SOLOPOS.COM - Mak Keti yang tinggal sendirian di dekat puncak Merapi. ( Harian Jogja/Hery Setiawan)

Solopos.com, SLEMAN – Sosok Mak Keti yang tinggal sendiri di dekat puncak Merapi agaknya tidak asing bagi para pendaki. Di depan rumahnya terdapat plang bertuliskan Universitas Merapi.

Di tempat itulah sosok Mak Keti, 75, warga Dusun Pelemsari, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman tinggal sendirian berteman sepi. Lokasi rumahnya tak jauh dari Petilasan Mbah Marijan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Sebenarnya, Mak Keti sudah disediakan tempat tinggal baru di Huntap Karangkendal, Dusun Balong, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman. Namun, ia bersikeras tetap bertahan. Praktis, kini Mak Keti tinggal sendiri di bekas dusun yang sekarang sudah rimbun oleh pepohonan. Di sekelilingnya sudah tak ada lagi permukiman.

Update Covid-19 Indonesia 18 Juli: Pasien Positif Tambah 1.752 Jadi 84.882

Erupsi Merapi 10 tahun lalu meluluhlantahkan sejumlah perkampungan. Awan panas menyapu kehidupan yang pernah tumbuh di sana. Manusia, hewan ternak, pohon-pohon, dan rumah-rumah tumbang dan terkubur bersama material vulkanik.

Penduduk yang selamat terpaksa tempat tinggal. Mereka kemudian melanjutkan hidup di hunian tetap (huntap) yang dibangun oleh pemerintah. Hampir semuanya direlokasi ke sana.

Minggu (12/7/2020), Mak Keti tengah bersantai bersama dua pemuda yang kerap mampir ke rumahnya. Senyumnya mengembang saat ditanya alasan tetap bertahan di sana pasca-erupsi Gunung Merapi 2010.

Hla kalau di huntap itu bingung mau ngapa-ngapain, Mas. Namanya juga orang tua, penginnya tetep kerja biar sehat terus,” tuturnya dalam bahasa Jawa halus.

Kisah Suroto Magelang, 10 Tahun Kurung Diri di Kamar Sejak Erupsi Merapi Tak Pernah Mandi

Kerasan

Berkali-kali pemerintah desa setempat dan keluarga mengajak Mak Keti turun dari puncak Merapi dan pindah ke huntap. Namun, Mak Keti bergeming. Ia mengaku tak tahan bila harus tinggal di huntap yang menurutnya terlalu sempit.

Sempat Mak Keti memutuskan tinggal di huntap. Tetapi Mak Keti merasakan ada semangat yang hilang dari dirinya. Mak Keti rindu mencari rumput dan memberi pakan ternak di sekitar Merapi. Selang tiga hari, ia minta diantarkan kembali ke rumahnya.

Ketetapan hati Mak Keti sebenarnya sudah tampak sejak lama. Lima bulan setelah erupsi, seorang diri ia bangun rumahnya yang telah menjadi puing.

Waktu itu hanya tersisa sebongkah beton yang masih berdiri kokoh. Lalu ia bentangkan terpal dan selembar alas tidur. Jadilah hunian darurat, tempat ia tinggal sementara dan memulai hidupnya seperti semula.

Geger! Kelelawar Oranye Masuk ke Rumah Warga di Ceper Klaten

Saat ini rumah Mak Keti di puncak Merapi sudah lebih baik dari sebelumnya. Kendati tidak dicat dan dipasang ubin, tapi rumahnya cukup nyaman untuk ditinggali. Dinding beton dan atap yang terpasang setidaknya mampu melindungi Mak Keti dari panas serta hujan.

Mak Keti adalah sapaannya akrabnya. Ia mengaku punya dua nama: Siyami dan Sudi Wiyono. Mak Keti juga punya empat anak. Seorang di antara mereka adalah sukarelawan yang menjadi korban saat awan panas menerjang dan menewaskan sedikitnya 353 orang pada Selasa, 10 Oktober 2010 silam.

“Enggak takut.” Begitu jawabannya letika ditanya rasanya tinggal sendiri.

Saat siang hari, Mak Keti tetap dikunjungi oleh anaknya. Beberapa tamu juga kerap menyambangi rumah Mak Keti di dekat puncak Merapi. Namun begitu tiba malam, Mak Keti sendirian di rumah. Ia tak gentar karena memang sudah terbiasa tinggal di tempat itu. Toh, selama masih punya kegiatan yang menyehatkan, sama sekali ia tak merasa kesepian.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya