SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, SOLO – Ekshibisionisme alias teror alat kelamin terhadap para siswi yang terjadi di Karawang, Jawa Barat dan Mojokerto, Jawa Timur Maret 2019 bukan kali pertama terjadi. Pada 2018 lalu, hal serupa dialami mahasiswi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta di lingkungan kampusnya. Pelaku teror alat kelamin di Semarang, Jawa Tengah berhasil dibekuk polisi pada 2017.

Tiga kasus teror alat kelamin di atas hanyalah yang terungkap ke publik dan berhasil diusut. Masih banyak kasus serupa yang belum terungkap. Penyebabnya bisa karena tidak ada yang melaporkan ke kepolisian atau kurang pedulinya warga sekitar terhadap kasus ini.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Teror alat kelamin akhir-akhir ini amat meresahkan. Masyarakat pun merasa bingung atas tindakan para pelaku teror yang terkesan nekat karena memamerkan alat kelaminnya di tempat umum.

Dikutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jumat (23/8/2019) kelainan atau ketidakwajaran yang ditandai dengan kecenderungan memperlihatkan hal-hal yang tidak senonoh, seperti alat kelamin kepada orang lain untuk pemuasan diri disebut sebagai ekshibisionisme.

Buku Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi keempat (DSM-IV-TR) dalam Minddisorders mengklasifikasikan ekshibisionisme sebagai bagian dari parafilia alias ketertarikan seksual menyimpang. Beberapa kasus ekshibisionisme menunjukkan adanya aktivitas masturbasi oleh ekshibisionis [pelaku ekshibisionisme] ketika menunjukkan alat kelaminnya ke orang lain.

Sebagian ekshibisionis mengharapkan reaksi terkejut atau cemas dari para targetnya. Namun, ekshibisionis lain berfantasi sang target tergugah secara seksual karena perilakunya. Ada banyak faktor yang menyebabkan individu menjadi ekshibisionis.

Faktor biologi yang berkaitan dengan kelebihan hormon testosteron sehingga memicu perilaku seksual yang menyimpang. Masa tumbuh kembang anak yang selalu diperlakukan kasar atau diabaikan oleh keluarganya meningkatkan kemungkinan menjadi ekshibisionis.

Adanya perlakuan berbeda kepada anak laki-laki oleh sang ibu membuatnya merasa tidak diinginkan lawan jenis, begitu pula dengan anak perempuan. Psikiater (dokter kejiwaan) dari Harvard University, Amerika Serikat menemukan pasien parafilia ternyata mengalami masa kecil dengan attention deficit hyperactivity disorder (ADHD).

ADHD merupakan gangguan perkembangan dalam peningkatan aktivitas motorik hingga melakukan hal tidak lazim dan cenderung berlebihan saat kanak-kanak, seperti sering berkata-kata tanpa berpikir serta suka memukul teman atau saudaranya.

Dokter Guy E. Brannon, psikiater Amerika Serikat, dalam jurnal kesehatannya menyebutkan tidak ada gen yang berkaitan dengan risiko mengidap ekshibisionisme atau parafilia lainnya. Adanya kelainan kromosom seperti sindrom Klinefelter (laki-laki memiliki kelebihan kromosom X dan mandul) kadang dianggap berisiko mengidap parafilia. Namun, belum ada penelitian lebih lanjut mengenai anggapan tersebut.

Berdasarkan buku DSM edisi ketiga (DSM-III-R, 1987) gejala ekshibisionisme terbagi menjadi empat tingkatan. Saat seseorang berfantasi memamerkan tubuhnya tapi jarang atau tidak pernah melakukannya secara nyata maka orang itu berada dalam tingkat ringan.

Seseorang yang terkadang memamerkan tubuhnya (sekitar tiga target) dan mulai merasa kesulitan mengendalikan perilakunya, ia berada di tingkat moderat. Bila seseorang sudah memamerkan tubuhnya kepada lebih dari tiga orang dan tidak bisa mengontrol perilakunya sama sekali maka dia masuk dalam tingkat parah.

Tingkatan berikutnya merupakan yang terparah, katastropik. Seseorang yang sudah berada dalam tingkat katastropik berarti mengidap banyak parafilia, seperti ekshibisionisme, masokisme [kepuasan seksual yang dicapai jika disakiti], dan sadisme [dicapai dengan menyakiti pasangan]. Bila pengidap kelainan seksual sudah mencapai tingkat ini dan tidak ditindaklanjuti, maka dapat mengakibatkan cedera parah hingga kematian.

Hampir semua kasus ekshibisionisme melibatkan pria. Namun, beberapa psikiater mencatat perilaku wanita yang termasuk dalam ekshibisionisme. Contohnya beberapa wanita yang membuka pakaian di depan jendela terbuka seperti mendorong orang lain untuk melihat mereka. Selain itu, wanita mengenakan gaun berpotongan rendah yang digunakan oleh model juga termasuk ekshibisionisme.

Dilansir laman Psychology Today, kebanyakan ekshibisionis tidak melakukan pengobatan atas keinginan sendiri kecuali mereka tertangkap dan diharuskan berobat oleh pihak berwenang, seperti polisi. Padahal, perawatan ekshibisionisme sedari dini sangat dianjurkan.

Psikiater menyarankan memberi contoh berperilaku baik efektif untuk menangani ekshibisionisme. Para ekshibisionis dapat diarahkan untuk melakukan kegiatan positif atau berkarya guna mengendalikan dan menghilangkan kecenderungan memamerkan alat kelamin kepada orang lain.

Terapi perilaku keseharian kepada para ekshibisionis dapat mengidentifikasi penyebab mereka mengidap ekshibisionisme. Pendekatan psikoterapi (terapi kejiwaan) lain yang dapat dilakukan, yaitu pelatihan relaksasi dan empati.

Obat-obatan yang menghambat hormon testosteron karena menurunkan hasrat seksual juga dapat diberikan. Obat anti depresi dan penghilang gangguan mood efektif mengendalikan hasrat seksual para ekshibisionis. Pemberian terapi dan obat-obatan tersebut harus selalu diawasi oleh psikiater. (Enggar Thia Cahyani/Solopos.com)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya