SOLOPOS.COM - Ilustrasi paru-paru berpenyakit. (Freepik)

Solopos.com, SOLO – Badan Kesehatan Dunia (WHO) 2018 menyebut Indonesia termasuk satu dari 13 negara dengan beban tinggi terhadap penyakit tuberkulosis (TBC). Seperti diketahui, TBC merupakan salah satu penyakit mematikan di dunia.

Ada tiga indikator yang mendasari WHO menetapkan suatu negara masuk kategori memiliki beban tinggi (high burden countries) atau menghadapi masalah besar penyakit TBC.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Tiga indikator tersebut yakni TBC, TBC/HIV, dan MDR [Multi Drug Resistant]-TBC,” jelas Ketua Panitia Simposium Updtae Tata Laksana Gizi Pasien TBC dengan Penyakit Penyerta, yang digelar Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Solo, Sutanto, kepada Solopos.com, di Hotel Adhiwangsa, Solo, Sabtu (5/10/2019).

Baca juga: 2 Obat Ini Sedot Biaya Terbanyak BPJS Kesehatan

Menurut Sutanto, TBC adalah salah satu dari 10 penyebab kematian di dunia. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Jawa Tengah (Jateng) 2017, kelaziman (prevalensi) penderita TBC di Jawa Tengah pada 2016 sebesar 118 per 100.000 penduduk. Jumlah ini meningkat pada 2017 sebesar 132,9 per 100.000 penduduk.

“Indonesia sendiri masuk peringkat ketiga dunia setelah India dan China, padahal berbagai upaya telah dilakukan untuk penanganan TBC. Oleh karena itu BBPKM penasaran kenapa sudah dilakukan upaya pencegahan TBC sejak dulu namun hasil belum memuaskan,” jelas Sutanto.

Sehingga muncul pertanyaan, apakah tenaga kesehatan dalam penegakan diangonis dan pemberian terapi pasien TBC atau penatalaksanaan lainnya kurang maksimal.

“Penatalaksanaan lainnya itu seperti komponen pendukung yaitu suport pemberian nutrisi [gizi], sehingga hari ini BBPKM Solo menggelar simposium Update Tata Laksana Gizi,” terang Sutanto.

Baca juga: Waduh…Penderita Tuberculosis di Jogja Tembus 3.000 Orang

Simposium tersebut menghadirkan pembicara dokter spesilias paru-paru dan penyakit dalam, Novita Eva dan Satrio Budi. Peserta simposium dari berbagai elemen, yakni ahli gizi, puskesmas, mahasiswa, dosen, klinik pratama, dan wirausaha gizi. Peserta yang paling jauh datang dari Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Gresik, Jawa Timur.

“Target dari simposium ini adalah dokter dan ahli gizi, dengan tujuan update pengatahuan dan wawasan tentang tata laksana gizi pasien TBC anak–dewasa, serta pasien TBC dengan penyakit penyerta TBC-HIV dan TBC-DM,” sambung Sutanto.

Menurut Novita Eva, pasien TBC kondisi gizinya kurang sehingga perlu penatalaksanaan khusus. Bukan hanya diberitahu agar makan banyak, namun juga nutrisinya harus tepat sehingga proses penyembuhannya lebih optimal.

“Pasien TBC sakit karena daya tahan tubuhnya kurang. Salah satu yang memengaruhi yaitu lurang gizi atau kelebihan gizi tapi tidak efektif. Sehingga pasien bisa lebih gampang terkena TBC,” Novita Eva.

Baca juga: Makan Segenggam Kacang Bisa Perpanjang Usia Hingga 2 Tahun

Pasien TBC butuh daya tahan tubuh baik dan gizi cukup untuk membantu proses penyembuhan. Dengan demikian, peran gizi sangat penting karena merupakan satu kesatuan penatalaksanaan gizi yang tepat.

“Gizi dan TBC itu sebuah lingkaran. Apabila gizi kurang bagus mudah terkena TBC. Jika terkena TBC nafsu makan berkurang sehingga gizinya turun. Jika gizi turun TBC semakin parah,” ujarnya.

Pasien TBC dengan penyakit penyerta seperti diabetes, perlu penatalaksanaan gizi khusus. “Untuk penanganan pasien TBC dengan penyakit penyerta perlu kolaborasi antara dokter penyakit paru-paru, penyakit dalam dengan ahli gizi,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya