muslim). Keprihatinan yang menurut saya sudah pada tempatnya.

Tweet #3, komentar netizen menanggapi tweet 2.
Tweet #4, menanggapi komentar netizen di tweet 3. Mengingatkan kembali pelajaran PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) SMP. Tertanam dalam benak bu guru menyampaikan penjajah Belanda membawa misi Gold Glory Gospel, artinya pada waktu itu yang mengikuti misi dan ajaran Belanda memang berseberangan dengan perjuangan rakyat.

Namun ada kalangan kafir yang menentang Belanda, jumlahnya minoritas dari kalangan mereka.
Tak ada tendensi melecehkan siapapun. Mereka saya hormati sebagai pahlawan. Tidak ada ujaran menghina pahlawan, kalimat itu tidak ada yg salah karena yg dikatakan penghianat adalah orang kafir yang berkhianat, BUKAN pahlawan kafir.

Tweet #5, saya kembali menegaskan bahwa saya mengikuti ujaran kitab suci pedoman panduan hidup saya.
Istilah kafir diambil dari Al Quran yaitu tidak beriman kepada Alloh SWT dan Rasulullah SAW, dimaksudkan pada orang-orang non muslim.

Mohon dibaca, dicerna dan dipahami. Tidak ada hinaan dan celaan dalam tweet saya seperti tweet ujaran dari para pembully saya. Demikian.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya