SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Tahun 2010 perekonomian nasional dibuka dengan pemberlakuan Asean-China Free Trade Area (AC-FTA). Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand dapat melakukan kegiatan ekspor impor semua barang dengan China tanpa tarif.

Semua pelaku sektor riil seolah tidak siap dengan perdagangan bebas itu. Padahal, kesepakatan itu sudah ditandatangani sejak era Presiden Megawati. Mulai dari kalangan industri hingga sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) ketar-ketir. Mereka khawatir tidak bisa bersaing dengan China.

Promosi Tragedi Simon dan Asa Shin Tae-yong di Piala Asia 2023

Tidak bisa dipungkiri, perdagangan bebas ini menjadi ancaman bagi pelaku sektor riil mengingat beban produksi sektor riil Indonesia masih sangat tinggi.

Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jateng, Djoko Santoso, menyampaikan ancaman itu bisa dirasakan ketika produk dari China khususnya tekstil, masuk dengan harga jauh lebih murah dari produk dalam negeri. Volumenya pun kian membanjiri pasar domestik.

Berdasar kajian ekonomi regional (KER) yang dilaksanakan Bank Indonesia (BI) Solo, kinerja perdagangan luar negeri Soloraya semester I 2010 baik ekspor maupun impor sama-sama mengalami pertumbuhan. Tetapi, pertumbuhan impor jauh lebih tinggi daripada ekspor.

Hingga semester I 2010, Nilai ekspor Soloraya tumbuh 34,32% (yoy), lebih tinggi dibanding pertumbuhan semester II 2009 sebesar 7,19%. Pertumbuhan nilai ekspor ini terutama berasal dari meningkatnya komoditas ekspor utama seperti batik, tekstil dan produk tekstil (TPT), peralatan kantor dan mebel.

Akan tetapi, nilai impor hingga semester I 2010 tumbuh hingga 100,20% (yoy) dengan nilai US$102,99 juta. Pertumbuhan nilai impor tersebut, lebih tinggi dibandingkan semester II 2009 sebesar -0,76% (yoy).

Sebagian besar nilai impor tersebut berupa bahan keperluan industri dengan pangsa pasar 88,73%, sisanya barang modal 9,84% dan barang konsumsi 1,43%.

Gejolak pemberlakuan AC-FTA tidak dirasakan sekejap. Di pertengahan tahun, saat kekhawatiran ini belum pulih dan pelaku sektor riil masih mengkaji dampak perdagangan bebas itu, perekonomian nasional kembali dihantam dengan kebijakan pemerintah menaikkan tarif dasar listrik (TDL) berkisar 10% hingga 18%.

Sekretaris Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Solo, Rihatin Boedijono, mengatakan kenaikan TDL kembali memperlemah daya saing industri dan UMKM. Tidak hanya dari sektor industri saja, sektor jasa terutama kalangan perhotelan pun menolak keras kenaikan TDL tersebut. Kendati sudah dilakukan proses tawar menawar, pemerintah tetap menerapkan kebijakan tersebut.


(bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya