SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

JOGJA—Industri tembakau dan produk olahannya di Indonesia dinilai terus terdesak dengan kian kuatnya gerakan global anti tembakau. Salah satunya dengan keberadaan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) di bawah naungan WHO.

Hal tersebut mengemuka dalam diskusi bedah buku berjudul ‘Kriminalisasi Berujung Monopoli” yang digelar Komunitas Kretek di Kompleks Kepatihan Gedung Unit IX Lantai 3, Selasa (11/10).

Promosi Kanker Bukan (Selalu) Lonceng Kematian

Salah satu penulis buku yang hadir dalam acara tersebut, Salamuddin Daeng mengatakan, isu kesehatan selalu menjadi tema utama yang diusung oleh gerakan anti tembakau.

“Padahal tembakau adalah komoditi penting secara ekonomi,” ujarnya. Menurut dia, di Indonesia industri tembakau telah menjadi tumpuan sekitar 35 juta orang. Ia menilai, alasan kesehatan yang selama ini didengungkan juga belum memiliki landasan yang kuat dan harus mulai mempertimbangkan alasan ekonomi politik.

Daeng menambahkan, proyek anti tembakau sebagian besar dibiayai oleh perusahaan farmasai multinasional atau korporasi besar yang mengancam industri kecil tembakau tanah air.

“FCTC memang tidak diratifikasi oleh Indonesia, bahkan Amerika juga belum, tapi justru itu diadopsi di banyak regulasi di Indonesia sehingga susah mengontrolnya,” kata aktivis di Institute for Global Justice (IGJ) Jakarta tersebut.

Direktur PD Tarumartani, Abdul Nasir yang hadir sebagai pembicara mengatakan, produk rokok yang sering dituding sebagai penyebab kanker justru tidak memiliki dasar kuat. Menurut dia, pada beberapa penelitian justru ditemukan hal yang berbeda karena ternyata rokok bukanlah penyebab kanker yang diderita subjek penelitian.

Kepala Bakesbanglinmas, Murprih Antoro Nugroho yang hadir mewakili Gubernur DIY mengungkapkan, masyarakat harus mencari perspektif dan ilmu baru tentang tembakau, sehingga tidak hanya sisi kesehatan saja. Ia menilai diskusi tersebut adalah dinamika tersendiri dalam melihat perkembangan industri tembakau.

Hadir pula sebagai pembicara, Kepala Disperindagkop DIY, RM Astungkoro. Menurutnya, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam membedah industri tembakau. Menurut dia, sudut pandang kesehatan juga merupakan hal penting yang perlu diperhatikan. Meski begitu ia menilai perlindungan atas industri kecil tembakau tanah air juga perlu diperhatikan.

“Di Jogja misalnya itu melibatkan 5.632 tenaga kerja dari sembilan industri sigaret kretek tangan (SKT). Termasuk cukai rokok yang memberikan pemasukan bagi provinsi dan daerah,” ujarnya.

Sementara Pembicara lainnya, Ketua DPRD DIY, Yoeke Indra Agung Laksana menegaskan, kepentingan rakyat wajib diperhatikan dengan berusaha mewujudkan regulasi yang melindungi produk-produk kerakyatan, termasuk kretek yang telah menjadi warisan budaya nenek moyang sekaligus memberikan sumbangan devisa besar kepada negara.(Harian Jogja/Galih Kurniawan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya