SOLOPOS.COM - Wisatawan mengunjungi objek wisata air terjun Curug Gending Asmoro di Kalongan, Ungaran, Kabupaten Semarang, Jateng, Minggu (25/2/2018). (JIBI/Solopos/Antara/Aditya Pradana Putra)

Pariwisata dinilai hanya fokus pada target semata.

Harianjogja.com, JOGJA–Kebijakan pariwisata di Indonesia dinilai hanya berfokus pada target jumlah kunjungan semata. Wacana-wacana semacam penciptaan lapangan kerja, meningkatkan derajat kesejahteraan masyarakat praktis tak banyak terdengar. Padahal, pariwisata adalah alat yang ampuh guna mengentaskan kemiskinan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Mark Hampton, pengajar di Fakultas Ilmu Sosial Universitas Kent, Inggris, mengatakan semestinya Pemerintah Indonesia tidak hanya terus mencanangkan target wisatawan dan berusaha sekuat tenaga mencapai target yang ada. Kebijakan mengejar target akhirnya akan membebani Bali sebagai destinasi utama. Sementara destinasi lain belum bisa menandingi Pulau Dewata.

Sehingga yang muncul adalah berbagai permasalahan sosial seperti kerusakan lingkungan, terabaikannya hak-hak masyarakat dan kesenjangan yang kian tinggi. Karena itu, pemerintah harus bisa menyebar kunjungan turis, sehingga daerah-daerah lain bisa menikmati imbas positif dari pariwisata.

Lebih lanjut ia menjelaskan, seharusnya, hal yang lebih diprioritaskan adalah berapa lama wisatawan berkunjung, kemana mereka berwisata dan kemana uang mereka dibelanjakan, bukan malah mengejar target kunjungan.

Ia mengatakan, tak perlu ada pariwisata berskala besar untuk menyejahterakan masyarakat. Cukup menyediakan tempat bagi backpaker saja sudah mampu mendongkrak kesejahteraan masyarakat. Atau, jika objek wisata di daerah terpencil di kelola dengan baik, warung-warung kecil milik masyarakat bisa menikmati efek positif turisme.

“Makanan lokal juga perlu dihidangkan kepada turis, bukan malah menyediakan makanan impor. Hotel dan restoran bisa menggunakan bahan lokal dan bilang ke turis itu berasal dari daerah sekitar, untuk menghargai makanan lokal dan petani,” ujar Mark di sela-sela Konferensi International Critical Tourism Studies Asia Pasific di University Club, UGM, Senin (5/3/2018).

Mark mengungkapkan, turis butuh pengalaman, dan kuliner adalah salah satu dari bagian yang dicari para pelancong. Jika yang disediakan malah makanan impor, maka pengalaman yang diinginkan tidak bisa tercapai.

Toh, dengan menyediakan kuliner lokal yang berasal dari bahan lokal bisa turut memberdayakan petani. Hanya, saja, imbuhnya, secara kualitas dan kuantitas, produk lokal belum mampu bersaing dengan yang datang dari luar.

Mantan Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia Bidang Kebudayaan, Professor Wiendu Nuryanti menjelaskan, kebijakan mengejar target dari pemerintah adalah sesuatu yang berbahaya. Sebagai orang yang pernah berada di lingkaran kekuasaan, ia menyebut kebijakan keliru ini diambil karena tidak didasari penelitian dan pemahaman yang cukup. Kebijakan yang tidak didasari oleh kajian akan meleset dari tujuan awal.

Ia mengatakan, pariwisata, jika dikelola dengan baik, adalah penyelamat bangsa, karena menambah devisa dan bisa jadi alat ampuh untuk mengentaskan kemiskinan. Tapi seperti semua hal di dunia ini, semua memiliki sisi positif dan negatif.

“Karena itu harus dilihat secara kritis. Pariwisata seperti pedang bermata dua. Tidak pandai memainkannya malah bisa mengorbankan diri sendiri. Harus dilihat secara utuh, kenapa pemerintah hanya bicara target dan target. Tidak ada hal lain seperti bagaimana pariwisata bisa membuat masyarakat sejahtera dan membuka lapangan pekerjaan baru,” terangnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya