SOLOPOS.COM - Dosen Agroteknologi Fakultas Pertanian (FP) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Mercy Bientri Yunindanova, M.Si. (Istimewa-Humas UNS)

Solopos.com, SOLO – Ribut soal tahu dan tempe bukan pertama kali terjadi, kelangkaan di pasaran bukan tanpa sebab. Karena para pengrajin tahu tempe mengurangi produktivitas dikarenakan mahalnya harga bahan baku kedelai.

Harga tinggi karena pasokan kedelai Indonesia tidak bisa mengandalkan budidaya petani lokal, secara kualitas dan kuantitasnya sangat rendah. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri, Indonesia sangat tergantung pada kedelai impor. Bahkan impor kedelai sudah di atas 80%.

Promosi Pelaku Usaha Wanita Ini Akui Manfaat Nyata Pinjaman Ultra Mikro BRI Group

Namun di tengah tingginya permintaan kedelai, negara produsen kedelai dunia yaitu Brazil dan Argentina saat ini sedang mengalami dampak kekeringan akibat La Nina. Dosen Agroteknologi Fakultas Pertanian (FP) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Mercy Bientri Yunindanova, M.Si., menjelaskan bahwa musim sangat mempengaruhi pertanian.

Seperti kondisi di Brazil dan Argentina pasokan kedelai turun karena sedang dilanda kekeringan. Kurangnya kadar air mempengaruhi proses pertumbuhan awal perkecambahan dan pengisian biji. “Kalau sudah mulai berbunga, lalu mengalami kekeringan nanti polongnya tidak terisi. Sehingga air adalah faktor penting dalam produksi kedelai,” jelas Mercy pada Sabtu (26/2/2022).

Baca juga: Ungkap Makna Isra Mikraj, Masjid Nurul Huda UNS Hadirkan Ketua MUI DIY

Permintaan kedelai dunia tinggi dikarenakan ada empat faktor, yaitu untuk pemanfaatan energi biodiesel, pemanfaatan kedelai sebagai pakan ternak. Kemudian konsumsi dalam jumlah tinggi di China dan Amerika, serta plant based meat (produk daging berbasis tanaman) yang sedang trend.

Beberapa peternakan di negara maju menggunakan kedelai sebagai pakan ternak, karena sebagai sumber protein dan kualitas daging. Bahkan kedelai disebut sebagai miracle crop, atau bahan pangan nabati dengan kandungan protein tertinggi yang bagus untuk manusia dan hewan.

Sebagai sumber protein yang paling murah untuk masyarakat, maka perlu meningkatkan produktivitas dengan sistem budidaya yang tepat. Pada 2019 sampai sekarang Brazil berhasil menggantikan posisi Amerika Serikat sebagai produsen terbesar kedelai dunia.

Budidaya kedelai di Brazil menggunakan manajemen yang baik, dengan skala besar, terstandar dan sistem kelompok (gabungan petani dalam sistem dan pengelolaan yang sama) oleh satu perusahaan di hamparan yang luas. Juga terdapat sertifikasi budidaya kedelai yang menjamin keseragaman kualitas, kuantitas dan kontinuitas.

Baca juga: Harga Kedelai Impor Naik, Harga Tahu Tempe di Wonogiri Ikut Naik

Kedelai di Indonesia kualitas dan kuantitasnya rendah, karena mayoritas petani di Indonesia menanam sendiri, berbeda tempat dengan lahan yang kecil dan tidak dikelola dalam satu sistem yang sama sehingga hasil panennya kurang seragam. Meskipun ada yang telah dikoordinir oleh Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani), namun variasi kualitas dan kuantitas masih rendah.

“Produktivitas hanya sekitar 1,5 ton per hektar, dan maksimal 1,6 ton per hektar di Jawa. Dibandingkan dengan Brazil dan Amerika sebagai leader produsen kedelai produksinya mencapai 3,5 ton per hektar,” ujar dosen UNS Solo, Mercy.

Meskipun kedelai bukan tanaman asli Indonesia, tetapi sudah ada 85 varietas kedelai yang dikembangkan sejak tahun 1918-2016. Seperti varietas tahan naungan supaya bisa menanam di bawah pohon sawit dan varietas kedelai di lahan pasang surut atau payau.

Baca juga: Jalin Kerja Sama dengan Kemenperin, UNS Siapkan Sejumlah Program

Permasalahannya belum ada yang menanam dalam jumlah besar, terstruktur dan standar kualitas yang sama. Rata-rata lahan pertanian di Indonesia 0,25 hektar, ini rentan sekali dengan serangan hama penyakit dan kendala lingkungan lainnya.

“Kita harus mencari alternatif, budidaya tidak bisa 100% mencukupi kebutuhan kedelai dalam negeri karena membutuhkan sistem budidaya lebih terpadu, seragam, dan manajemen yang baik. Sehingga perlu ada proses diversifikasi pangan sumber protein dengan penggunaan alternatif biji-bijian lain sebagai bahan baku yang mengandung protein mendekati dengan kedelai. Indonesia sangat kaya dengan keanekaragam tanaman biji-bijian dan telah terbukti dapat diolah menjadi olahan tempe. Sebetulnya tidak perlu khawatir karena banyak kearifan lokal tentang tempe,” ungkap Mercy.

Ilmu teknologi pangan sudah melakukan penelitian mengenai pemanfaatan biji selain kedelai untuk bahan pangan kaya protein seperti tempe. Memang pengenalannya kepada masyarakat belum masif, karena harus bertahap mengubah mindset bahwa tahu dan tempe tidak hanya berbahan dasar kedelai. Protein bisa diperoleh dari bahan makanan lain, diversifikasi pangan dalam artian makan dalam berbagai jenis itu lebih baik.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya