SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Sukses menggelar konser pertama di Taman Ismail Marzuki (TIM), Rabu (13/8) lalu, Gregorius Djaduk Ferianto, alias Djaduk Ferianto, kembali menggelar pertunjukan serupa di Jogja. Seperti apa penampilannya?

Tepat pukul 20.00 WIB, Minggu (17/8/2014), panggung Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta (TBY) yang semula gelap mendadak benderang. Kemudian, petikan gitar Arie Senjayanto terdengar, disusul tiupan seruling Djaduk yang menandai dibukanya konser Gendhing Djaduk. Repertoar yang berjudul Piknik ke Cibulan membuka konser penanda 50 tahun usia Djaduk Ferianto. Pada repertoar itu, Djaduk yang berbaju dan berikat kepala merah dengan fasih bernyanyi dengan irama Sunda. Repertoar yang digubah Djaduk pada 1979 itu sejatinya memang lagu Sunda, yang merupakan milik Dariah, artis asal Indramayu, Jawa Barat.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Berikutnya, Djaduk dan enam kawannya, Purwanto (saron), Sukoco (kendang), Denny (drum), Indra (keyboard), Arie (gitar) dan Dhanny (bass) menghadirkan Djawa Dwipa. Repertoar itu bercerita mengenai semakin malunya orang Jawa menunjukkan identitas kejawaannya. Disambung ke repertoar ketiga yang berjudul Bethari. Melodi dan tempo yang lebih lambat mendominasi repertoar ini. Sebagai pengisi melodi, Djaduk memainkan repertoar tersebut dengan permainan serulingnya.

Sekitar enam menit kemudian, Djaduk dan Kua Etnika melanjutkan repertoar keempat, berjudul Pesisir. Sebelum melanjutkan repertoar berikutnya, Djaduk berkomunikasi dengan penontonnya. Djaduk banyak bercerita tentang proses pembuatan komposisi berjudul Angop yang akan segera dibawakan.

“Saya terinspirasi dari wakil rakyat yang suka menguap ketika rapat. Menurut saya, menguap adalah batas transisi dalam tubuh manusia. Ini sangat luar biasa,” imbuh Djaduk.

Berikutnya, Swarnadipa atau yang diterjemahkan oleh Djaduk sebagai bentuk ekspresi syukurnya pada anugerah alam Indonesia yang luar biasa komplet. Tempo kian meninggi ketika Djaduk memainkan komposisi Barong. Dalam prolognya, Djaduk mengatakan komposisi itu terinsipirasi dari kekagumannya atas gerak tangan yang cepat dua penari. Perpaduan kendang dan drum menghentak membuat irama komposisi itu bertambah rancak.

Kekaguman Djaduk akan Maluku pun juga mewarnai salah satu karyanya yang diberinya judul Molukken. Seusai Molukken dimainkan, kakak kandung Djaduk, Butet Kertaradjasa, didapuk naik ke atas panggung. Selain berbasa basi mengucapkan selamat kepada adik tercintanya, ia kemudian mengenalkan semua personel Kua Etnika kepada ratusan penonton.

“Saya heran, umur 50 tahun kok dirayakan. Bukannya itu sebenarnya sudah mendekati waktunya ya?” celetuknya.

Seusai pertunjukan, Djaduk menuturkan di usianya yang telah mencapai 50 tahun ini, ia ingin belajar kembali untuk menjadi manusia Indonesia dari sejarah panjang nusantara melalui musik.

“Saya bisanya musik. Kalau saya bisa menulis, mungkin saya akan menulis,” ucapnya.

Djaduk pun sedikit berkomentar. Menurut dia saat ini di Indonesia, satu-satunya yang masih bisa dipercayainya adalah musik. Itulah kenapa akhirnya, hanya melalui musik, menurut Djaduk, komunikasi menjadi sangat penting.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya