SOLOPOS.COM - Seorang warga melihat-lihat kondisi kayu tua yang diyakini sebagai perahu atau gethek Joko Tingkir di Punden Domba di Dukuh Butuh, Desa Karangudi, Ngrampal, Sragen, Jumat (16/10/2020). (Solopos/Tri Rahayu)

Solopos.com, SRAGEN — Di Sragen, terdapat sebuah makam yang ramai dikunjungi sebagai destinasi wisata religi. Makam itu adalah tempat bersemayamnya jasad Sultan Hadiwijaya atau lebih dikenal dengan nama Joko Tingkir.

Terletak di Dusun Butuh, Gedongan, Kecamatan Plupuh, lokasi makam ini berjarak sekitar 16 km dari pusat kota Sragen.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Menurut kisahnya, Joko Tingkir merupakan putra dari Ki Ageng Kebo Kenanga dari pernikahannya dengan Roro Alit, putri Sunan Lawu. Joko Tingkir memiliki nama kecil Mas Karebet.

Ki Ageng Kebo Kenanga merupakan Adipati Pengging II (wilayah Boyolali hingga Salatiga) menggantikan ayahandanya Ki Ageng Handayaningrat (Pengging I). Sementara Sunan Lawu adalah putra dari Prabu Brawijaya V.

Ketika dirinya berangkat ke Demak bersama tiga sahabatnya untuk mengabdi menggunakan gethek melalui Bengawan Solo, Joko Tingkir berhasil menaklukkan hati Raja Demak III, Sultan Trenggono, karena berhasil menundukkan kerbau yang mengamuk. Oleh sang raja, Joko Tingkir dijadikan menantu dengan menikahi Ratu Mas Cempaka. Ia mendapat gelar Adipati Hadiwijaya.

Baca Juga: Lagu Joko Tingkir Versi Denny Caknan, Cak Sodiq, Cak Percil Posisi 4

Sepeninggal Sultan Trenggono, situasi Demak memanas. Jalan Adipati Hadiwijaya untuk menjadi raja dihalangi oleh kerabat yang satu keturunan anak cucu Prabu Brawijaya V Majapahit (Mojokerto)-Singasari (Malang). Joko Tingkir memilih untuk mengalah.

Singkat cerita, Joko Tingkir akhirnya pergi ke Dusun Butuh di Sragen yang saat itu masih berupa hutan belantara. Tujuannya untuk berguru kepada Ki Ageng Butuh. Ki Ageng Butuh dikenal sebagai murid Syeh Siti Jenar.

Dalam Babad Tanah Jawi, diceritakan bahwa Ki Ageng Butuh merupakan tokoh yang pertama kali melihat wahyu keprabon yang jatuh pada diri Joko Tingkir. Ia juga berperan penting dalam membantu Joko Tingkir naik tahta menjadi Raja Pajang sebelum meletus perang antara Pajang dan Mataram.

Perahu Joko Tingkir

Di balik kisah perjalanan Joko Tingkir, ada satu peninggalannya yang memiliki kisah unik. Peninggalan itu berupa perahu. Konon, keunikan perahu itu mulai dari bisa berjalan sendiri, kemudian kembali ke tempat asal, berputar-putar mencari Joko Tingkir, hingga dibantu oleh raja buaya dalam pencarian sang ayah.

Perahu atau gethek yang diyakini merupakan peninggalan Joko Tingkir tersebut kini tinggal berupa bongkahan kayu keropos tak berbentuk dengan panjang sekitar 4 meter. Kayu itu diletakkan di bangunan yang disebut dengan Punden Domba.

Baca Juga: Kisah Ratusan Buaya Bengawan Solo Dikalahkan Joko Tingkir

Konon, perahu tersebut didorong oleh kawanan buaya saat Joko Tingkir melintasi Bengawan Solo pada awal abad XVI.

Perahu Berjalan Sendiri

Suwarno, 62, warga RT 015, Dukuh Butuh menceritakan, “Dulu pernah ada banjir karena luapan Bengawan Solo. Perahu itu bisa berjalan sendiri sampai Dukuh Jaten [masih wilayah Karangudi] dan saat menjelang surut, perahu itu kembali lagi ke lokasi sekarang,” ujarnya saat berbincang dengan Solopos.com pada Oktober 2020.

Cerita tersebut dibenarkan oleh sesepuh Dukuh Butuh, Mbah Naryo, 76, saat ditemui terpisah pada waktu yang sama. Dirinya mengatakan pernah menyaksikan secara langsung dengan mata kepala sendiri ketika peristiwa perahu Joko Tingkir tersebut berjalan sendiri saat ia masih kecil. Saat itu, kata dia, perahu itu masih relatif utuh yang panjangnya sampai 15 meter.

Semua diawali saat Joko Tingkir berupaya untuk mencari ayahnya, yakni Ki Ageng Kebo Kenanga. Dalam wawancara di 2020, pemerhati sejarah asal Dukuh Butuh, Banaran, Sambungmacan, Priyanto, 57, mengatakan dalam pencarian itu Joko Tingkir bertemu dengan Ki Ageng Banyu Biru.

Baca Juga: Menengok Lagi Kisah Joko Tingkir, Raja Pajang yang Dimakamkan di Sragen

Ki Ageng Banyu Biru telah menyiapkan perahu di suatu embung. Perahu itu terus berputar-putar hingga datang calon pemiliknya yang tidak lain ialah Joko Tingkir. Joko Tingkir kemudian menggunakan perahu itu untuk mencari Ki Ageng Kebo Kenanga.

Ketika Joko Tingkir hendak melanjutkan perjalanannya untuk mencari ayahnya dari alas Ketangga, ada raja buaya bernama Raja Puan atau dikenal dengan nama Baureksa mengadangnya.

Terjadi lan pertarungan antarkeduanya yang akhirnya dimenangi Joko Tingkir. Raja buaya itu ingat akan pesan Brawijaya V sebelum mengutuknya jadi buaya.

“Kalau ingin menjadi manusia kembali, Raja Puan harus membantu pemuda yang bernama Tingkir. Akhirnya, Joko Tingkir menaiki perahu dengan melawan arus Bengawan Solo menuju barat. Perahunya didorong  kawanan buaya anak buah Raja Puan. Hingga tiba di Butuh Gedongan, Joko Tingkir bertemu dengan Ki Ageng Pengging,” terang Priyanto.

Makam Joko Tingkir

Makam Joko Tingkir tersebut hingga kini ramai dikunjungi, terutama pada malam Jumat. Kebanyakan peziarah yang datang merupakan dari luar Sragen.

Bahkan sudah menjadi agenda rutin saat memperingati Hari Jadi Kabupaten Sragen untuk ziarah ke makam-makam leluhur oleh Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida), dan makam Joko Tingkir salah satunya.

Selain itu, ada pula sebuah masjid, yakni Masjid Butuh yang ditemboknya tertera angka Arab 1852. Banyak yang meyakini bahwa masjid tersebut sudah ada jauh sebelum tahun yang tertera.



Melihat masa zamannya, masjid tersebut sezaman dengan kerajaan Demak, dan kemungkinan saat itu hanya berupa surau. Kemudian, pada masa sSinuhun PB X, masjid itu beberapa kali dipugar dan terakhir kali pada tahun 2005.

Masjid Butuh kemudian diresmikan sebagai cagar budaya oleh Pemkab Sragen pada tahun 2018.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya