SOLOPOS.COM - Sri Sumi Handayani (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Media sosial telah menjadi gaya hidup masyarakat Indonesia dari berbagai usia dan kalangan. Hampir semua orang memiliki akun dan menggunakan media sosial sebagai sarana utama memperoleh dan menyampaikan informasi.

Media sosial menjadi media untuk bersosialisasi secara online sehingga memungkinkan manusia saling berinteraksi tanpa dibatasi ruang dan waktu. Media sosial menghapus aneka batasan fisik manusia untuk bersosialisasi.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Kita akan mendapatkan keuntungan apabila bisa memanfaatkan media sosial untuk hal positif, seperti mencari koneksi, media pemasaran, memudahkan belajar, mencari pekerjaan, belanja, dan lain-lain.

Kita juga bisa mendapatkan masalah apabila tidak bijak ketika memanfaatkan media sosial. Media sosial bisa menyebabkan orang-orang berkonflik, melanggar privasi, berurusan dengan hukum, dan lainnya.

Banyak contoh kasus pelanggaran privasi di media sosial hingga berujung proses hukum. Kasus yang melibatkan seorang ibu dari Jawa Timur dengan seorang penyanyi papan atas Indonesia beberapa waktu lalu adalah salah satu contoh.

Kasus berawal dari pernyataan ibu itu yang menyinggung kehidupan pribadi penyanyi dan diunggah di media sosial. Perempuan penyanyi yang tersinggung atas unggahan itu kemudian melaporkan ibu itu ke kepolisian.

Ibu dari Jatim itu didampingi suami dan pengacaranya memenuhi panggilan polisi dan meminta maaf secara terbuka. Dia menangis dan mengaku salah. Dia menyebut dirinya sebagai fan penyanyi perempuan itu.

Polisi menilai ibu itu membuat kegaduhan di media sosial karena cari perhatian atau caper dari penyanyi tersebut. Kasus berikutnya adalah ulah salah satu pemilik akun Twitter yang diduga menghina Ibu Negara Iriana dengan latar Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali.

Indonesia yang menjadi tuan rumah KTT G20 tentu berusaha menjamu tamu dari negara-negara anggota G20 dengan baik. Seorang pemilik akun Twitter mengunggah foto Ibu Negara Iriana disertai teks yang mengandung tafsir merendahkan martabat.

Kabar terkini, polisi sudah mengantongi identitas pemilik akun Twitter tersebut. Kabar ini ditanggapi beragam oleh masyarakat secara langsung maupun warga internet di media sosial. Ada yang mengingatkan masyarakat agar bijak menggunakan media sosial.

Beberapa di antara mereka berkomentar bahwa pelaku akan muncul di hadapan publik untuk memberikan klarifikasi, meminta maaf, dan mengaku yang dilakukan itu sebagai kekhilafan. Publik sudah hafal apa yang akan terjadi dan apa yang akan disampaikan pelaku.

Dua contoh kasus itu bukan kali pertama terjadi. Kasus serupa pernah terjadi berulang kali. Kebetulan, sasaran unggahan adalah figur publik sehingga kasus itu bergaung. Sebetulnya, apabila kita mau mencermati unggahan warga Internet di media sosial, mudah menemukan banyak perilaku serupa yang merugikan orang lain.

Pencemaran Nama Baik

Contoh itu juga menunjukkan bahwa perkembangan teknologi informasi membawa perubahan dalam budaya masyarakat. Media sosial menjadikan pola perilaku masyarakat bergeser dari sisi budaya, etika, norma, hingga perubahan dalam hubungan sosial.

Laman Pusat Informasi Kriminal Nasional atau Pusiknas merilis data jumlah tindak pidana pencemaran nama baik pada periode tertentu. Pada periode 1-19 Januari 2021 ada 118 kasus tindak pidana pencemaran nama baik yang ditangani 23 kepolisian daerah (polda).

Angka itu meningkat pada periode yang sama tahun 2022, yaitu 162 kasus yang ditangani Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri dan 26 polda.

Apakah sedemikian “rusak” budaya masyarakat di Indonesia saat ini? Masyarakat begitu gampang berkonflik dan melanggar privasi orang lain di media sosial. Orang mengunggah dan menyebar ujaran kebencian di media sosial karena emosional, terpengaruh berita bohong, atau bahkan sekadar iseng.

Faktor lain adalah tidak kenal dekat dengan sasaran membuat seseorang menjadi tidak memiliki rasa bersalah ketika melanggar privasi orang lain. Apakah kita sudah memikirkan dampak secara psikologis, sosial, dan ekonomi dari unggahan yang berisi ujaran kebencian terhadap orang lain?

Dampak itu tidak hanya akan dirasakan oleh pribadi yang menjadi sasaran, tetapi juga keluarga dan lingkungan terdekat. Orang menjadi gampang membenci dan menghujat orang lain di media sosial.

Sebetulnya tidak ada yang melarang kita tidak suka dengan orang lain, berbeda pandangan dengan orang lain, dan berbeda pendapat dari orang lain, tetapi harus bijak saat mengekspresikan di ruang publik.

Tidak ada satu pun aturan maupun ajaran yang mengizinkan kita menghina orang lain. Agama juga melarang manusia menghina karena belum tentu yang menghina lebih baik daripada yang dihina.

Agama juga mengajarkan jangan sampai kebencian kita terhadap seseorang membuat kita bersikap tidak adil kepadanya. Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa Nomor 24/2017 ihwal pedoman bermuamalah di media sosial.

Fatwa tersebut memuat hukum serta aturan bermedia sosial bagi umat Islam. Beberapa hal yang tidak boleh dilakukan adalah gibah, menyebar fitnah, mengadu domba, bullying, ujaran kebencian, dan permusuhan.

Jelas bahwa kita harus bisa mengendalikan jempol saat menggunakan media sosial. Mari menjaga perilaku dan etika ketika menggunakan media sosial. Berikan komentar atau tanggapan positif yang bersifat membangun. Jangan lupa, media sosial memiliki kekuatan besar yang bisa membuat rakyat bersatu atau malah memecah belah persatuan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 22 November 2022. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya