SOLOPOS.COM - Budayawan Usmar Ismail dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo, 10 November 2021. (Istimewa)

Solopos.com, JAKARTA — Empat pejuang kemerdekaan akan mendapat kehormatan gelar pahlawan pada Hari Pahlawan, 10 November 2021 mendatang.

Mereka masing-masing Tombolotutu dari Sulawesi Tengah, Sultan Aji Muhammad Idris (Kalimantan Timur), Usmar Ismail (Jakarta), dan Raden Aria Wangsakara (Banten).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada empat pejuang tersebut tertuang dalam Keppres No.109/TK/2021 tentang Penganugerahan Pahlawan Nasional.

“Gelar pahlawan nasional rencananya nanti diserahkan secara resmi kepada keluarga almarhum di Istana Bogor persis pada Hari Pahlawan oleh Presiden Jokowi,” kata Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Kemanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dalam konferensi pers, dikutip Solopos.com dari YouTube Kemenko Polhukam, Kamis (28/10/2021).

Baca Juga: Sultan Jogja Usulkan 1 Maret Jadi Hari Besar Nasional 

Selain jasa besar keempat pejuang tersebut bagi Indonesia, Mahfud menyatakan, pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada keempat pejuang itu mengutamakan pemerataan kedaerahan.

Ekspedisi Mudik 2024

“Nama calon pahlawan yang diusulkan ada ratusan dan semuanya baik-baik maka pemerintah hal ini mengutamakan selain ketokohan, adalah pemerataan kedaerahan. Sulawesi Tengah dan Kalimantan Timur belum memiliki sosok pahlawan nasional,” kata ujar politikus asal Madura, Jawa Timur itu.

Siapa saja keempat pahlawan nasional itu? Berikut penelusuran Solopos.com dari berbagai sumber:

1. Raja Tombolotutu

Tombolotutu adalah salah satu raja di Sulawesi Tengah yang mempunyai komitmen tinggi menumpas penjajah Belanda.

Ia tidak mau melakukan perjanjian dengan Belanda. Tombolotutu tidak mau memberikan satu jengkal tanah dan satu gram tambang emas yang ada di Sulawesi Tengah untuk penjajah Belanda.

Ia memilih angkat senjata melawan penjajah. Nyawanya menjadi tumbal perjuangan demi Indonesia merdeka dalam pertempuran melawan Belanda pada 17 Agustus 1901 silam.

2. Sultan Aji Muhammad Idris

Sultan Aji Muhammad Idris merupakan cucu menantu dari Sultan Wajo La Madukelleng. Ia yang menjadi sultan ke-14 dari Kesultanan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur mengangkat senjata VOC Belanda yang menduduki Tanah Wajo, Sulawesi Selatan.

Sultan Aji memimpin rakyat Wajo melawan penjajah dengan senjata seadanya. Ia akhirnya gugur di medan perang pada tahun 1739.

3. Aria Wangsakara

Aria Wangsakara dikenal sebagai pendiri Tangerang. Selain pejuang, Aria Wangsangkara juga dikenal sebagai ulama penyebar agama Islam.

Penyebaran agama Islam kala itu membuat Belanda takut. Apalagi pusat penyebaran agama tersebut berada di dekat wilayah kekuasaannya, yakni Batavia.

Pada 1640 Belanda menyerang Pesantren Grendeng yang lokasinya di tepi barat Sungai Cisadane–kini ada di Kecamatan Karawaci, Kota Tangerang.

Peristiwa tersebut terjadi sekitar tahun 1640. Penyerangan itu menandai terbentuknya tempat hunian baru di Lengkong, Kecamatan Pagedangan, Kabupaten Tangerang.

Di tempat ini santri-santri dari Pesantren Grendeng yang terusir Belanda, kemudian membangun masjid dan membuat pesantren baru di bawah kepemimpinan Aria Wangsakara.

Hal inilah yang mungkin melatarbelakangi migrasi Raden Aria Wangsakara dari Tangerang (yang sekarang jadi Masjid Agung Tangerang) ke wilayah ini.

Karena seperti diketahui daerah yang dilewati sungai menjadi tempat yang paling disenangi disebabkan kondisi tanahnya yang subur.

Belanda yang tidak senang dengan kepemimpinan Aria Wangsakara lantas menyerang hingga terjadi pertempuran hebat.

Mereka akhirnya berhasil mempertahankan wilayah melalui pertempuran yang berkobar selama tujuh bulan.

4. Usmar Ismail

Usmar Ismail lahir sebagai anak dari Datuk Tumenggung Ismail, guru Sekolah Kedokteran di Padang, dan Siti Fatimah.

Ia mempunyai seorang kakak yang juga terjun ke dunia sastra, yakni Dr. Abu Hanifah yang menggunakan nama pena, El Hakim.

Usmar menempuh pendidikan di HIS Batusangkar, lalu melanjutkan ke MULO Simpang Haru, Padang, dan kemudian ke AMS-A Yogyakarta (sekarang SMA Negeri 1 Yogyakarta).

Ia mendapat gelar BA di bidang sinematografi dari Universitas California, Los Angeles, Amerika Serikat pada tahun 1952.

Usmar sudah menunjukkan bakat sastranya saat masih duduk di bangku SMP bersama temannya, Rosihan Anwar.

Baca Juga: Wali Kota Salatiga Dukung Usulan Gelar Pahlawan untuk Probowinoto 

Bakatnya kian berkembang saat bekerja di Keimin Bunka Sidosho (Kantor Besar Pusat Kebudayaan Jepang). Di tempat itu, ia bersama Armijn Pane dan budayawan lainnya bekerja sama untuk mementaskan drama.

Pada 1943, ia mendirikan dan menjadi ketua Sandiwara Penggemar Maya bersama El Hakim, Rosihan Anwar, Cornel Simanjuntak, Sudjojono, H.B. Jassin, dan lain-lain.

Sesudah proklamasi kemerdekaan RI, Usmar menjalani dinas militer dan aktif di dunia jurnalistik di Jakarta. Ketika Belanda kembali bersama tentara Sekutu, ia menjadi anggota TNI di Yogyakarta dengan pangkat mayor.

Bersama dua rekannya, Sjamsuddin Sutan Makmur dan Rinto Alwi, mereka mendirikan surat kabar yang diberi nama Rakyat. Dalam bidang keredaksian dan kewartawanan, Usmar pernah menjadi pendiri dan redaktur Harian Patriot, redaktur majalah bulanan Arena, Yogyakarta (1948), Gelanggang, Jakarta (1966-1967).

Dipenjara Belanda

Ia juga pernah menjadi ketua Persatuan Wartawan Indonesia (1946-1947). Saat menjalankan profesi sebagai wartawan itulah, Usmar pernah dijebloskan ke penjara oleh Belanda karena dituduh terlibat kegiatan subversi.



Saat itu ia bekerja sebagai wartawan politik di Kantor Berita Antara dan sedang meliput perundingan Belanda—RI di Jakarta. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1948.

Usmar juga punya bakat serius pada perfilman. Ia pernah menjadi Ketua Badan Permusyawaratan Kebudayaan Yogyakarta (1946-1948), Ketua Serikat Artis Sandiwara Yogyakarta (1946-1948), Ketua Akademi Teater Nasional Indonesia, Jakarta (1955-1965), dan Ketua Badan Musyawarah Perfilman Nasional (BMPN).

Ia dikenal sebagai pendiri Perusahaan Film Nasional Indonesia bersama Djamaluddin Malik dan para pengusaha film lainnya. Lalu, ia menjadi ketuanya sejak 1954 sampai 1965.

Baca Juga: Profil Pahlawan Nasional Slamet Riyadi: Suka Bertengkar Sejak Kecil Namun Setia Kawan 

Ia dikenal luas secara internasional setelah menyutradarai film berjudul Pedjuang pada tahun 1961, yang mendokumentasikan kemerdekaan Indonesia dari Belanda. Film ini ditayangkan dalam Festival Film Internasional Moskwa ke-2, dan menjadi film karya anak negeri pertama yang diputar dalam festival film internasional.

Tahun 1962 ia mendapatkan Piagam Wijayakusuma dari Presiden Soekarno, tahun 1969 menerima Anugerah Seni dari Presiden Soeharto.

Setelah meninggal dia diangkat menjadi Warga Teladan DKI. Namanya diabadikan sebagai pusat perfilman Jakarta, yakni Pusat Perfilman H. Usmar Ismail.

Usmar Ismail meninggal pada 2 Januari 1971 di Jakarta dan dimakamkan di TPU Karet Bivak, Jakarta.







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya