SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, SOLO–Akhir pekan tiba. Saatnya keluarga kecil Mona, 35, berkumpul dan terkoneksi setelah nyaris sepekan terpisah kesibukan. Pada hari biasa, ayah sibuk dengan pekerjaan, si sulung sekolah dari pagi sampai sore, ibu juga bekerja dari pagi sampai sore, hanya si kecil yang i rumah.

 Suatu Sabtu yang mendung itu, mereka berkumpul di depan televisi sembari melihat serial kartun kegemaran bungsunya yang baru berumur tiga tahun. Di tengah-tengah adegan seru, tercium aroma tidak sedap dari sang kakak yang sedangt bermain games di telepon pintar orang tuanya. “Kakak, kamu buang air lagi ditahan ya?” tanya sang ibu sewot.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

 Si sulung yang sembari tadi sibuk bermain telepon pintar tanpa mengontrol keinginan buang air cuma nyengir sembari menunjukkan celananya yang basah. “Kamu sudah masuk SD masih suka mengompol. Nanti jadi kebiasaan kalau di sekolah juga begitu bagaimana? Malu sama teman dan guru,” omel ayahnya.

 Si sulung yang berusia tujuh tahun itu lalu ke kamar mandi. Ia membasuh sendiri bekas buang airnya. Lantas memasukkan celana kotor ke mesin cuci. Setelah itu, ia mengambil celana bersih di lemari sembari melihat ibunya mengepel lantai yang kotor dan menyingkirkan karpet yang terkena ompol.

Ekspedisi Mudik 2024

 “Dia sudah tahu konsekuensinya kalau menahan buang air sampai mengompol itu artinya tidak ada jatah mainan handphone [HP]. Kendati akhir pekan bisa main HP sepuasnya. Tapi bagaimana lagi. Tidak ada cara lebih ampuh mendisiplinkan kebiasaan jeleknya malas ke kamar mandi kalau sudah mainan,” tutur Mona ketika berbincang dengan Solopos.com, Selasa (23/1/2019).

 Ia mengatakan mulai menerapkan konsep hukuman untuk mendisiplinkan anaknya setelah si sulung masuk SD. Saat masih berusia balita, anaknya relatif penurut. Dengan pola yang diterapkan juga cenderung stabil dan menjalankan.

 “Dulu awalnya aku tipe ibu yang cerewet. Kalau enggak pas atau sesuai aturan, aku bakal sewot banget. Tapi aku perhatikan anak-anak malah enggak nurut. Mereka cuek kalau aku omeli. Lain sama ayahnya. Baru dilirik saja mereka sudah balik ke jalur yang benar. Padahal juga enggak pernah dibentak atau dihukum. Mungkin cara omongnya lain, jadi itu yang aku terapin ke anak,” kata dia.

 Menurut Mona, kedua anaknya tipe orang yang tidak bisa dibentak. Alih-alih menurut, saat dibentak justru mereka ikut emosi. Sehingga tensi di rumah meninggi. Dari situ ia mulai meminimalkan omelan atau teriakan saat mendidik anaknya.

 “Nanti setelah mau tidur, biasanya kami brain washed mereka kalau ini baiknya begini. Kenapa enggak boleh begitu. Dan seterusnya. Cara itu justru efisien dan nempel di memori mereka,” bebernya.

 Lain lagi pengalaman Arifin, 34. Bapak dua anak berusia tujuh tahun dan tiga bulan ini tidak menerapkan hukuman dan teriakan untuk mendisiplinkan anaknya. Sebagai seorang tenaga pendidik, ia percaya anak bisa disiplin hanya dengan pengertian. Ia lebih saklek mendisiplinkan buah hatinya dengan jalan memberikan contoh.

 “Dari hal kecil. Misalkan saat makan duduk dan berdoa. Mereka semula mengamati lalu akan mengikuti. Ini juga berlaku untuk salat lima waktu. Dari TK anak sudah dibiasakan. Lingkungan juga harus ikut mengondisikan. Membereskan mainan juga demikian. Kalau diberi contoh mereka anak mengikuti,” tuturnya.

 Arifin mengatakan laiknya anak-anak biasanya juga tidak langsung otomatis disiplin. Ada kalanya si kecil ngeyel atau menawar saat akan menjalankan tugas atau kewajibannya. Ia biasanya menerapkan batas toleransi namun sebisa mungkin tidak sampai membentak.

 “Biasanya kalau anak melakukan kesalahan, saya lihat dulu. Sampai dia tahu kalau bapaknya tidak berkenan. Dari rasa sungkan itu, nanti dia akan luluh dan segera mengerjakan arahan tadi. Baru setelah selesai, saya kasih tahu,” ujar dia.

 Menurut Arifin, keluarganya mulai menanamkan nilai kedisiplinan saat anak mulai mengenal pendidikan nonformal di taman bermain. Ia menyebut pemahaman anak pada usia tersebut sudah tumbuh dan mereka bisa mulai diberikan instruksi tertentu.

 Agar anaknya tumbuh tidak dalam keluarga yang mendikte, untuk soal belajar ia tipikal bapak yang tidak terlalu menuntut anaknya di bidang akademis. Namun ia berupaya menyediakan beragam fasilitas seperti buku, boleh browsing lewat HP didampingi istrinya yang menjadi ibu rumah tangga, atau memberikan akses kebebasan buat anaknya menyambangi taman baca setempat.

 Arifin berpendapat anak yang punya bekal kedisiplinan dari rumah, studinya di sekolah tidak menemui kendala berarti. Menurut dia, dukungan keluarga di rumah memegang peranan krusial untuk bekal anak ke depan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya