JOGJA—Ketika industri mebel terpuruk akibat krisis Amerika dan Eropa, industri garmen DIY justru dianggap lebih kuat. Meski sempat terjadi penurunan, namun tidak banyak mempengaruhi nilai ekspor untuk produk tekstil.
Kepala Seksi Fasilitasi Ekspor Impor Disperindagkop DIY, Firsanedi mengatakan, industri garmen masih tahan menghadapi krisis karena garmen merupakan salah satu kebutuhan pokok.
Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi
“Lain dengan mebel yang masa pakainya lebih lama dan bukan merupakan kebutuhan pokok,” ujarnya, Jumat (18/11).
Menurut dia, pasar tradisional di Amerika dan Eropa merupakan sasaran ekspor utama untuk produk garmen ini. Meski pesanan mulai menurun, tapi jumlah pembeli masih tetap.
“Harus mulai buka pasar lagi, di daerah lain. Pasar Asia masih potensial untuk digarap,” ujarnya.
Dari sisi harga, dengan fluktuasi nilai rupiah diakuinya masih menjadi salah satu persoalan para eksportir. Ketika rupiah menguat, para pengusaha atau eksportir yang menggunakan bahan baku impor akan kesulitan untuk menentukan harga.
“Tapi kami tidak bisa intervensi untuk masalah harga. Eksportir yang berhubungan langsung dengan pasar. Tentu mereka lebih jeli,” pungkasnya.
Secara umum, kinerja ekspor DIY 2010 dibandingkan 2011 pada semester 1 mengalami kenaikan. Nilai ekspor DIY mencapai US$140,23juta dengan volume 34,53 juta kilogram menjadi sekitar US$152,48juta.(Harian Jogja/Intaningrum)