SOLOPOS.COM - Petani memanen garam di tambak wilayah Kabupaten Pati, Jateng, Sabtu (15/7/2017). (JIBI/Solopos/Antara/Harviyan Perdana Putra)

Industri garam di Pati, Jateng mulai mengurangi bahan baku impor menyusul kembali tersedianya garam dari petani lokal.

Semarangpos.com, JEPARA — Industri garam konsumsi di Kabupaten Pati, Jawa Tengah (Jateng) mulai mengurangi pemakaian bahan baku garam impor untuk dikemas menjadi garam konsumsi. Pasokan garam dari petani lokal mulai tersedia di pasaran sehingga produsen garam dapur tak butuh lagi garam dari luar negeri.

Promosi Kisah Inspiratif Ibru, Desa BRILian Paling Inovatif dan Digitalisasi Terbaik

Menurut pemilik UD Talenta Raya Pati, Sri Lestari, di Pati, Jateng, Kamis (31/8/2017), pasokan bahan baku garam lokal saat ini mulai tersedia, menyusul banyaknya petani garam lokal yang mulai memproduksi garam karena cuaca yang mendukung. Karena pasokan garam lokal tersedia, lanjut dia, kebutuhan bahan baku impor mulai dikurangi.

Garam impor yang digunakan sebelumnya, merupakan garam impor dari Australia dan India. Untuk garam dari Australia, kata dia, mulai didatangkan sejak bulan Maret 2017, sedangkan dari India mulai didatangkan sejak Juni 2017.

Hal itu, lanjut dia, untuk memenuhi kebutuhan bahan baku setiap bulannya hingga 50 ton garam untuk diproduksi menjadi garam konsumsi. Tersedianya bahan baku garam lokal, katanya, mulai pekan ini tidak lagi menggunakan garam impor.

Ia mengakui, garam impor memang lebih putih dan bersih, namun konsumennya justru lebih senang dengan garam lokal yang tampil agak kecokelatan. Pasalnya, kata dia, garam impor memiliki rasa yang agak pahit, sedangkan garam lokal tidak demikian.

Meskipun sudah banyak petani yang mulai panen, katanya, harga jual garam di tingkat petani masih tinggi karena mencapai Rp1.500/kg.

Pengusaha garam lainnya, Budi Satriyono mengakui, pasokan garam lokal memang mulai tersedia, namun kualitasnya kurang bagus. Untuk dibuat garam halus sebagai garam konsumsi, katanya, masih kurang bagus, mengingat petani terlalu dini memanen demi mengejar keuntungan.

“Seharusnya, ketika harga garam mahal, maka kualitasnya semakin meningkat. Kenyataan di lapangan justru kualitasnya menurun,” ujarnya.

Ia mengakui, dalam proses produksinya hingga menjadi garam konsumsi, ternyata banyak kehilangan karena usia garam saat dipanen masih muda. Karena terlalu dini dipanen, kata dia, berdampak pada rendahnya kandungan NaCl.

Oleh karena itu, lanjut dia, sebagian bahan baku yang digunakan masih mendatangkan garam impor, karena kualitasnya saat ini masih lebih baik dibandingkan dengan garam lokal. “Berbeda, ketika petani bisa menghasilkan garam berkualitas, tentu akan banyak diminati industri garam,” ujarnya.

Kebutuhan bahan baku untuk membuat garam konsumsi setiap harinya berkisar 20 ton-25 ton. Untuk harga bahan kebutuhan pokok itu dari tingkat petani, kata dia, berkisar Rp1.600/kg hingga Rp1.700/kg sesuai dengan kualitasnya. Sementara harga garam impor, kata Budi, memang lebih mahal, karena mencapai Rp2.500/kg menyusul adanya kebijakan pemerintah untuk melindungi petani garam.

KLIK dan LIKE di sini untuk lebih banyak berita Semarang Raya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya