SOLOPOS.COM - Para pekerja di kerajinan kuningan Krisna, di Juwana, Pati, Jumat (16/3/2018). (Farida Trisnaningtyas/JIBI/Solopos)

UKM binaan Dinkop UKM Jateng hadapi berbagai tantangan.

Solopos.com, SEMARANG—Sejumlah usaha kecil menengah (UKM) di Jawa Tengah terbilang menjanjikan baik di pasar domestik maupun luar. Akan tetapi, ada berbagai peluang hingga tantangan yang mesti mereka hadapi agar produk-produk yang dihasilkan diminati masyarakat serta bernilai jual tinggi.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Tantangan itu mulai dari ketersediaan serta keterjangkauan harga bahan baku, serbuan barang impor yang diproduksi massal, hingga pengemasan produk supaya menarik pembeli.

Hal inilah yang terungkap saat belasan jurnalis di Jawa Tengah berkesempatan berkunjung ke sejumlah sentra UKM unggulan yang menjadi binaan Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Jawa Tengah, Kamis-Sabtu (15-17/3/2018). Jurnalis visit ini menyasar ke sebanyak lima kabupaten di pesisir pantai utara (Pantura). (baca juga: Jurnalis Jateng Visit ke UKM Binaan Dinkop UKM Jateng di Pantura, Ini Hasilnya)

Sejumlah UKM yang dikunjungi  adalah kerajinan Zem Silver di Mijen, Kebonagung, Demak; sentra pengasapan ikan di Bonang, Demak; sentra kain tenun di Troso, Jepara; sentra ukir di Mulyoharjo, Jepara; kerajinan bordir di Karangmalang, Kudus; kerajinan biola bambu di Dawe, Kudus; kerajinan kuningan di Juwana, Pati; dan sentra batik tulis di Lasem, Rembang.

Para pekerja menyelesaikan perhiasan dari limbah logam di Zem Sliver, Demak, Kamis (15/3/2018). (Farida Trisnaningtyas/JIBI/Solopos)

Para pekerja menyelesaikan perhiasan dari limbah logam di Zem Sliver, Demak, Kamis (15/3/2018). (Farida Trisnaningtyas/JIBI/Solopos)

Di Zem Silver di Desa Mijen, Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Demak, milik Ershad, limbah logam yang mayoritas berasal dari limbah elektronik dipermak menjadi sesuatu yang indah serta memiliki nilai jual tinggi.

Para jurnalis pun diajak untuk melihat lebih dekat bagaimana limbah logam yang tampak tak berharga itu disulap menjadi perhiasan berdaya jual tinggi.

Ershad semula merupakan pilot sebuah maskapai penerbangan. Ia kemudian memutuskan banting setir menjadi pengusaha dengan menjadi perajin perhiasan logam. Usaha ini dirintisnya sejak lima tahun lalu dengan modal awal Rp1 miliar.

Ia memberdayakan warga di lingkungan tempat tinggalnya. Setidaknya ada 46 kepala keluarga (KK) yang bisa mandiri karena kerajinan logam ini. Kini omzetnya sampai Rp 300 juta perbulan dengan 50 orang pekerja.

Sayang, tingginya permintaan pasar akan perhiasan logam ini belum bisa mereka penuhi dengan banyaknya jumlah produksi. Hal ini lantaran kurangnya peralatan untuk mempermak logam-logam tersebut.

“Mereka yang semula tidak punya penghasilan jadi ada pemasukan. Selain itu, mereka juga bisa menggarapnya dari rumah. Di sisi lain, banyak permintaan untuk alat rumah tangga, tetapi jumlah produksi kami masih kurang,” tuturnya.

Menurutnya, soal produksi yang masih kurang ini lantaran terganjal peralatan. Ia mengaku tak masalah jika harus menaikkan jumlahnya. Akan tetapi, dengan catatan perlengkapan untuk memproses limbah logam ini komplet serta memadai.

Sejumlah pameran pun sempat diikutinya yang kemudian mendatangkan berkah bagi usahanya. Zem Silver pun dilirik Galeri Nusantara Jakarta. Bahkan hasil kerajinannya akan digunakan di ajang bergengsi Miss Universe.

“Permintaannya itu tinggi baik untuk lingkup domestik atau luar, tetapi produksinya belum banyak. Di samping itu, kemasan juga harus diperhatikan agar nilai jualnya naik,” kata perwakilan Galeri Nusantara Jakarta, Adi Wijaya.

Di sisi lain, Kepala Dinas Perdagangan Demak, Siti Zuarin, mengatakan pihaknya turut membantu pembiayaan dari Perbankan hingga mengikut sertakan UKM di sejumlah pameran.

“Kami bantu soal Perbankan. Ada pula penyaluran corporate social responsibility [CSR] dari Perbankan. Selain itu, kami ikut pasarkan produk-produk ke pameran-pameran,” katanya.

Di samping itu, tengkulak ikan masih jadi momok bagi warga yang punya pengasapan ikan di sentra pengasapan ikan Asap Indah di Wonosari, Bonang, Demak.

Berdiri sejak 2010 lalu, sentra pengasapan ikan yang terdiri dari 76 petak atau lapak mampu memproduksi 10 ton ikan asap per hari. Ikan asap ini banyak disetor ke warung makan hingga hotel ke sejumlah daerah di Jateng, Jakarta, dan sebagainya.

Sedangkan ikan yang diasap, antara lain ikan laut manyung, tongkol, pari, makarel. Sementara, ikan air tawarnya adalah lele. Di tengah susahnya mengendalikan harga ikan karena tergantung pasokan tengkulak, pengasapan ini melakukan perubahan.

Salah satunya adalah penggunaan bonggol jagung untuk bahan bakar pengasapan ikan. Ini dinilai lebih murah serta membuat rasa ikan lebih enak.

“Ikan banyak datang dari berbagai daerah di Indonesia. Kalau makarel dari China. Model pasokannya masih drop dari tengkulak sehingga kami tidak bisa main harga,” tutur Ketua Kelompok Pengasapan Ikan Asap Indah Demak, Juyamin.

Saat di sentra kerajinan tenun ikat di Troso, Jepara, perajin pun mengeluhkan ketergantungan bahan baku benang yang mesti impor. Di samping itu, alat pintal harganya juga tergolong mahal.

Tak hanya itu, para perajin tenun ikat di Jepara juga mesti menghadapi serbuan kain printing impor yang dibanderol dengan harga murah. Meskipun demikian, salah satu perajin sekaligus pemilik tenun ikat Limo, Abdul Jamal, optimistis kain buatannya bisa bersaing di pasaran.

“Kendala kami memang masih berkutat dengan bahan baku. Harganya tidak stabil karena ini mesti impor. Meskipun begitu, kualitas kain kami terjaga. Apalagi produksi kami lakukan menggunakan alat tenun bukan mesin [ATBM],” katanya.

Pekerja membordir kain di kerajinan bordir Dahlia di Kudus, Jumat (16/3/2018). (Farida Trisnaningtyas/JIBI/Solopos)

Pekerja membordir kain di kerajinan bordir Dahlia di Kudus, Jumat (16/3/2018). (Farida Trisnaningtyas/JIBI/Solopos)

Lain halnya dengan kerajinan bordir Dahlia di Karangmalang, Kudus.  Usaha milik Sa’adah ini juga berkembang dengan memberdayakan warga di sekitarnya, khususnya para ibu rumah tangga.

Uniknya, bordir Dahlia ini memang sengaja untuk tak banyak mempublikasikan produknya melalui dunia maya demi menjaga kekhasan motif bordir buatannya.

“Ibu-ibu itu kan enggak suka kalau bajunya dikembari, jadi ya biar khas saya enggak mau jual bebas. Selain itu, saya juga tidak mau motif khas saya dijiplak,” ungkapnya.

Warga sekitar khususnya ibu rumah tangga kerap membawa orderan bordir ke rumah mereka. Namun demikian, produksi mereka acap tersendat lantaran para ibu itu harus menggarap sawah. Motifnya yang khas membuat selembar kain bordir ini dibanderol harga ratusan hingga jutaan rupiah.

Jika biasanya biola itu dibuat dari bahan kayu cemara, biola buatan warga Desa Japan RT 4 RW 3, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus, Ngatmin, terbilang unik dan kreatif.

Ngatmin yang mengaku hanya tamatan sekolah dasar ini sukses membuat biola dari bahan bambu. Menurutnya, bambu yang dipakai dari jenis petung untuk sopran, dan bahan bambu wulung untuk tenor.

Ia terinspirasi untuk membuat biola dari bambu setelah sempat bekerja di Bogor. Menurutnya, bambu mudah didapat. Ini sekaligus sebagai komitmennya untuk turut melestarikan kayu.



“Di lereng Muria ini bambu banyak. Awalnya saya coba buat dan gagal. Baru percobaan keempat saya bisa membuatnya. Selain itu, saya ingin mengangkat kasta bambu yang selama ini dianggap remeh,” ungkapnya.

Para pekerja di kerajinan kuningan Krisna, di Juwana, Pati, Jumat (16/3/2018). (Farida Trisnaningtyas/JIBI/Solopos)

Para pekerja di kerajinan kuningan Krisna, di Juwana, Pati, Jumat (16/3/2018). (Farida Trisnaningtyas/JIBI/Solopos)

Sementara di Juwana Pati, kerajinan kuningan Krisna milik Riko Agus Susanto terus melebarkan sayap. Berdiri sejak 1963, usaha yang kini dipegang oleh generasi kedua dari Krisnawan Susanto ini cukup diminati pasar luar negeri.

Produk andalannya adalah lampu gantung. Permintaan pun banyak datang dari hotel dan kafe-kafe. Bahkan, dulunya ia adalah langganan Presiden kedua Indonesia, Soeharto.

“Pak Harto kalau pesan ke sini. Rumah Bu Tien [Istri Soeharto] di Kalitan itu lampunya dari sini. Soal bahan baku kadang materialnya memang agak susah. Memang ada pengepul, tapi kami mesti seleksi agar kualitasnya terjaga,” paparnya.

Kegiatan jurnalis visit ini pun berakhir dengan kunjungan ke sentra batik Lasem di Rembang. Ketua Paguyuban Koperasi Batik Lasem, Maksum, bercerita optimismenya untuk kian mengenalkan batik produksi wilayahnya.

Menurutnya, batik Lasem punya ciri khas. Selain memiliki warna yang menyala, batik Lasem juga bermotif khas, seperti latoan, watu kricak, dan batik tiga negeri. Di samping itu, batik Lasem terus menjaga kualitas dengan hanya menghasilkan batik tulis.

“Ke Lasem itu kaya akan sejarah. Batik ini perpaduan antara China dan Jawa. Kami inginnya Lasem semakin dikenal luas,” jelas pemilik batik tulis Dampoawang ini.

Sementara itu, Kasi Pemasaran Dinkop UKM Jateng, Sucahyo, mengatakan kegiatan jurnalis visit ini bertujuan untuk kian mengenalkan produk UKM Jawa Tengah kepada publik. Selain itu, jurnalis juga bisa melihat langsung mulai dari proses produksi hingga packaging.



“Kami ingin produk-produk unggulan UKM di Jateng ini semakin dikenal luas lewat pemberitaan media. Dengan demikian, mereka tertarik untuk membeli produk hasil karya UKM kami ini,” jelasnya.





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya