SOLOPOS.COM - Ilustrasi penyeberangan Bengawan Solo. (Dok)

Solopos.com, SRAGEN — Menjadi sungai terpanjang di Jawa, Bengawan Solo mengular melintasi sejumlah kabupaten dan kota. Salah satunya Kabupaten Sragen. Sebelum pembangunan infrastruktur gencar dilakukan, banyak warga di Sragen yang memanfaatkan perahu dan sesek sebagai sarana menyeberangi Bengawan Solo.

Salah satu sarana penyeberangan tradisional itu ada di Dukuh Butuh, Desa Banaran, Sambungmacan, Sragen. Namanya penyeberangan Barang. Penyeberangan ini termasuk penyebarangan kuno. Sebagai bukti, nama penyeberangan Barang termuat dalam Prasasti Canggu atau Parasastri Trowulan I yang ditulis pada 1358 Masehi atau pada masa Kerajaan Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Prasasti tersebut menyebut ada 44 desa penyeberangan di sepanjang aliran Bengawan Solo dan 34 desa di aliran Bengawan Brantas. Sejumlah penyeberangan di wilayah Sukowati (Sragen) yang disebutkan dalam prasasti tersebut di antaranya Desa Barang (Butuh, Banaran, Sambungmacan), Desa Pakatelan (diduga Katelan, Kecamatan Tangen), Desa Amban atau Ngamban (di Desa Gawan, Kecamatan Tanon), dan Desa Wareng (diduga di Tanggan, Kecamatan Gesi).

Penyeberangan Barang di Sragen
Sejumlah pemerhati sejarah menaiki perahu saat menyeberangi Sungai Bengawan Solo di Penyeberangan Barang, Dukuh Butuh, Desa Banaran, Sambungmacan, Sragen, beberapa waktu lalu. (Istimewa/Priyanto)

Baca Juga: Adanya Sand Bag di Tanggul yang Jebol Bikin Warga Pilang Sragen Tenang

Dari cerita tutur di Dukuh Butuh, Banaran, Sragen, penyeberangan Barang itu merupakan penyeberangan kuno. Di sekitar penyeberangan itu ditemukan batu yoni. Orang-orang dulu pernah menemukan perhiasan manik-manik beraliran Hindu/Buddha.

Seorang pemerhati sejarah asal Tanggan, Kecamatan Gesi, Sragen, Jarwanto, menduga Desa Pakatelan identik dengan Desa Katelan di Tangen dan lokasinya berada di pinggir Bengawan Solo. Jarwanto pernah menelisik pinggiran Bengawan Solo, tepatnya di sebelah barat Jembatan Ganefo. Ia menemukan sisa-sisa bangunan yang fungsinya sebagai tempat penyeberangan lama.

Dari Tangen ke barat, Jarwanto ingat saat masih kecil juga ada dua penyeberangan Bengawan Solo yang berdekatan dengan rumahnya, yakni Penyeberangan Sapen dan Penyeberangan Dalungan. Warga Tanggan, Gesi, yang hendak ke Sragen melewati dua alternatif penyeberangan Bengawan Solo itu. Sekarang dua penyeberangan itu diganti dengan Jembatan Sapen.

Baca Juga: Tanggul Jebol, 120 Keluarga di Pilang Sragen Terancam Banjir

Matinya Penyeberangan Sapen dan Dalungan

Jarwanto menduga Desa Wareng yang disebutkan dalam Prasasti Canggu kemungkinan adalah penyeberangan Sapen dan Dalungan itu. Ini karena keduanya berada di antara Desa Pakatelan dan Amban atau Ngamban.

“Penyeberangan itu sebelum 1991 masih digunakan sebagai akses utama masyarakat Tanggan, Gesi ke Sragen [kota]. Pada 1991 itu Jembatan Prayunan atau Jembatan Sapen dibangun dan jasa penyeberangan di Sapen dan Dalungan tidak lagi berfungsi,” papar Jarwanto, Sabtu (8/1/2022).

Sebelum ada jembatan Sapen, Penyeberangan Dalungan itu menjadi akses utama warga menuju ke Pasar Gonggang dan Kota Sragen. Begitu masuk musim kemarau, perahu tak lagi digunakan karena air surut. Sebagai gantinya warga membuat jembatan sesek dari bambu sehingga kendaraan bermotor atau sepeda angin bisa menyeberang secara bergantian.

Baca Juga: Catatan Banjir Bandang Bengawan Solo, Waspada Lur!

“Bagi warga yang menyeberang ada uang jasa Rp100 untuk perorangan dan Rp300 untuk kendaraan bermotor. Di sekitar penyeberangan juga ditemukan punden tua,” jelas Jarwanto.

Pemerhati sejarah dari Yayasan Palapa Mendira Harja Sragen, Lilik Mardiyanto, menyampaikan Desa Ngamban di Desa Gawan, Tanon, Sragen itu merupakan lokasi penyeberangan kuno Bengawan Solo. Dia menyampaikan lokasi tersebut menghubungkan ke Keputren Dewi Tunjung Biru dan ada pendapa lama.

“Fungsi penyeberangan itu bukan untuk berdagang tetapi untuk bertamu bagi siapa pun yang hendak masuk ke wilayah Sukowati. Di penyeberangan itu ada tokoh Mbah Butuh yang bertugas menerima tamu. Mbah Butuh menghuni tempat itu sekitar 1330 Masehi,” ujar Lilik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya