SOLOPOS.COM - Peserta BP Jamsostek berkomunikasi dengan petugas pelayanan layar monitor di Kantor Cabang BP Jamsostek di Menara Jamsostek, Jakarta, Jumat (10/7/2020). (JIBI/Bisnis/Eusebio Chrysnamurti)

Solopos.com, SOLO — Program jaminan hari tua atau JHT menjadi perbincangan seiring terbitnya aturan baru, khususnya terkait klaim atau pencairannya hanya bisa dilakukan pada saat peserta usia 56 tahun.

Terlepas dari kapan klaim akan dilakukan, mekanisme cara menghitung atau perhitungan iuran JHT penting untuk dipahami pekerja agar nilai saldo saat pensiun dapat diperkirakan dengan baik.

Promosi Sistem E-Katalog Terbaru LKPP Meluncur, Bisa Lacak Pengiriman dan Pembayaran

JHT merupakan salah satu program yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Badan tersebut memungut iuran jaminan sosial dan mengelolanya, untuk kemudian membayarkannya pada saat peserta memenuhi syarat untuk menerima manfaat.

Dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2/2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT, tertulis bahwa pembayaran manfaat JHT berlangsung jika peserta mencapai usia pensiun yakni 56 tahun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia. Sebelumnya, ketentuan batasan usia pensiun sempat dihapus sehingga saldo JHT dapat dicairkan di awal.

Baca Juga: Tuntut Pencabutan Aturan JHT, Buruh Unjuk Rasa di Kemnaker Jakarta

Saldo JHT terus bertambah seiring pembayaran iuran oleh peserta setiap bulannya. Pembayaran iuran bergantung kepada penghasilan setiap peserta, baik mereka yang merupakan pekerja penerima upah (PPU) atau karyawan maupun pekerja bukan penerima upah (PBPU) seperti wirausahawan dan pekerja lepas.

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46/2015 tentang Penyelenggaraan Program JHT, tertulis bahwa iuran JHT bagi peserta PPU atau karyawan adalah sebesar 5,7 persen dari upah. Kewajiban iuran itu terbagi dua, di mana 2 persen dibayar oleh pekerja dan 3,7 persen oleh pemberi kerja, sehingga totalnya menjadi 5,7 persen.

Perlu dipahami bahwa upah yang digunakan dalam perhitungan iuran JHT bukan semata-mata total uang yang diperoleh saat waktu gajian atau take home pay (THP). Sehingga jangan menghitung besaran iuran JHT pekerja dengan 2 persen terhadap THP jika di dalamnya terdapat sejumlah komponen tidak tetap.

“Upah sebulan bagi peserta yang bekerja pada pemberi kerja selain penyelenggara negara terdiri atas upah pokok dan tunjangan tetap,” tertulis dalam Pasal 17 ayat (2) PP 46/2015, dikutip pada Senin (14/2/2022).

Baca Juga: Sosialisasi Diintensifkan, Ini Manfaat dan JHT dan JKP bagi Pekerja

Nilai upah tersebut dapat diketahui melalui pemberi kerja atau di aplikasi Jamsostek Mobile (JMO) dengan memilih menu JHT, lalu pilih menu RSJHT atau Rincian Saldo JHT.

Setelah memilih nomor kartu peserta yang dimaksud akan muncul dokumen informasi dana dan usia pensiun peserta. Dalam dokumen tersebut akan tertulis upah yang dilaporkan pemberi kerja kepada BPJS Ketenagakerjaan. Pekerja dapat memeriksa apakah nilai upah tersebut sesuai dengan jumlah gaji pokok dan tunjangan pokok.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan bahwa JHT sebagai jaminan sosial berfungsi untuk mendukung sebanyak-banyaknya pekerja agar siap secara finansial saat memasuki masa pensiun. Dana dari sana akan dilengkapi manfaat dari program jaminan pensiun (JP) yang juga dikelola BPJS Ketenagakerjaan.

“JHT dirancang sebagai program jangka panjang untuk memberikan kepastian jumlah dana pekerja saat yang bersangkutan tidak lagi produktif, baik karena pensiun, mengalami cacat, dan [dana bagi ahli waris jika pekerja] yang bersangkutan meninggal dunia,” ujar Airlangga pada Senin (14/2/2022).

Baca Juga: Dana JHT Capai Rp372,5 Triliun pada 2021, Diinvestasikan ke Mana Saja?

Dilansir dari Bisnis.com dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46/2015 tentang Penyelenggaraan Program JHT, besaran iuran yang dibayarkan adalah PPU 5,7% dari upah yang terbagi menjadi dua yaitu 2% oleh pekerja dan 3,7% dari pemberi kerja atau perusahaan.

Sedangkan untuk PBPU yang dibayarkan adalah 2% dari gaji yang dilaporkan. Dalam setiap bulan peserta wajib membayarkan iuran tersebut sehingga saldo akan terus bertambah, jika mengalami keterlambatan denda 2% akan diberlakukan.

Baca Juga: Pekerja Kena PHK Dapat Uang Lebih Besar Lewat JKP daripada Cairkan JHT?

Untuk lebih memahami penghitungannya berikut merupakan contoh ilustrasinya:

Jika Pekerja Penerima Upah (PPU) dengan gaji Rp6 juta:

•Yang dibayarkan perusahaan : 3,7% x Rp6 juta = Rp222.000 perbulan

• Yang dibayar oleh pekerja : 2% x Rp6 juta = Rp120.000 perbulan

Jika Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dengan penghasilan Rp6 juta:

• Iuran yang dibayarkan : 2% x Rp6 juta = Rp120.000 per bulan



Baca Juga: Dukung Menaker, Akademisi Sebut JHT Tekan Angka Kemiskinan Lansia

Dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenker) Nomor 2/2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT, disebutkan bahwa pembayarakan akan dilakukan bila perserta mencapai usia 56 tahun, meninggal dunia dan cacat total tetap.

BPJS Ketenagakerjaan juga akan memberikan keterangan besaran saldo JHT beserta hasil pengembangannya selama 2 kali dalam setahun.

Apabila peserta meninggal dunia urutan ahli waris yang berhak menerima adalah suami/istri, anak, orang tua/cucu, saudara kandung, mertua, pihak yang ditunjuk dalam wasiat, apabila tidak ada ahli waris dan wasiat maka JHT akan dikembalikan ke Balai Peninggalan Harta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya